Judul buku : Daisuki Da Yo Fani-Chan (Cinta Akan
Indah Pada Waktunya)
Penulis : Winda Krisnadefa
Tahun terbit : Juni 2014
Penerbit : Qanita
Jumlah halaman : 300 halaman
ISBN : 978-602-1637-36-4
Oleh: Zurnila Emhar Ch
Menunggu itu menyakitkan. Melupakan juga menyakitkan.
Namun, bimbang antara menunggu dan melupakan itu penderitaan yang paling parah.
Kalimat
Paulo Coelho tersebut menjadi pembuka dari novel Daisuki Da Yo Fani-Chan: Cinta
Akan Indah pada Waktunya karangan Winda Krisnadefa ini. Novel ini mengisahkan
tentang Fani, seorang resepsionis sebuah perusahaan Jepang, Misako and Co.,
Ltd. Sebenarnya Fani adalah lulusan sekolah tinggi perhotelan. Dia tercatat
sebagai mahasiswi yang berprestasi. Namun setelah tamat kuliah Fani bersedia
menganggur dan hanya menjadi resepsionis karena keengganannya bekerja di hotel.
Di
perusahaan tersebut Fani berbagi pekerjaan dengan Anis, rekan sesama
resepsionisnya. Fani dan Anis bak bumi dan langit. Fani begitu kalem dan
anggun, sedangkan Anis tipikal cewek agresif, dan cendrung liar. Pada mulanya
Fani tak ingin menjalin persahabatan dengan siapapun namun kejujuran Anis yang
apa adanya menjadi pesona tersendiri bagi Fani. Di depan Anis, Fani bisa
menjadi dirinya sendiri tanpa harus berpura-pura.
Walaupun
begitu, sedikit pun Fani tidak terpengaruh dengan gaya hidup Anis. Fani selalu
menolak setiap ajakan makan siang dari pegawai-pegawai di kantor itu –termasuk orang Jepang- yang datang
padanya dengan halus, meskipun Anis telah menggambarkan padanya siapa saja yang
bersaku tebal dan royal.
Keteguhan
Fani berbuah perhatian dari bosnya, Tanabe-san. Namun, untuk mendapatkan
perhatian yang sama, Tanabe harus berupaya sungguh-sungguh. Meskipun sudah
jujur mengungkapkan perasaannya, bukan berarti gayung langsung bersambut untuk
Tanabe.
Sikap
Fani yang tidak mudah jatuh hati menjadi salah satu daya tarik novel ini. Kebanyakan
tokoh-tokoh perempuan kesulitan untuk berpaling dari pesona eksekutif muda.
Apalagi yang berdarah luar negeri. Di sini, justru Tanabe-lah yang
mengejar-ngejar Fani. “Kamu jangan salah paham. Saya hanya ingin selalu dekat
dengan kamu, tapi kelihatannya kamu tidak punya keinginan yang sama dengan
saya. Saya sudah lama berkata jujur padamu kalau saya suka dan ingin kenal kamu
lebih jauh lagi, tapi sampai sekarang justru kamu yang belum menampakkan
sikapmu. Apa yang kamu rasakan tentang saya, Fani? Apakah sama seperti perasaan
saya? Atau kamu biasa-biasa saja?” (hal.185)
Perbedaan
watak antara Fani dan Anis, tidak membuat salah satunya merasa lebih baik dari
yang lain. Fani kerap sekali melindungi Anis dari Dian, sekretaris yang cukup
galak di perusahaan itu. Termasuk
menyimpan rahasia Anis dari pacar-pacarnya. Bahkan pada Tanabe, Fani
menunjukkan rasa tidak sukanya ketika lelaki Jepang itu menguraikan kenalan
Anis. (hal.142)
Novel
ini diceritakan dengan berselang-seling antara Fani yang sekarang bekerja di
perusahaan Jepang dengan kisah Fani sewaktu magang di Singapura. Membaca masa
remaja Fani membuat rasa penasaran karena sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Fani dewasa hingga pertengahan cerita. Mendekati akhir novel barulah
penulis menautkan kisah Fani remaja dengan Fani dewasa. Ternyata keengganan
Fani bekerja di hotel adalah bagian dari trauma masa magangnya. Di Singapura, dia
kehilangan Lana, sahabatnya dengan cara yang sangat tragis.
Trauma
itu pulalah yang membuat Fani mengundurkan diri dari Misako dengan membawa nama
buruk demi melindungi Anis. (hal. 214)
Secara
keseluruhan alur novel ini menarik, hanya saja posisi Fani sebagai tokoh utama
terasa tersaingi oleh Anis. Anis lebih mendominasi alur cerita. Penulis dengan
detail menuliskan seperti apa watak resepsionis itu, gaya berpakaian dan
pergaulannya dengan sekian orang pacar. Bahkan kondisi keluarga Anis yang
kurang beruntung sehingga menuntutnya melakukan apa saja sebagai tulang
punggung keluarga terkesan lebih dramatis ketimbang sosok Fani.
Detailnya
penulis dalam menggambarkan Anis –salah satunya- bisa ditemukan pada paragraf
beikut; Jam dua belas kurang kurang lima belas menit Onis masuk menuju pantry. Tidak lupa disandangnya tas
Prada hitam barunya. Tommy mengirimkannya langsung dari Milan seminggu yang
lalu. Sekali lagi aku hanya bisa menggeleng-geleng melihat penampilannya. Onis
seperti manekin berjalan. Mulai dari dalaman sampai ujung kaki, semuanya branded. Untuk ukuran gaji seorang
resepsionis, Onis sangat berkelas. Tapi tentu saja aku tahu dari mana
benda-benda mahal itu berasal. Bra Victoria’s Secret, kosmetik Max Factor,
blazer dan rok dari Next, dan hari ini dia memakai sepatu Manolo Blahnik yang
dibelikan Cedric sebulan yang lalu. Belum lagi isi tasnya. Dompet LV, kacamata
hitam Gucci dan beberapa alat make-up
kecil dari Lancome. She’s stuffed with
branded stuff. (hal.97)
Kedekatan
Fani dengan Tanabe-san mulai menguasai alur saat menjelang akhir novel. Ketika
Fani diterima sebagai sekretaris di perusahaan Fujita Corp. Pada waktu yang
berdekatan sosok Ogi kembali muncul setelah sekian tahun menghilang dari dunia
Fani. Bersama Ogi, kekasih masa remajanya, Fani mencoba untuk memaafkan dirinya
atas kejadian yang menimpa Lana.
Hal
yang terasa janggal pada novel ini terdapat pada kavernya. Ranting pohon yang
terdapat pada kaver berwarna lembut dan judul dalam bahasa Jepang tersebut
memberi kesan yang kuat akan suasana Jepangnya. Namun, dalam penyajiannya novel
ini tidak menyinggung Jepang sama sekali. Sebagaimana settingnya, nuansa
Jakartanya kental sekali.
Dan
yang paling mengesankan dari novel ini adalah tema yang diangkat. Jarang sekali
penulis mengangkat seluk-beluk dunia perhotelan dan posisi seorang resepsionis
ke permukaan. Para pembaca disuguhi keriuhan di dapur hotel, juga keseharian seorang
resepsionis. Untuk itu, Winda Krisnadefa bisa dibilang berhasil dalam cerita
ini. ***
Dimuat Koran
Singgalang, 23 November 2014