Minggu, 15 Juni 2014

Review Novel (Bukan Salah Waktu)

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ulasan ini saya tujukan untuk mengikuti Lomba Review Novel (Bukan) Salah Waktu yang diadakan Mbak Nastiti Denny, Kampung Fiksi dan Penerbit Bentang. Semula ulasan ini berjumlah lebih dari 1.100 kata. Berhubung peraturan lombanya maksimal 500 kata, jadi dengan susah payah saya pangkas separohnya. Saya tahu, untuk mengikuti sebuah lomba, pesertanya harus mematuhi peraturan. Inilah hasilnya, 499 kata di luar data buku.

============================================================


Judul buku              :  (Bukan) Salah Waktu
Penulis                    :  Nastiti Denny
Tahun terbit            : Desember 2013
Penerbit                 :  Bentang
Jumlah halaman      :  248 halaman
ISBN                     :  978-602-7888-94-4

LUKA DARI MASA LALU

Sekar memutuskan meninggalkan pekerjaannya agar fokus pada keluarga. Namun rumah tangga yang semula tenang mulai terusik dengan kemunculan Bram. Darinya, Sekar tahu kalau Prabu, suaminya, telah memiliki anak dari Laras (hal. 76).
Tidak ingin rumah tangganya berantakan, Sekar mencoba tenang. Dia sadar dirinya juga merahasiakan kondisi keluarganya. Sekar tidak ingin kekahawatiran mertuanya menjadi kenyataan. Seandainya mertuanya tahu orang tuanya sudah bercerai, pasti dulu mereka menolaknya sebagai menantu.
Prabu sendiri baru mengetahui kalau dia telah menjadi ayah, saat meeting di Bogor (hal. 101). Masalah makin pelik karena Laras dan Bram kembali untuk menghancurkan keluarganya. Menurut Laras ayah Prabu adalah penyebab kehancuran keluarganya. Jabatan ayah Prabu di dinas pertanahan sebelas tahun lalu telah membuat usaha ayah Laras bangkrut hingga ayahnya depresi dan gantung diri.
“Karena ayahmu, ayahku memutuskan meninggalkan aku, ibuku dan adikku. Membuat hidup kami terpuruk (hal. 106).
Kilas balik masa lalu tokoh utama menjadi kekuatan alur novel ini. Namun kemunculan Laras dan Bram yang sebenarnya merupakan konflik utama justru tidak terasa imbasnya pada rumah tangga Sekar dan Prabu. Kenyataan bahwa Sekar anak pungut juga tidak memberi efek apapun (hal. 158). Konflik yang seharusnya menguatkan tema terasa kurang berhasil dibangun penulis.
Ada beberapa hal yang ganjil dalam novel ini. Pertama, Prabu dan Sekar berpisah selama tiga minggu tanpa komunikasi. Prabu bergelut dengan masa lalunya, Sekar sibuk merawat mamanya. Tidak ada pembicaraan tentang masalah yang menghampiri mereka. Pun ketika Prabu menunjukkan tes DNA Wira kepadanya, emosi Sekar sebagai istri tidak keluar.
“Aku membebaskanmu untuk memilih. Aku tak berhak memaksamu untuk tetap tinggal bersamaku.” Suara Prabu terdengar parau.
“Kau akan menikahi Laras?” ujar Sekar lirih.
“Belum tahu,” jawab Prabu singkat. (hal. 193)
Kedua, bagaimana mungkin Prabu tidak mengetahui perceraian mertuanya? Sedangkan Sekar memiliki trauma dari masa lalunya yang sering menjadi mimpi buruk. Kenapa Prabu tidak bertanya ketika mendapati Sekar meringkuk di celah antara dinding dan lemari?
Ketiga, Bram jatuh cinta pada Sekar sejak pandangan pertama? Dan Laras menghilang setelah tes DNA. Bram dan Laras tersadar begitu cepat sebelum pembaca benar-benar merasakan peran mereka. Keduanya kehilangan tujuan.
Karakter Sekar yang kuat tidak seimbang dengan karakter Prabu. Kecanggungnya Sekar di awal berhenti kerja, bisa dipahaminya. Namun, Prabu hanya mengedikkan bahu ketika dia tidak memenuhi janji makan pepes buatan Sekar selama tiga hari (hal. 19). Juga tidak ada kegembiraan ketika tahu Sekar hamil. Notes-notes yang ditulisnya seakan tempelan belaka.
Karakter Bu Yani malah lebih kuat. Ketidakpeduliannya sebagai ibu berimbas pada trauma yang terus menghantui Sekar.
Tokoh yang membuat penasaran adalah Alex. Apakah orang yang membocorkan rahasia Seno itu adalah papa Sekar? Dan Yasmina membuat saya bingung, dia Sekar atau bukan?
Keseluruhan setting dan alur novel ini bagus. Hanya konfliknya kurang terasa. Klimaknya tidak jelas. Tawaran kerja ke Singapura dan ke Afrika juga tak berkeputusan. Sampulnya pun terkesan ceria untuk tema yang diangkat. Sedangkan blurb-nya serius. Namun, ketika waktu bergulir tanpa bisa dibendung... kurasa aku tak sanggup, Sayang... Sampul, blurb dan konflik seperti tidak sinkron.
Di luar semua itu, pesan novel ini jelas; berdamailah dengan masa lalu dan jujurlah pada pasangan hidupmu.*

Melukis Jejak Antoni


Oleh : Zurnila Emhar Ch

Dua jam lebih Kania duduk di belakang kaca pembatas tempat penitipan anak-anak itu. Dengan seksama diperhatikannya tingkah polah mereka. Sesekali dia turut tersenyum.
Kania tidak pernah bosan mendatangi tempat bermain anak-anak tersebut. Selain tempatnya yang dekat dengan sanggar tempat dia sehari-hari beraktivitas, pemandangan yang selalu ceria itu juga senantiasa menghidupkan kembali kenangan masa kecilnya. Dia juga pernah melewati saat-saat indah seperti itu; tertawa bersama, bertengkar, juga saling lempar. Persis seperti anak-anak itu.
Di antara anak-anak itu ada yang sibuk saling lempar bola, membaca atau sekedar  melihat-melihat gambar. Dan Kania menemukan dirinya di sana, di antara anak laki-laki dan perempuan yang sibuk menggambar. Dia turut mencoret kuas ke buku gambar itu. Menata warna-warna agar serasi. Kania tidak cuma bersama anak-anak itu. Ada seorang laki-laki dewasa di samping Kania. Mereka sama berebut memainkan kuasnya. Sesekali mereka tertawa, saling coret dan saling dorong. Ah, Kania senang sekali.
Setelah puas main coret-coret dan membersihkan diri, mereka keluar dari tempat itu. Mereka menuju sanggar tempat Kania biasa melukis. Di sana mereka berbincang-bincang tentang karyanya yang berjejer rapi di dinding. Mencoba melihat lukisan-lukisan itu dari sisi yang berbeda. Berdiskusi, berbantah-bantahan, saling melotot dan kemudian manggut-manggut.
Kania rindu sosok itu. Rindu saat-saat mereka masih anak-anak dan berebutan menggambar. Menggambar apa saja. Paling sering menggambar alam. Ada gunung yang berdiri menantang, sungai yang mengalir, pohon pisang yang lagi berbuah dan kayu-kayu yang berdaun rimbun, juga padi-padi yang menguning. Sebagai anak petani, kadang mereka menggambar sawah yang membentang dengan pondok kecil di tengah pesawahan dan kerbau-kerbau yang sibuk membajak.
“Kak, ini gambar apa?” seorang anak kecil perempuan menggoyangkan tangannya. Membuyarkan bayang masa lalu. Di samping anak kecil perempuan itu ada anak laki-laki kecil yang berujar, “Sapi kan, Kak?” Kania tersenyum,”Ini gambar kerbau. Ini tanduknya. Besar, melingkar. Kalau sapi yang ini,”
Kedua anak kecil itu berlalu. Masih dengan celoteh mereka. Antoni di mana kamu sekarang? Kania membathin.
* * *

 “Nia, bagaimana dengan persiapannya? Semua oke kan?” Sisi mendatangi Kania sambil memeluk map yang bertumpuk-tumpuk.
“Insya Allah semua beres. Kita tinggal menunggu waktunya aja,”
“Tapi kamu kok masih melukis?”
“Hmm… daripada melongo, Si,”
“Oke. Aku pergi dulu ya.” Sisi berlalu tanpa menunggu jawaban dari Kania.
Kania kembali menekuni pekerjaannya. Ia sibuk memadu warna-warna cat untuk mendapatkan hasil yang diinginkannya. Andai Antoni ada di sini. Tentu dia senang melihat Kania yang sudah bisa melukis. Bahkan besok Kania akan ikut pameran. Lima lukisannya akan dipamerkan. Sayang Antoni tidak ada. Padahal dialah dulu yang mengajari Kania melukis.
Sambil mencoret-coret kanvasnya, Kania berusaha mengingat-ingat lagi seperti apa rupa Antoni saat terakhir mereka bertemu. Perawakan yang tinggi dan besar dengan wajah yang bulat, dan rambut yang acak-acakan. Dan tangannya yang kekar, selalu melindungi Kania dari gangguan teman laki-laki yang lain. Antoni yang gemar bermain kasti dan takraw tetaplah jago dalam urusan gambar-menggambar.
Kania tersenyum ketika dia ingat saat pertama Antoni jatuh cinta. Antoni datang padanya dengan gusar. Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, Antoni bercerita padanya kalau dia menyukai Dewi, teman sekelas mereka. Kania kaget dan tidak percaya. Antoni memang susah ditebak. Naksir Dewi? Aneh! Mereka kan sering berantem.
“Aku menyayangimu, karenanya aku tidak bisa pacaran denganmu. Aku tidak mau kehilangan seorang sahabat. Tapi tiba-tiba saja aku menyukainya. Dan aku ingin pacaran dengannya. Tolong karang sebuah surat cinta untukku, ya.”
Kania dan Antoni bukan saudara. Mereka satu sekolah semenjak SD sampai Tsanawiyah. Mungkin itu yang membuat mereka dekat. Namun, semenjak tamat Tsanawiyah, sepuluh tahun yang lalu, mereka tidak pernah lagi bertemu. Antoni hilang bagai ditelan bumi. Kania sudah mencari tahu keberadaannya, bertanya pada teman-teman sekolahnya dulu yang mengenal Antoni. Namun hasilnya nihil. Antoni lenyap. Rumahnya kosong. Keluarganya pindah setelah Antoni menggambil ijazah Tsanawiyah. Kania kehilangan. Hari-harinya mulai sunyi. Antoni benar-benar susah ditebak. Pergi pun tanpa pamit.
Pernah Kania bersahabat lagi dengan laki-laki setelah itu. Tapi ia tidak seperti Antoni. Orangnya cuek, mau menang sendiri, angin-anginan. Dan banyak lagi tingkahnya yang tidak Kania sukai. Tapi karena mereka sama-sama hobi membaca dan diskusi, Kania belajar untuk memahami. Ia menyadari manusia memiliki karakter yang berbeda-beda.
Namun kenyataan pahit itu kembali terjadi. Setelah tamat Aliyah, temannya menghilang tanpa sepatah kata pun. Terakhir kali bertemu, Kania melihatnya tengah memeluk seorang cewek yang besandar manja padanya. Dan dia hanya mengepulkan asap rokoknya ketika Kania menyapa.
Rindu pada Antoni kembali menggigit. Seperti apakah dia sekarang? Tinggi? Pendek? Hitam? Atau masih putih seperti dulu? Kania sangat ingin bertemu. Masihkah Antoni senang melukis? Masihkah Antoni ingat janjinya untuk Kania?
Kania tidak lagi peduli dengan janji itu. Jika dia boleh meminta dia hanya ingin bertemu Antoni sekali lagi. Kania ingin memberikan lukisan terbaik hasil karyanya. Kania ingin Antoni tahu kalau dia tidak pernah lupa pada persahabatan mereka. Kania menekuni lukisan sebagai bagian untuk menghidupkan kenangan persahabatan mereka. Bukankah Antoni yang pertama mengenalkannya pada dunia lukis-melukis?!
Lukisan Kania yang pertama kali selesai sewaktu mereka masih SD. Tak begitu bagus. Warnanya pun acak-acakan. Tapi Antoni memujinya. “Suatu saat kita akan menjadi pelukis,” katanya.
Namun lukisan pertama itu malah hancur sebelum Antoni sempat memberi bingkai untuk Kania. Lukisan itu dihancurkan oleh teman sekelas yang jahil. Mereka kompak mengolok-oloknya, merobek dan meninggalkan Kania menangis sendirian.
Melihat lukisan Kania yang rusak, Antoni segera mencari teman-temannya yang menjahili Kania. Antoni tidak terima perlakuan mereka pada Kania. Kania tidak bisa mencegah. Antoni berkelahi. Ia kembali ke kelas dengan kepala berdarah. Kania menjerit tidak karuan. Ia takut darah. Setelah memberikan sebuah sapu tangan handuk, Kania lari ke ruang majlis guru.
* * *

“Kania! Ada yang mau ketemu!”
“Siapa, Si?” Kania tidak meninggalkan lukisan yang tengah dipandanginya. “Kayaknya peminat lukisan kamu,”
Kania melangkah ke arah yang ditunjuk Sisi. Tidak sulit menemukan orang yang dimaksud Sisi karena pengunjung pameran sudah banyak yang pulang. Orang yang dimaksud tengah membelakanginya. Memandang lukisan wajah Antoni.
“Maaf, saya Kania. Yang melukis lukisan ini.” Kania memperkenalkan diri. Perempuan yang sedari tadi menunggunya tersenyum dan mengulurkan tangan.
“Saya Ratna. Saya tertarik pada lukisan ini. Saya ingin membelinya,”
“Maaf, Kak. Khusus yang satu ini tidak saya jual.”
“Kenapa?”
Kania mulai menceritakan tentang lukisan tersebut. Pada awalnya perempuan itu menyimak dengan baik. Namun semakin panjang uraian Kania, perempuan itu mulai senyum-senyum. Kania mulai merasa tidak nyaman.
“Jadi ini lukisan seorang sahabat?”
“Bisa dibilang begitu?”
“Untuk apa anda menghidupkan kenangan akan seorang sahabat jika anda sendiri tidak yakin dia masih mengingat anda?”
“Saya tidak pernah meminta syarat dari setiap kenangan yang saya hidupkan,”
Perempuan itu manggut-manggut. Setelah minta nomor Hp Kania dia pamit pulang. “Suatu saat saya pasti akan menghubungi anda,” ujarnya.
* * *

Sebelum pulang dari sanggarnya, Kania kembali menyempatkan diri mengunjungi tempat penitipan anak yang bertetanggaan dengan sanggarnya. Ruangan yang biasanya dijadikan ruang bermain kosong. Tidak ada aktivitas menggambar di sana. Namun dia tetap bisa menemukan dirinya dan Antoni di ruangan itu. Antoni tengah mengamati lukisan wajahnya yang dibuat Kania.
“Aku ingin memilikinya.”
“Ini untuk koleksiku. Aku tidak mau menyerahkannya padamu,”
“Untuk apa? Bukankah lebih baik diserahkan pada orang yang punya wajah?” Antoni mengerutkan keningnya.
“Untuk menghidupkan kenangan persahabatan kita jika kamu pergi lagi,”
“Takut kehilangan aku ya?”
“Tidak sama sekali. Kamu berhak untuk pergi kemanapun kamu mau. Tapi aku tidak mau melupakan janjiku untuk terus melukis. Dan lukisanmu akan menyaksikan bahwa aku memenuhi janjiku.”
“Berarti keinginanmu untuk melukis belum lahir dari hatimu. Kamu melukis hanya untuk memenuhi janji padaku,”
Mereka kembali berdebat. Akhirnya, “Aku rasa aku lapar,” ujar Antoni.
Kania tersenyum. Dia yakin jika Antoni benar-benar ada di sini dan berdebat dengannya pasti kemudian dia akan mengeluhkan lapar. Dan mereka akan mencari sesuatu untuk mengisi perutnya. Sewaktu sekolah dulu, mereka akan langsung mendatangi kedai Tek Jas.
”Persahabatan bagai kepompong / mengubah ulat menjadi kupu-kupu…”
Hp Kania berdering. Di layarnya terpampang nomor yang tak dikenalnya. Namun dia tetap mengangkatnya.Ternyata Ratna! Perempuan itu ingin bertemu dengannya. Setelah membuat janji, Kania langsung pulang.
* * *

Pertemuan antara Kania dan Ratna berlangsung di sanggar. Ratna datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Dia datang bersama sepupunya. Sebelum Kania datang mereka telah melihat lukisan Antoni yang tergantung di dinding sanggar.
Sewaktu melihat Kania, Ratna mendatanginya sendirian. Dia kembali menawar lukisan Antoni. Tapi Kania masih menggeleng. “Saya ingin menghadiahkan lukisan itu untuk seseorang,” kata Ratna.
“Tapi bagi saya lukisan itu juga untuk seseorang,”
“Maukah anda saya kenalkan dengan seseorang yang sangat menyukai lukisan itu?”
“Siapa?” Kania sedikit jengah dengan sikap tamunya yang cendrung memaksa.
            Seseorang mendekati mereka. “Dia sangat tertarik pada lukisan anda,” ujar Ratna.
            Perawakannya tinggi besar. Dia memakai celana jeans dan kaos berkrah. Kulitnya putih. Tetapi Kania tidak bisa melihat wajah laki-laki itu dengan jelas. Dia memakai topi pet yang menutupi sebagian wajahnya. Namun jantung Kania mulai berdetak kencang.
“Ini saudara sepupu saya. Namanya…”
Belum selesai Ratna berucap, laki-laki itu mengulurkan tangannya seraya membuka topi petnya. “Lama tidak bertemu, Kania,”
Mata Kania membulat. Dia yakin penglihatannya tidak salah. Wajah dan lukisan itu sangat mirip…
“Antoni…?!”
* * *
Pekanbaru, April 2009

Dimuat Haluan, 25 Mei 2014