Minggu, 10 Agustus 2014

(Bukan) Salah Waktu : Luka dari Masa Lalu



Judul buku            :  (Bukan) Salah Waktu
Penulis                  :  Nastiti Denny
Tahun terbit          : Desember 2013
Penerbit               :  Bentang
Jumlah halaman    :  248 halaman
ISBN                   :  978-602-7888-94-4



LUKA DARI MASA LALU

Tema kehidupan rumah tangga memang tidak ada habisnya untuk diceritakan. Beragam kisah terhampar untuk diambil hikmahnya. Selain dari menikmati romansa dan bersabar menjalani peliknya hidup berkeluarga, kesalahan yang tidak disengaja sekalipun layak untuk diungkapkan pada pasangan. Jujur. Kiranya itulah yang ingin disampaikan Nastiti Denny dalam novel (Bukan) Salah Waktu ini.
Dikisahkan, Sekar memutuskan meninggalkan pekerjaannya untuk fokus pada keluarga. Perceraian orang tuanya yang sama-sama sibuk membuat Sekar ingin menjadi perempuan yang pantas sebagai istri dan ibu (hal. 65). Dalam menjalani peran barunya, Sekar belajar memasak kepada Marni, pembantunya yang berbakat. Sejak itu Sekar tidak pernah absen menyiapkan sarapan dan bekal untuk Prabu, suaminya.
Dua tahun menikah tanpa hadirnya buah hati bukan masalah bagi mereka. Memiliki rumah dengan uang pribadi sudah cukup membahagiakan walaupun hubungan mereka tidak begitu romantis. Ketenangan rumah tangga itu mulai terusik dengan kemunculan Bram. Dari Bram, Sekar mendapati kenyataan tentang masa lalu suaminya yang telah memiliki anak dari Laras, kakak Bram (hal. 76).
Berita itu tidak membuat Sekar serta merta meledak. Dia sadar dirinya juga merahasiakan kondisi keluarganya. Dia tidak ingin kekahawatiran mertuanya menjadi kenyataan. Sekar mengerti, dia bisa menikah dengan Prabu karena keluarga suaminya tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Seandainya mertuanya tahu orang tuanya sudah bercerai, pasti dulu mereka menolaknya sebagai menantu.
Di sisi lain, Prabu baru mengetahui kalau dia telah memiliki anak yang berusia delapan tahun dari Laras, saat meeting di Bogor (hal. 101). Masalahnya terasa makin rumit dengan dendam yang mengarah pada ayahnya. Laras dan Bram kembali untuk menghancurkan keluarganya. Laras menganggap ayah Prabu adalah penyebab kehancuran keluarganya. Jabatan ayah Prabu di dinas pertanahan sebelas tahun lalu telah membuat usaha ayah Laras bangkrut dan membuat ayahnya depresi hingga gantung diri.
“Karena ayahmu, ayahku memutuskan meninggalkan aku, ibuku dan adikku. Membuat hidup kami terpuruk (hal. 106).
Novel ini mengalir dengan tenang. Kilas balik masa lalu tokoh utama menjadi kekuatan alur. Namun kemunculan Laras dan Bram yang sebenarnya merupakan konflik utama justru tidak terasa imbasnya pada rumah tangga Sekar dan Prabu. Kenyataan bahwa Sekar anak pungut juga tidak menyentuh hubungan mereka (hal. 158). Konflik yang seharusnya menguatkan tema terasa kurang berhasil dibangun penulis.
Ada beberapa hal yang agak ganjil dalam hubungan Sekar dan Prabu. Pertama, keduanya berpisah selama tiga minggu dan sama sekali tidak berkomunikasi. Prabu mengurusi urusannya dengan Laras, membuktikan kebenaran cerita tentang ayahnya. Tak ada permintaan maaf pada Sekar. Dan Sekar sibuk merawat mamanya yang terserang stroke. Tidak ada pembicaraan tentang masalah yang menghampiri mereka. Pun ketika Prabu menunjukkan tes DNA Wira kepadanya, emosi Sekar sebagai istri tidak keluar.
“Aku membebaskanmu untuk memilih. Aku tak berhak memaksamu untuk tetap tinggal bersamaku.” Suara Prabu terdengar parau.
“Kau akan menikahi Laras?” ujar Sekar lirih.
“Belum tahu,” jawab Prabu singkat. (hal.193 )
Kedua, bagaimana mungkin Prabu tidak mengetahui kalau mertuanya telah lama bercerai? Lagian Sekar memiliki trauma dari masa lalunya yang sering menjadi mimpi buruk. Kenapa Prabu tidak bertanya ketika mendapati Sekar tertidur sambil meringkuk di celah antara dinding dan lemari?
Ketiga, Bram dan Laras kehilangan tujuan. Bram jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap Sekar? Dan Laras menghilang setelah tes DNA. Bram dan Laras tersadar begitu cepat sebelum pembaca benar-benar merasakan peran mereka.
Penggambaran yang detil tentang tempat dan waktu menjadi poin plus lainnya. Namun, karakter Sekar yang begitu kuat tidak seimbang dengan karakter Prabu. Kecanggungnya Sekar di awal berhenti kerja, Prabu memahaminya. Namun, tidak ada kata menyesal ketika dia tidak memenuhi janji makan pepes buatan Sekar selama tiga hari. Prabu hanya mengedikkan bahu (hal. 19). Juga tidak ada kegembiraan ketika tahu Sekar hamil. Notes-notes yang ditulis Prabu seakan tempelan saja.
Karakter Bu Yani malah lebih kuat. Ketidakpeduliannya sebagai ibu berimbas pada trauma yang terus menghantui Sekar.
Tokoh yang membuat penasaran adalah Alex. Papa Sekar yang telah lama tak berkabar bernama Alex. Orang yang tahu dalang kebangkrutan ayah Laras juga bernama Alex. Saya merasa keduanya orang yang sama tapi tak ada keterangan. Dan Yasmina adalah tokoh yang membingungkan. Semula Yasmina merupakan nama Sekar sebelum diadopsi (hal. 143), tapi dalam mimpi Sekar di ending cerita dinyatakan tiga orang anak berada di pelukan mamanya; Langit, Yasmina dan dirinyakah? (hal.236)
Secara keseluruhan novel ini memiliki setting dan alur yang bagus. Hanya saja konfliknya kurang terasa dan klimaksnya pun tidak jelas. Tawaran kerja ke Singapura untuk Prabu dan ke Afrika untuk Sekar, tak berkeputusan.
Sampul warna putih dengan jam beker di tengahnya terkesan terlalu ceria untuk tema yang diangkat. Sedangkan pada blurb-nya terkesan serius. Namun, ketika waktu bergulir tanpa bisa dibendung, ketika kenyataan memaksa untuk dipahami, ketika kesalahan memohon untuk dimaafkan, kurasa aku tak sanggup, Sayang... Sampul, blurb dan konflik seperti tidak sinkron.
Beberapa kesalahan editan terdapat pada keterangan orang yang menjaga Langit, nama yayasan Bu Yani dan pekerjaan ayah Prabu. Saya anggap ini human error.
Di luar semua itu, novel ini menyampaikan pesan yang jelas; berdamailah dengan masa lalu dan jujurlah pada pasangan hidupmu.*

Dimuat di Koran Singgalang, 6 Juli 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar