Sabtu, 15 Februari 2014

Luka yang Melahirkan Semangat



Judul buku            :  Jurai (Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian)
Penulis                   :  Guntur Alam
Tahun terbit           : Maret 2013
Penerbit                 :  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Jumlah halaman     :  300 halaman
ISBN                     :  978-979-22-9338-8



JURAI : LUKA YANG MELAHIRKAN SEMANGAT

Memang benar; rasa sakit bisa membangunkan orang yang sedang tidur dan membuat orang yang lemah menjadi kuat. Mungkin inilah inti dari novel Jurai, karangan Guntur Alam ini.
Dalam novel terbitan Gramedia ini dikisahkan Catuk kehilangan Ebak (ayah) ketika dia baru kelas lima SD. Kehilangan yang sangat menyakitkan karena kepergian Ebak yang semula dikabarkan meninggal karena diseruduk babi hutan ternyata menjadi korban tabrakan sepeda motor anak Toke Nagap, pemilik kebun karet yang disadap Ebak setiap hari. Namun Toke berhasil mengarang cerita dan meminta cap jempol Emak yang tidak akan melakukan tuntutan apapun.
Catuk yang terlahir sebagai bungsu dan merupakan satu-satunya anak laki-laki mengalami dilema berkepanjangan. Sebagai laki-laki, Catuk merasa memiliki beban seorang kepala keluarga. Namun faktor umur membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa untuk Emak dan ketiga kakak perempuannya.
Pada saat yang sama, Catuk terpilih mengikuti Porseni di cabang lomba lari. Untuk itu dia membutuhkan sepatu baru. Namun kemiskinan yang melingkupi keluarganya mengurungkan niatnya untuk menyampaikan hal tersebut kepada Emak. Apalagi kedua kakak kembarnya akan mengikuti UN SMP. Dan mereka juga ingin melanjutkan ke SMA.
Risau hatinya makin menjadi ketika keluarga mereka harus menjalani ritual empat puluh hari setelah kematian. Mereka harus menyiapkan jamuan untuk para pelayat. Keharusan ini membuat hutang Emak semakin menumpuk.
Rupanya luka di hati mereka tidak selesai sampai di situ. Lepas tahlilan empat puluh hari, istri kedua Ebak dengan dua orang anaknya datang bertamu. Ternyata Ebak telah menikah lagi tanpa sepengetahuan Emak. Pengkhianatan yang tersimpan rapi selama belasan tahun itu didukung keluarga Ebak. Alasannya; mencari anak laki-laki.
Dalam adat mereka, ada pepatah mengatakan: sebanyak apapun seseorang memiliki anak gadis, rasanya, ia tak punya anak bila belum punya anak bujang. Anak bujang itu pelita dalam limas. Obor dalam kegelapan. (hal. 120)
Kehormatan keluarga terletak pada anak bujang. Rasanya tak cukup sebuah limas bila tak ada anak bujangnya. Berasa tak jadi lanang bila tak mampu punya anak bujang. (hal.128)
Hantaman ini membuat Emak terpuruk dalam kesedihan. Apalagi jelas Ebak menikah dengan izin Emak lewat cap jempolnya pada surat pemberian restu. Rupanya ketidakmampuan Emak membaca telah dimanfaatkan. Tidak hanya oleh Toke Nagap tapi juga oleh suaminya sendiri.
Selain menceritakan luka, novel ini juga mengetengahkan kehangatan dan kesetiakawanan.
Catuk bangkit dari keterpurukannya setelah terus menerus dihibur dan disemangati oleh kawan-kawan akrabnya, yaitu Kus, Gunawan, Sarpin, Pangki, Ivan, Gedo, Noyok dan Ci Rika. Persahabatan ini juga berbuah manis dengan mampunya mereka membeli tujuh pasang sepatu untuk mengikuti Porseni. Tentunya mereka mendapatkan uang bukan dengan menadahkan tangan pada orang tua. Karena hidup mereka hampir sama-sama miskin. Dalam persahabatan itu, pembaca akan menemukan kearifan yang mencengangkan dari pikiran anak-anak seusia mereka.
Pada akhirnya novel ini menunjukkan korelasi luka dengan kebangkitan. Demi mengantarkan anak-anaknya menebus mimpi, memberikan hak yang sama antara anak perempuan dan laki-laki, Emak mendobrak kultur masyarakat Tanah Abang. Meskipun harus menjadi orang terbuang.
Namun ada dua hal yang sedikit menggangu tentang isi novel ini. Pertama, Emak yang sudah berada di dasar keterpurukan, diselimuti kabut kedukaan yang tebal, jarang ke luar dan menutup diri, tiba-tiba bangkit hanya dengan beberapa patah kata Catuk.
“Bukankah Emak mengatakan padaku untuk menerima semua ini sebagai takdir?” Aku kembali bersuara, tidak mempedulikan reaksi Emak yang senyap itu, “Bukankah kita tidak punya kuasa melawan takdir? Semua ini takdir kita, Mak. Emak menjadi janda dan dimadu. Tidak ada yang bisa Emak perbuat. Juga kami. Apa dengan cara Emak berdiam diri di kamar, semua jadi beres? Seperti itu kan yang Emak tanyakan padaku?”
“Bukankah Emak meminta kami untuk  melupakan semua ini dan belajar yang rajin agar bisa terus sekolah? Sekolah harus bayar, Mak. Kami harus bayar dengan apa kalau Emak tak bergerak?” (hal. 152)
Seketika Emak bangkit. Sadar. Langsung menghitung kebutuhan harian dan sekolah. Emak meyakinkan anak-anaknya bahwa dia mampu melunasi iyuran sekolah dengan senyum terkembang. Sekalipun belum tahu mau bekerja apa. Emak bangkit begitu saja tanpa ada gambaran perenungan atau usaha pendekatan terhadap Emak sebelumnya.
Kedua, kisah cinta antara Catuk dan Dewi yang terasa berlebihan untuk ukuran anak kelas lima SD. Kebersamaan mereka, hal-hal yang berkelabatan dalam kepala Catuk, seperti penggalan yang terlepas dari kehidupannya selaku anak dusun yang belum mendapat penerangan listrik apalagi televisi di rumah. Jika Catuk hidup dengan kondisi kemajuan zaman seperti sekarang yang setiap hari bersentuhan dengan teknologi, mungkin tidak aneh.
Perkenalan mereka secara tak sengaja (tabrakan) terjadi sewaktu Porseni. Catuk yang dipenuhi rasa takjub karena bisa menginjakkan kaki di Muara Enim bercampur minder karena berasal dari SD inpres yang muridnya kebanyakan miskin, ternyata bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan catuk bisa merekam sosok Dewi dengan sempurna dalam ingatannya saat itu juga.
Bibirnya merah, liut basah, dengan mata sebening embun. Pipi penuh berisi, membuatku hendak sekali mencubitnya. Tak hanya itu, kulitnya kuning langsat, berleher jenjang, dengan rambut panjang hitam tergerai. (hal. 188)
Walaupun demikian, alur cerita yang cukup mengharukan ini akan kembali mengingatkan pembaca bahwa pintu-pintu kemustahilan akan bisa dibuka dengan tekad yang kuat dan penuh keberanian. Selamat membaca. *(Zech)
               April 2013


*dimuat Majalah Sagang, Januari 2014
di sini, hal. 46