Selasa, 27 Januari 2015

Max Havelaar: Teladan dari Seorang non-Pribumi untuk Pemimpin Indonesia



                                 Judul buku            :  Max Havelaar
Penulis                   :  Multatuli
Tahun terbit           : Cet-3, September 2014 
Penerbit                 :  Qanita
Jumlah halaman     :  480 halaman
ISBN                     :  978-602-1637-45-6 

 

 Oleh: Zurnila Emhar Ch

Siapa yang tidak mengenal nama Eduard Douwes Dekker? Dalam buku sejarah di sekolah dasar, beliau dikenal sebagai salah seorang anggota Tiga Serangkai pendiri Indische Partij, sebuah partai politik yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Beliau dikenal sebagai salah seorang keturunan asing yang memiliki kepedulian luar biasa terhadap negeri jajahan negaranya. Salah satu bentuk kepedulian tersebut bisa dibaca dalam buku karangannya yang berjudul Max Havelaar.
Novel ini menceritakan tentang kesewenang-wenangan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Max Havelaar mengisahkan kesengsaraan dan ketidakadilan yang diterima penduduk Sumatra (Padang dan Natal), Maluku dan terlebih masyarakat Lebak, Banten pada abad ke-19.
Max Havelaar yang baru saja dilantik sebagai Asisten Residen di Distrik Lebak segera mencurahkan perhatiannya pada penduduk Lebak, termasuk dengan mempelajari laporan-laporan pejabat sebelumnya, Tuan Slotering (yang kabarnya meninggal karena diracuni). Di sana, Havelaar menemukan banyak kecurangan yang terjadi. Dan yang lebih parahnya penindasan tersebut justru dilakukan oleh pejabat pribumi sendiri.
Raden Adipati Karta Natanegara yang menjabat Bupati Banten kerap meminta para petani menggarap sawahnya tanpa memberikan upah. Petani juga sering diminta menggarap perkebunan dengan paksa sehingga penanaman padi terbengkalai dan menyebabkan bencana kelaparan. Dengan mendorong rakyat bekerja tanpa upah di perkebunan, Bupati akan mendapat persenan di tiap pikulnya.
Pemerintah juga memaksa petani untuk menanam tanaman tertentu di tanah mereka sendiri, dan petani harus menjualnya ke pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika mereka menjualnya pada orang lain mereka akan menerima risiko hukuman.
Selain itu, Bupati juga memiliki kerabat yang sama rakusnya dengan dirinya. Seorang menantunya yang menjadi Demang di Distrik Parang Kujang memiliki kegemaran merampas kerbau-kerbau penduduk. Ternak itu diambil dengan paksa tanpa ada ganti rugi sedikit pun.
Mengenai hal ini Havelaar menceritakan kisah Saidjah dan Adinda yang kerbau milik orang tuanya dirampas berkali-kali. Sehingga mereka kehabisan harta dan tidak lagi sanggup membayar pajak tanah yang tinggi. Untuk menghindari hukuman, mereka terpaksa melarikan diri ke Lampung. Dan bergabung dengan pemberontak. Sebuah kisah yang mengharu biru. (hal.366 – 397)
Untuk membantu penduduk, Havelaar mencoba memperingatkan Bupati secara halus. Namun usahanya sia-sia. Kemudian dia juga mengadukan hal tersebut kepada Reseiden Banten. Tetapi, lagi-lagi laporannya dianggap mengada-ada. Bahkan Gubernur Jenderal di Batavia pun menolak menemuinya. (hal. 456)
Novel bermuatan sejarah ini diceritakan dengan tiga sudut pandang; Tuan Batavus Droogstoppel yang mendanai buku untuk diterbitkan, lalu Stern; pegawai Droogstoppel, dan Havelaar sendiri. Mungkin karena dikisahkan oleh tiga orang yang berbeda kepentingan, alur novel ini tak beraturan. Dibutuhkan kejelian untuk memahaminya.
Droogstoppel seorang makelar kopi di Lauriergracht no. 37 dan merupakan pimpinan firma Last & Co. Dia adalah pribadi yang taat namun cendrung mementingkan diri sendiri. Tujuannya mendanai buku ini adalah untuk kepentingan bisnisnya dan dia mengharuskan buku ini diberi judul ‘Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.’
Ernest Stern adalah seorang anak muda yang menyukai sastra. Demi membaca kumpulan tulisan Havelaar selama bekerja di Hindia Belanda yang begitu menyentuh dia tergerak untuk menuliskan apa yang hendak disampaikan itu. Sekalipun itu melenceng dari ‘kopi’ dan ditentang oleh Droogstoppel.
Dan Max Havelaar menulis buku ini dengan tujuan menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya terjadi di Hindia Belanda yang tidak diketahui oleh Raja. Selama ini Raja William hanya mendapati laporan yang baik-baik saja tentang negeri jajahannya dan menganugrahi para pejabat Belanda sebagai seorang pengabdi negara yang bersemangat karena mampu menambah pundi-pundi kekayaan negara. Raja tidak pernah tahu kondisi rakyat yang kelaparan dan tertindas untuk menghasilkan uang kas negara tersebut.
Bagian yang menyentuh dari buku ini adalah pidato atau sumpah jabatan Havelaar yang diungkapkan dalam bahasa yang indah. Havelaar mengatakan bahwa jabatan yang diterimanya dan juga yang disandang para bangsawan Jawa adalah sebuah berkah dari Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang dipilih untuk membantu rakyat. Di antara pernyataan Max Havelaar dalam pidato sumpah jabatannya bisa ditemukan dalam kalimat-kalimat ini.
Bukankah Dia mencurahkan hujan ketika batang-batang padi melayu, dan menurunkan embun dalam kelopak bunga yang kehausan?
Bukankah mulia untuk diutus mencari mereka yang kelelahan, yang tertinggal setelah bekerja dan jatuh tersungkur di jalanan karena lutut mereka tidak cukup kuat untuk membawa mereka ke tempat mereka bisa memperoleh upah? ... Tidakkah hati saya melonjak gembira ketika melihat bahwa saya telah dipilih di antara banyak orang untuk mengubah keluhan menjadi doa dan ratapan menjadi rasa syukur?
Jiwa manusia tidak bergembira karena upah, tapi karena bekerja untuk mendapatkan upah tersebut. (hal.155)
Tentang kemiskinan di Lebak, Havelaar mengatakan; Saya bertanya kepada kalian, para pemimpin Lebak. Mengapa banyak orang pergi untuk tidak dimakamkan di tempat mereka dilahirkan? Mengapa pohon bertanya: ‘Di manakah orang yang kulihat bermain di kakiku semasa dia masih kecil?’
Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat menguburkan orang tua mereka? Mengapa mereka kabur dari desa tempat mereka disunat? Mengapa mereka lebih menyukai kesejukan pohon yang tumbuh di sana daripada naungan hutan kita? (hal.158).
Buku ini ditulis Douwes Dekker setelah 18 tahun mengabdi di Indonesia. Beliau menggunakan nama samaran Multatuli yang berarti ‘Aku yang sudah banyak menderita’.
Di luar dari cara penceritaan yang melompat-lompat, novel ini sangat memikat. Ditulis dengan penuh cinta justru oleh seorang yang bukan pribumi. Ada ketulusan yang mengagumkan dalam pemikiran dan pandangannya. Kiranya buku ini patut dibaca lagi oleh para pemimpin Indonesia saat ini dan orang-orang yang telah diberi Tuhan kesempatan untuk menjadi wakil rakyat, juga orang-orang yang telah mendapatkan kepercayaan di instansi-instansi pemerintahan. Semoga buku ini menyadarkan mereka yang tengah terlena dalam jabatan ataupun korupsi.***
Prw, November 2014
Dimuat Koran Singgalang, Ahad, 25 Januari 2015

The Chocolate Thief: Upaya Mengenali Diri dalam Manisnya Cokelat



                                      Judul buku            :  The Chocolate Thief (Mencarimu di Antara  Seribu Coklat)
Penulis                  :  Laura Florand
Tahun terbit           : Cetakan Keenam, Februari 2014          
Penerbit                :  Bentang
Jumlah halaman     :  414  halaman
ISBN                   :  978-602-7888-31-9




Oleh : Zurnila Emhar Ch


Paris—fashion, romantis, dan cokelat. Namun, tidak untuk wanita Amerika sepertiku. Aku sudah tidak tahan lagi berjalan (sok) anggun dengan high heels ini. Menurutku, Paris juga bukan kota teromantis di dunia. Dan tolong catat, semua ini berawal dari Sylvain Marquis yang dengan sombongnya menolakku untuk bekerja sama.
Oh, God! Apa dia tidak mengenaliku? Aku ini Cade Corey, pewaris tahta Corey Chocolate, perusahaan cokelat terbesar di Amerika. Oke, lihat saja... Memang dia satu-satunya pembuat cokelat terbaik di dunia ini?
***
Begitulah kalimat-kalimat yang terdapat di blurb novel karangan Laura Florand ini. Diceritakan bahwa Cade Corey mendatangi Paris untuk mengajak Sylvain Marquis bekerja sama untuk sebuah produk di lini baru perusahaan keluarga Corey. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Sylvain dengan cara yang kasar.  
Penolak itu membawa Cade pada Dominique Richard. Namun lelaki yang sama sekali tidak menarik itu juga menolak gagasan Cade. Karena hal tersebut, jadilah gadis itu berkelana di Paris, mendatangi para pembuat coklat lainnya dan menawarkan hal yang sama. Tapi hasilnya tetap nihil.
Padahal untuk mendapatkan kerja sama yang diimpikannya dengan pembuat cokelat di Paris, Cade telah melakukan kursus bahasa Prancis. Dan Sylvain adalah orang pertama yang ada dalam daftarnya. Sekaligus yang pertama menolaknya.
Sylvain Marquis merupakan seorang pembuat cokelat terkenal di Paris. Perawakannya yang tinggi, gagah dan wajah tampannya ikut mendukung pesonanya. Sylvain menghabiskan waktunya sehari-hari di atelier (ruang kerja)-nya. Di sana dia mengolah coklat, memadu-padankan rasa dan menjual hasil kreasinya.
Dan Cade merupakan generasi ke sekian dari keluarga pemilik perusahaan cokelat terkenal di Amerika. Tujuan kedatangannya ke Paris untuk menggaet pembuat cokelat terkenal untuk membuat produk baru dalam lini baru perusahaannya ini didukung sepenuhnya oleh kakeknya, Jack Corey.
Keluarga Corey memiliki sekitar 30% perkebunan kakao di seluruh dunia. Mereka mendanai institusi, satu-satunya yang berdiri di antara chocolatier. Keluarga Corey juga terkenal karena memimpin gerakan untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja di perkebunan kakao.
Sejak lahir Cade telah ditakdirkan untuk mewarisi kekayaan keluarganya. Dan melanjutkan bisnis tersebut. Apalagi saudaranya sama sekali tidak tertarik pada usaha turunan ini.
Berbeda dengan Cade, Sylvain telah melewati jalan berliku untuk sampai di posisinya sekarang. Menghabiskan masa remajanya sebagai sosok yang pemalu dan kerap diremehkan membuat Sylvain ingin menjadi sosok yang ‘diinginkan’. Bermula dari perlakukan tidak menyenangkan dari teman-teman perempuannya semasa sekolah yang kerap memanfaatkannya, Sylvain mulai tertarik pada cokelat. Menurutnya hanya cokelat yang bisa membuat perempuan takluk padanya.
Ketertarikan tersebut membawanya pada berbagai percobaan demi percobaan untuk menghasilkan cokelat terbaik. Dan di usia tiga puluh tahun, Sylvain telah menjelma pembuat cokelat terbaik di Paris.
Sepanjang alurnya, pembaca disuguhi dengan aroma cokelat, nama-nama cokelat dan campuran-campurannya. Cerita ini makin menarik sejak Cade tergoda untuk menyuap seorang wanita yang hendak mengikuti workshop Sylvain di atelier-nya untuk bertukar tempat dengannya. Untuk mendapatkan posisi itu, Cade harus membayar mahal. Sebuah cek dengan nominal kurang lebih dua belas ribu dolar dan beban tujuh puluh lima ribu di kartu kreditnya. Ya, Cade telah menyerahkan kartu kreditnya untuk digunakan seharian oleh Maggie Saunders yang bertukar tempat dengannya. (hal.120)
Namun, ternyata Sylvain mengenali Cade dengan penyamarannya dan tidak mengizinkannya mengikuti sesi setelah makan siang.
Penghinaan yang diterimanya membuat Cade memata-matai atelier Sylvain. Dari rekaman kamera dan teropongnya, Cade bisa mengetahui kode akses pintu toko dan atelier tersebut. Sejak itu, mulailah Cade menyelinap tiap malam ke ruang kerja Sylvain.
Pada akhirnya kelakuan Cade membuat namanya dan nama Sylvain muncul di web New York Times dengan judul artikel All’s Fair in Love and Chocolate? Artikel tersebut menyatakan Cade Corey telah mencuri resep cokelat Sylvain Marquis. (hal.183)
Menariknya, ketika nama Cade terekspos, Sylvain justru merasa simpati padanya. Laki-laki itu selalu berusaha melindungi Cade. Membuat gadis itu merasa nyaman.
Pertemuan-pertemuan mereka berikutnya justru makin mendekatkan mereka berdua. Ketertarikan Cade pada dirinya membuat Sylvain luluh. Belum pernah dia menemukan perempuan yang tertarik pada dirinya. Kebanyakan mereka mendekatinya hanya karena tertarik pada cokelat.
Hubungan yang terjalin tanpa nama tersebut pun mengiring Cade pada tujuan hidupnya. Dia mulai mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkannya dalam hidupnya. Sekadar meneruskan bisnis keluarga atau membangun sebuah keluarga.
Sedangkan, bagi Sylvain kedekatan mereka adalah keberuntungannya, sekaligus luka yang akan siap untuk menganga, seandainya Cade kembali ke Amerika.
“Keberuntunganku adalah dari semua orang yang masuk ke toko cokelatku, kau yang masuk ke dalam hidupku. Kau.” (Hal.397)
Tokoh-tokoh yang dihadirkan Laura dalam novel ini memiliki karakter yang kuat. Terkadang pembaca bisa ikut jengkel dengan kesombongan Sylvain, namun pada waktu yang hampir bersamaan Sylvain akan muncul dengan manis. Begitu pula dengan Cade, sosok yang begitu feminim, manis bisa menjadi ‘gagah’ karena rasa tanggung jawabnya terhadap perusahaannya.
Selain membagikan pengetahuan tentang cokelat, novel ini juga berhasil membangun suasana romantis. Seperti cokelat Amour-nya Sylvain yang pahit, hitam namun kaya rasa dan meleleh lembut, novel ini pun bisa membuat pembacanya ‘meleleh’. ***
Desember 2014
*Dimuat di Koran Singgalang, Ahad, 25 Januari 2015


Sabtu, 24 Januari 2015

26 - Rindu: Perjalanan yang Mengajarkan Keikhlasan



                                 Judul buku            :  Rindu
Penulis                  :  Tere Liye
Tahun terbit           : Oktober 2014   
Penerbit                 :  Republika Penerbit
Jumlah halaman      :  544 halaman
ISBN                     :  978-602-8997-90-4

 


Oleh: Zurnila Emhar Ch

Menunaikan ibadah haji adalah impian setiap muslim. Ibadah yang merupakan rukun Islam yang terakhir ini selalu mengundang kerinduan bagi orang-orang yang sudah pernah menjalaninya ataupun bagi mereka yang belum pernah menjalankannya.
Jika di zaman sekarang untuk sampai di Mekah hanya dibutuhkan beberapa jam perjalanan di udara. Tetapi, di tahun 1938 para calon jamaah haji harus menempuh perjalanan laut selama satu bulan untuk sampai di tujuan. Dan berbilang bulan untuk bisa kembali ke tanah air. Berbagai masalah bisa saja menghadang mereka di tengah laut.
Salah satu kapal yang mengantar jamaah haji kala itu adalah kapal Blitar Holland. Kapal uap ini memulai perjalanan dari Makassar, dilanjutkan ke Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang dan terakhir di Aceh, untuk kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke Jeddah. Kapal ini membawa lebih dari seribu orang calon jamaah haji yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ditambah dengan sekian banyak kelasi dan tentara pengaman Belanda.
Kapal ini dipimpin oleh Kapten Phillips, seorang kapten kapal Belanda yang baik dan rendah hatinya.
Novel ini bukan semata kisah tentang perjalanan menuju Baitullah, tapi intinya mengetengahkan lima pertanyaan besar yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan pertama berasal dari Daeng Andipati. Dia adalah seorang saudagar kaya dari Makassar, naik haji bersama keluarganya. Mereka adalah potret keluarga bahagia. Namun ternyata Daeng Andipati tidak sebahagia itu. Ada kebencian yang besar dalam dirinya terhadap orang yang harusnya disayangi dan dihormati.
Pertanyaan kedua berasal dari Bonda Upe, calon haji berdarah Tionghoa yang menjadi guru mengaji di kapal. Masa mudanya yang dijalani sebagai cabo di Macao Po, tempat pelacuran terkenal di Batavia menjadi rahasia besarnya. Sepanjang perjalanan sebuah pertanyaan selalu mengiringi pelayarannya; layakkah seorang mantan pelacur mengunjungi tanah suci?
Kemudian, ada Ambo Uleng. Dia bukan calon jamaah haji. Pemuda dua puluh empat tahun itu berada di Blitar Holland dalam rangka melarikan diri dari sakitnya patah hati.  Dia ingin meninggalkan semua kenangan indahnya dengan sang kekasih dalam pelayaran ini. Termasuk meninggalkan tanah kelahiran. Di kapal Ambo menjadi kelasi dapur.
Tokoh lainnya adalah Eyang Kakung Slamet. Dia berangkat haji bersama istri dan anak sulungnya. Calon jamaah haji yang berasal dari Semarang ini adalah contoh pasangan paling romantis dan harmonis di kapal. Naik haji merupakan janji Mbah Kakung pada Mbah Putri yang telah setia mengarungi rumah tangga bersamanya selama enam puluh tahun.
Namun, keceriaan Mbah Kakung seketika lenyap ketika istrinya menghembuskan napas terakhir sebelum sampai di Mekah. Jasad Mbah Putri ditenggelamkan di laut. Tinggallah Mbah Kakung dengan hati yang terpuruk dalam luka.
Yang terakhir, yang menjadi pusaran cerita ini, Gurutta Ahmad Karaeng, seorang ulama besar yang menjadi imam di Masjid Katangka. Di kapal Blitar Holland, Gurutta juga menjadi imam masjid.
Peranan Gurutta sangat terasa dalam perjalanan ini. Tidak ada orang yang tidak mengenalnya. Dia adalah tempat bertanya dari soal agama sampai hal-hal umum. Bahkan Kapten Phillips pun menyeganinya. Dan kerap melibatkan dalam setiap musyawarah.
Setiap hari Gurutta menghabiskan waktunya di kabin untuk menulis. Tulisan yang kemudian hari menjebloskannya ke dalam penjara kapal. Buku hasil perenungan dan pemikiran Gurutta itu berjudul Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa.
Sebenarnya Gurutta juga membawa beban dalam perjalanannya. Setelah beberapa kali melihat pertumpahan darah para pejuang  melawan Belanda pada masa itu Gurutta memilih melawan penjajah dengan buah pemikiran. Lewat pengajiannya, dia kerap mengobarkan semangat kemerdekaan pada jamaah Masjid Katangka. Namun Gurutta tidak punya nyali untuk ikut angkat senjata seperti pejuang lainnya. Ketidakberaniannya itu membuatnya merasa sebagai orang munafik. Perasaan itu terus merongronginya, seorang munafik mengunjungi tanah suci!
***

Dari awal hingga pertengahan novel ini terasa datar. Tidak ada masalah yang begitu besar yang mempengaruhi emosi pembaca. Ditambah lagi lokasi cerita hanya berkisar di dalam kapal dan beberapa kejadian di pelabuhan.
Hal mengasyikkan dalam alur novel adalah sosok Anna, putri bungsu Daeng Andipati. Kehadirannya mampu mempermanis cerita walau belum ada konflik yang tajam. Anna, anak kecil berusia sembilan tahun yang cerdas, lincah, selalu ceria, penuh rasa ingin tahu, ceplas-ceplos dan polos.
Emosi pembaca mulai diaduk sejak kejadian di Batavia. Seorang cabo menyapa Bonda Upe. Pertemuan itu membuat guru mengaji tersebut merasa rahasianya terbongkar. Karena malu Bonda Upe mengunci dirinya di kabin kapal. Beruntung dia memiliki suami yang sabar dan senantiasa mengajaknya berani menerima masa lalu.
Bonda Upe baru kembali mengajar setelah Gurutta menasehatinya, “Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia kan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.” (hal.312)
“Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.” (hal.313)
Ketegangan berikutnya muncul saat seseorang berusaha membunuh Daeng Andipati untuk membalas dendam. Dan puncak dari konflik itu adalah munculnya perompak Somalia yang hendak merebut kapal. Asad, sang perompak berhasil melumpuhkan Kapten Phillips dan mengambil alih kemudi. Namun, berkat pengalaman Ambo Uleng melawan perompak di perairan Malaka maka Asad dan kawanannya bisa dilumpuhkan. 
Perjalanan ini bukan semata-mata proses Daeng Andipati, Bonda Upe belajar memaafkan dan menerima masa lalu atau perjalanan yang membuat Mbah Kakung dan Ambo Uleng menerima takdir kehilangan orang yang disayangi. Tapi perjalanan ini juga pembuktian bagi Ambo Uleng sebagai pelaut Bugis yang terampil dan cekatan.
Ketika mesin kapal mati dan kapal beserta seluruh isinya terancam terkatung-katung di lautan, Ambo muncul sebagai penyelamat. Ambo mengibarkan layar, mengatur arah dan gerakan layar agar bisa membawa kapal menuju pelabuhan Kolombo. Kemampuan yang membuat Kapten Phillips bangga telah merekrutnya. (hal.444)
Begitu juga saat menghadapi perompak Somalia. Ketika tidak lagi tampak celah untuk melawan, semua orang pasrah menerima keadaan, Ambo Uleng membuat rencana dadakan dan berhasil. Keberhasilannya melumpuhkan para perompak sekaligus membantu membuka jalan bagi Gurutta untuk ke luar dari rasa ‘kemunafikannya’.
“Gurutta, kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan. Dengan air mata dan darah.” Ambo Uleng menggenggam lengan Gurutta.

“Aku tahu, sejak kejadian di Aceh, meninggalnya Syeikh Raniri dan Cut Kemala, sejak itu Gurutta berjanji tidak akan menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki kita dengan itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.” (hal.531)

***

Novel Tere Liye ini hadir dengan pesona. Penulis piawai memainkan peranan tokohnya untuk menghidupkan suasana di tengah pelayaran yang cendrung membosankan. Hanya ada beberapa kesalahan ketik yang tidak begitu mengganggu, seperti sejatuh (harusnya ‘sejauh’), anak tunggu (harusnya ‘anak tangga’) dan beberapa kata lainnya.
Selebihnya novel ini penuh daya pikat yang siap membawa pembacanya merenung, menyelami hati untuk ikhlas menerima takdir dan memperbaiki diri.
***
20 November 2014
Telah dimuat Majalah Sagang, edisi Desember 2014



Kaver Majalah Sagang edisi Desember 2014