Jumat, 22 November 2013

Melati untuk Bunda



MELATI UNTUK BUNDA

Garis-garis keemasan yang menyepuh pohon-pohon itu berasal dari balik punggung bukit. Menerobos pepohonan, menguak ranting dan daun, dan berakhir di sebuah taman bunga.
Di antara beragam macam kembang di taman itu seorang gadis belia di atas kursi roda mengangsur setangkai melati ke arah seorang perempuan setengah baya yang tengah tersenyum padanya. Senyum gadis itu merekah, memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya sangat cantik. Pemandangan yang sungguh bagus!
“Sempurna,” desisnya. Ia belum pernah menghasilkan lukisan seindah itu. Kombinasi warna yang hebat. Tangannya bergetar. Lukisan itu seperti mempunyai roh yang mengalirkan kehangatan pada setiap orang yang menyentuhnya. Juga memberi kenyamanan dan ketenangan bagi orang yang memandangnya. Itulah sebabnya Andhina tidak pernah merasa puas menatap dan mengelus lukisan itu.
“Bagaimana kau membuat lukisan sehebat ini?”
He-hebat? App-pakah lukisan itu hebat?”
Tanpa berpaling sedikit pun Andhina mengangguk. “Aku tidak melihat lukisanmu yang lebih bagus, dari ini dan aku juga belum pernah melukis sebagus ini.”
Kk-kau berr-lebihan. Aku melihat lukiss-sanmu bagus-bagus kok,” Andhini meletakkan kuasnya. Ia turut memandang lukisan yang ada di pangkuan Andhina.
“Bagaimana kau melakukannya?”
“Seperti bias-sa, cuma … “ kalimat Andhini menggantung. Dia tampak sedang memikirkan apa yang akan  diucapkannya.
“Cuma apa?”
Andhina berbalik. Dipandanginya saudara kembarnya ini dengan seksama.
App-pa kau tidak melihat ss-sesuatu dalam lukisan itu?” gadis itu bertanya seolah pada dirinya sendiri.
Andhina kembali menggantungkan lukisan itu ke dinding. “Aku cuma melihat bukit, matahari, pepohonan, sebuah taman dengan seorang ibu dan…seorang gadis berkursi roda,” nada suaranya seakan dipelankan di akhir kalimat.
K-kau hanya mme-me-lihat itu?” Andhini mendongakkan kepalanya. Ditatapnya wajah saudara kembarnya lekat-lekat.
Andhina mengalihkan pandang, membalas lekat tatap Andhini. Ah, mata itu! Di sana ia melihat ada gunung ketegaran. Ia juga melihat ada ketulusan dan keikhlasan memancar di sana. Jujur, ia mengagumi  sosok yang sekarang ada di hadapannya. Betapa Andhini begitu kuat menghadapi kenyataan.
Mereka memang dilahirkan kembar. Sama dari semua sisi fisiknya. Kulit yang putih, wajah yang bulat telur, hidung mancung dan dagu yang berbelah. Bahkan mereka juga punya hobi yang sama; melukis. Yang membuat mereka berbeda; Andhini terlahir gagap dan jalannya pincang.
Banyak orang yang tidak tahu kalau Andhina memiliki saudara kembar. Maklum mereka tidak pernah jalan bersama. Apalagi semenjak Andhini kecelakaan dan harus berada di kursi roda semenjak kelas empat SD. Kelumpuhan membuat dia harus berhenti sekolah. Karena Mama tidak mau repot mengantar-jemput. Sama halnya dengan Mama, Papa juga sibuk dengan bisnisnya. Ketidakpedulian Mama dan Papa telah menciptakan jurang di antara mereka. Bahkan mungkin Aryo, adik mereka, sudah lupa kalau dia punya seorang kakak lain bernama Andhini. Wajar bila Aryo lupa karena mereka tidak pernah makan bersama, nonton bersama apalagi liburan bersama. Berpapasan pun jarang.
Jadilah Andhini anak Bik Nah, pembantu mereka. Sehari-hari dia menghabiskan waktunya dalam kamar. Belajar, melukis dan makan pun sering diantar ke kamar. Bik Nah-lah yang terus menyemangati, memperhatikannya. Jika Bik Nah tidak ada jadilah ia gadis yang sunyi, selalu mengurung diri di kamar yang merangkap tempat melukisnya.
Entah karena mereka kembar atau apa, sesekali Andhina masih menengok Andhini. Paling tidak untuk membandingkan lukisan mereka, seperti sekarang ini.
“Apa kau ingin mengatakan ada sesuatu selain yang aku sebutkan dalam lukisan ini?” ujar Andhina.
“Entahlah. Aku mme-memang merasa it-tu adalah lukk-kisanku yang terbaik,” gadis itu menerawang sambil menyibak poninya.
“Aku juga berpikir lukisan ini sangat bagus bahkan melebihi lukisanku sendiri. Aku cuma ingin tahu bagaimana kau membuatnya?”
A-kkku Membb-buatnya dengan hati yang jernih. Aku mewarr-nainya dengan perasaan yang riang. Dd-dengan ss-senang.”
“Maksudmu?” Andhina mengernyitkan keningnya.
Entahlah. Aku hanya ingin ss-setiap orang yang mme-melihh-hatnya tersenyum.”
Andhina menarik napas dan menghembuskannya pelan. Hebat! Pujinya. Dia merasa bangga menjadi satu bagian dari diri Andhini. “Teruslah melukis,” ujarnya, ”Besok akan aku bawakan buku baru untukmu.”
Andhina melangkah. Saat sampai di depan pintu, dia kembali menoleh. Menangkap sebuah senyuman. Ah, ia begitu tegar.
* * *
“Bagaimana? Anak mama pasti gugup.Senyum mama merekah tanpa berpaling sedikit pun pada Andhina.
Ah, mama menganggap aku gugup? Apa kata-kata itu tidak terlalu manis untuk menggambarkan sebuah ketakutan dan rasa bersalah?
Papa yang sibuk menengok kiri kanan menyuruh Andhina supaya santai. Bersama Mama, Papa mengenalkannya kepada beberapa kenalan mereka. Membangga-banggakan Andhina sambil membusungkan dada.
Andhina makin merasa bersalah. Seandainya Mama dan Papa tahu kalau kemenangan ini bukan miliknya? Andhina tidak bisa menerka reaksi mereka. Mungkin mereka akan membencinya dan mau membagi cinta pada putri mereka yang lain. Itu lebih baik, jika Mama dan Papa mau menerima Andhini. Tapi, bagaimana kalau Mama malah memaksanya mengakui lukisan itu sebagai karyanya.
Jantung Andhina kebat-kebit begitu acara dimulai. Dia merasa tidak sedang berada di gedung kesenian, tempat acara penyerahan pemenang lomba melukis dilaksanakan. Dia tidak mendengar apa yang disampaikan pembawa acara. Pikirannya sedang mengembara pada satu titik; Andhini.
Setiap kali ke rumah nenek, Andhini selalu memanjatkan pohon jambu di belakang rumah untuknya. Andhini yang pintar memanjat dan tidak takut ketinggian tidak pernah menolak setiap kali saudaranya minta untuk memetik buah. Padahal dia sendiri tidak menyukai buah tersebut!
Dia akan makin gagap jika kegembiraannya sedang meluap. Air matanya akan berderai bila Mama atau Papa mau memakan buah yang dia petik. Hanya air mata karena suaranya terperangkap dalam tenggorokan. Dan dia tidak pernah marah walau dia hanya dipanggil untuk disuruh-suruh.
Bukk-bukankah kita kembar? Jik-ka Mama mme-menyayangimu berarti Mama juga sayang aku,” ujarnya suatu hari.
“Tetapi sayang Mama pada kita berbeda,”
Andhina tidak mendengar sepatah kata pun yang diucapkan Andhini. Dia tertunduk. Memainkan ujung jarinya ke tanah. Rambutnya berkepang dua bergerak-gerak di atas kedua telinganya. Sisiran yang tidak rapi, karena dia mengepangnya sendiri. “Tapi aku sayang Mama.” Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum. Namun mata itu berkilau-kilau karena ada sesuatu dikandung kelopaknya.
Lukisan Andhini yang pertama bercerita tentang mereka. Sepasang anak kembar bermain ayunan. Di sisi lain seorang anak laki-laki main luncuran. Itu Aryo, katanya. Papa sedang membaca koran dan Mama ada di sampingnya. Mereka duduk di bangku panjang.
Papa dan Mama tidak peduli ketika Andhini memperlihatkan karyanya. Suaranya hilang sia-sia! Namun ia tetap tersenyum. Ia tidak pernah berhenti melukis setelah itu. Saudara sepupu yang menjadi gurunya selalu menyemangatinya.
Itu dulu. Sebelum Andhina mendapati Andhini terbaring di rumah sakit karena tabrakan. Setelah itu hari-harinya dilalui dengan kursi roda. Jika Andhina belajar melukis di sanggar maka dia hanya diajari saudara sepupu yang bergantian dengan temannya. Sepanjang hari dia hanya berkutat dengan kuas dan cat. Dia tidak akan pernah lagi memanjat pohon jambu untuk Andhina.
Andhini! Ah, sedang apa dia sekarang? Apakah ia sedang menangis atau sibuk dengan lukisan yang lain. Andhina merasa berdosa. Sangat! Ia masih ingat mata merah Andhini menatapnya tajam. Kecewakah isyarat mata itu? Atau kebencian?
Semenjak pemberitaan itu; lukisan yang berjudul Melati Untuk Bunda, pelukis Andhina Putri Cantika, muncul di koran, Andhini tidak mau lagi menemuinya. Pintu kamar Andhini sering terkunci. Tampaknya dia marah besar. Apakah Andhini mau memaafkannya? Bukankah tangis dan senggaunya seminggu yang lalu menunjukkan bahwa ia benar-benar terluka?
Mm-mungkin bagimu lukisan itu tidak punya arti punya apa-apa. Tt-tapi bagiku lukiss-san itu telah mengikat separuh rohku. Sssse-ndainya aku tahu kau mau bohong akk-ku tak akan membbb-biarkan kau membawanya.”
“Tapi lukisanmu menang.”
Y-ya.! Dan sss-semua orang tahunya itu lukisanmu!” Andhini menatap tajam, membuatnya jengah.
“Aku akan menggantinya dengan hadiah yang pantas kau terima.”
“Tt-tetap saja, kk-kau telah merusak keee-ppercayaanku,”
Andhina kehabisan kata-kata. Seandainya dia tidak curang, kalau saja ia punya kepercayaan diri terhadap lukisannya sendiri, tentu semuanya tidak serunyam ini. Tapi sayang, dia memang tidak berniat kemenangan ini untuk Andhini. Yang dia pikirkan waktu itu adalah kebanggaan Papa dan Mama jika dia menang. Hanya itu!
“Dhina, cepatan!” Mama menyikutnya. Andhina tergagap. Buru-buru dihapusnya air mata yang meleleh tanpa disadari. “Kamu menangis?” Mama memandangnya bingung.
 “Tidak, Ma. Sudah sampai di mana acaranya, Ma?”
“Kamu tidak menyimak ya? Itu nama kamu dipanggil,”
Andhina terhenyak sejenak. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia berdiri. Puluhan pasang mata memandangnya. Sudah berapa kalikah namanya dipanggil? Dengan langkah berat diseretnya kakinya ke panggung. Takut, bangga, kecewa. Semua bercampur menjadi satu.
Dia berdiri paling ujung di antara deretan pemenang. Tangannya terasa dingin ketika juara harapan dua menerima hadiahnya. Semakin dekat panitia lomba dengannya keringat dingin pun makin membajirinya. Ketika panitia berjalan ke arahnya dengan seabrek hadiah, tampak Papa dan Mama tersenyum bangga. Aryo bertepuk tangan.
Dan wajah Andhini pun menjelma. Air mata itu… Lukisan seorang ibu dengan gadis berkursi roda… Semua datang silih berganti. Andhina merasa tubuhnya bergetar hebat. Semakin dekat piala itu padanya semakin kakinya tidak kuat menyangga tubuhnya. Dan sebelum piala kemenangan berada di tangannya, Andhina ambruk. Semua menjadi hitam.
* * *
Pekanbaru, 2009

*Dimuat di majalah STORY, Desember 2010