Jumat, 28 Juli 2017


ANAK ADALAH ANUGERAH YANG TIDAK DIMILIKI SEMUA ORANG

                                                                     


Foto : koleksi pribadi

Seorang kenalan saya membawa seorang bayi mungil untuk hidup bersamanya. Umurnya kurang lebih dua bulan. Bayi ini kemudian diasuh dan dirawat sebagai anak sendiri. Berhubung dia tidak bisa menyusuinya, sang ibu senantiasa menyiapkan susu formula sebagai ganti.

Selasa, 27 Januari 2015

Max Havelaar: Teladan dari Seorang non-Pribumi untuk Pemimpin Indonesia



                                 Judul buku            :  Max Havelaar
Penulis                   :  Multatuli
Tahun terbit           : Cet-3, September 2014 
Penerbit                 :  Qanita
Jumlah halaman     :  480 halaman
ISBN                     :  978-602-1637-45-6 

 

 Oleh: Zurnila Emhar Ch

Siapa yang tidak mengenal nama Eduard Douwes Dekker? Dalam buku sejarah di sekolah dasar, beliau dikenal sebagai salah seorang anggota Tiga Serangkai pendiri Indische Partij, sebuah partai politik yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Beliau dikenal sebagai salah seorang keturunan asing yang memiliki kepedulian luar biasa terhadap negeri jajahan negaranya. Salah satu bentuk kepedulian tersebut bisa dibaca dalam buku karangannya yang berjudul Max Havelaar.
Novel ini menceritakan tentang kesewenang-wenangan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Max Havelaar mengisahkan kesengsaraan dan ketidakadilan yang diterima penduduk Sumatra (Padang dan Natal), Maluku dan terlebih masyarakat Lebak, Banten pada abad ke-19.
Max Havelaar yang baru saja dilantik sebagai Asisten Residen di Distrik Lebak segera mencurahkan perhatiannya pada penduduk Lebak, termasuk dengan mempelajari laporan-laporan pejabat sebelumnya, Tuan Slotering (yang kabarnya meninggal karena diracuni). Di sana, Havelaar menemukan banyak kecurangan yang terjadi. Dan yang lebih parahnya penindasan tersebut justru dilakukan oleh pejabat pribumi sendiri.
Raden Adipati Karta Natanegara yang menjabat Bupati Banten kerap meminta para petani menggarap sawahnya tanpa memberikan upah. Petani juga sering diminta menggarap perkebunan dengan paksa sehingga penanaman padi terbengkalai dan menyebabkan bencana kelaparan. Dengan mendorong rakyat bekerja tanpa upah di perkebunan, Bupati akan mendapat persenan di tiap pikulnya.
Pemerintah juga memaksa petani untuk menanam tanaman tertentu di tanah mereka sendiri, dan petani harus menjualnya ke pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika mereka menjualnya pada orang lain mereka akan menerima risiko hukuman.
Selain itu, Bupati juga memiliki kerabat yang sama rakusnya dengan dirinya. Seorang menantunya yang menjadi Demang di Distrik Parang Kujang memiliki kegemaran merampas kerbau-kerbau penduduk. Ternak itu diambil dengan paksa tanpa ada ganti rugi sedikit pun.
Mengenai hal ini Havelaar menceritakan kisah Saidjah dan Adinda yang kerbau milik orang tuanya dirampas berkali-kali. Sehingga mereka kehabisan harta dan tidak lagi sanggup membayar pajak tanah yang tinggi. Untuk menghindari hukuman, mereka terpaksa melarikan diri ke Lampung. Dan bergabung dengan pemberontak. Sebuah kisah yang mengharu biru. (hal.366 – 397)
Untuk membantu penduduk, Havelaar mencoba memperingatkan Bupati secara halus. Namun usahanya sia-sia. Kemudian dia juga mengadukan hal tersebut kepada Reseiden Banten. Tetapi, lagi-lagi laporannya dianggap mengada-ada. Bahkan Gubernur Jenderal di Batavia pun menolak menemuinya. (hal. 456)
Novel bermuatan sejarah ini diceritakan dengan tiga sudut pandang; Tuan Batavus Droogstoppel yang mendanai buku untuk diterbitkan, lalu Stern; pegawai Droogstoppel, dan Havelaar sendiri. Mungkin karena dikisahkan oleh tiga orang yang berbeda kepentingan, alur novel ini tak beraturan. Dibutuhkan kejelian untuk memahaminya.
Droogstoppel seorang makelar kopi di Lauriergracht no. 37 dan merupakan pimpinan firma Last & Co. Dia adalah pribadi yang taat namun cendrung mementingkan diri sendiri. Tujuannya mendanai buku ini adalah untuk kepentingan bisnisnya dan dia mengharuskan buku ini diberi judul ‘Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.’
Ernest Stern adalah seorang anak muda yang menyukai sastra. Demi membaca kumpulan tulisan Havelaar selama bekerja di Hindia Belanda yang begitu menyentuh dia tergerak untuk menuliskan apa yang hendak disampaikan itu. Sekalipun itu melenceng dari ‘kopi’ dan ditentang oleh Droogstoppel.
Dan Max Havelaar menulis buku ini dengan tujuan menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya terjadi di Hindia Belanda yang tidak diketahui oleh Raja. Selama ini Raja William hanya mendapati laporan yang baik-baik saja tentang negeri jajahannya dan menganugrahi para pejabat Belanda sebagai seorang pengabdi negara yang bersemangat karena mampu menambah pundi-pundi kekayaan negara. Raja tidak pernah tahu kondisi rakyat yang kelaparan dan tertindas untuk menghasilkan uang kas negara tersebut.
Bagian yang menyentuh dari buku ini adalah pidato atau sumpah jabatan Havelaar yang diungkapkan dalam bahasa yang indah. Havelaar mengatakan bahwa jabatan yang diterimanya dan juga yang disandang para bangsawan Jawa adalah sebuah berkah dari Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang dipilih untuk membantu rakyat. Di antara pernyataan Max Havelaar dalam pidato sumpah jabatannya bisa ditemukan dalam kalimat-kalimat ini.
Bukankah Dia mencurahkan hujan ketika batang-batang padi melayu, dan menurunkan embun dalam kelopak bunga yang kehausan?
Bukankah mulia untuk diutus mencari mereka yang kelelahan, yang tertinggal setelah bekerja dan jatuh tersungkur di jalanan karena lutut mereka tidak cukup kuat untuk membawa mereka ke tempat mereka bisa memperoleh upah? ... Tidakkah hati saya melonjak gembira ketika melihat bahwa saya telah dipilih di antara banyak orang untuk mengubah keluhan menjadi doa dan ratapan menjadi rasa syukur?
Jiwa manusia tidak bergembira karena upah, tapi karena bekerja untuk mendapatkan upah tersebut. (hal.155)
Tentang kemiskinan di Lebak, Havelaar mengatakan; Saya bertanya kepada kalian, para pemimpin Lebak. Mengapa banyak orang pergi untuk tidak dimakamkan di tempat mereka dilahirkan? Mengapa pohon bertanya: ‘Di manakah orang yang kulihat bermain di kakiku semasa dia masih kecil?’
Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat menguburkan orang tua mereka? Mengapa mereka kabur dari desa tempat mereka disunat? Mengapa mereka lebih menyukai kesejukan pohon yang tumbuh di sana daripada naungan hutan kita? (hal.158).
Buku ini ditulis Douwes Dekker setelah 18 tahun mengabdi di Indonesia. Beliau menggunakan nama samaran Multatuli yang berarti ‘Aku yang sudah banyak menderita’.
Di luar dari cara penceritaan yang melompat-lompat, novel ini sangat memikat. Ditulis dengan penuh cinta justru oleh seorang yang bukan pribumi. Ada ketulusan yang mengagumkan dalam pemikiran dan pandangannya. Kiranya buku ini patut dibaca lagi oleh para pemimpin Indonesia saat ini dan orang-orang yang telah diberi Tuhan kesempatan untuk menjadi wakil rakyat, juga orang-orang yang telah mendapatkan kepercayaan di instansi-instansi pemerintahan. Semoga buku ini menyadarkan mereka yang tengah terlena dalam jabatan ataupun korupsi.***
Prw, November 2014
Dimuat Koran Singgalang, Ahad, 25 Januari 2015

The Chocolate Thief: Upaya Mengenali Diri dalam Manisnya Cokelat



                                      Judul buku            :  The Chocolate Thief (Mencarimu di Antara  Seribu Coklat)
Penulis                  :  Laura Florand
Tahun terbit           : Cetakan Keenam, Februari 2014          
Penerbit                :  Bentang
Jumlah halaman     :  414  halaman
ISBN                   :  978-602-7888-31-9




Oleh : Zurnila Emhar Ch


Paris—fashion, romantis, dan cokelat. Namun, tidak untuk wanita Amerika sepertiku. Aku sudah tidak tahan lagi berjalan (sok) anggun dengan high heels ini. Menurutku, Paris juga bukan kota teromantis di dunia. Dan tolong catat, semua ini berawal dari Sylvain Marquis yang dengan sombongnya menolakku untuk bekerja sama.
Oh, God! Apa dia tidak mengenaliku? Aku ini Cade Corey, pewaris tahta Corey Chocolate, perusahaan cokelat terbesar di Amerika. Oke, lihat saja... Memang dia satu-satunya pembuat cokelat terbaik di dunia ini?
***
Begitulah kalimat-kalimat yang terdapat di blurb novel karangan Laura Florand ini. Diceritakan bahwa Cade Corey mendatangi Paris untuk mengajak Sylvain Marquis bekerja sama untuk sebuah produk di lini baru perusahaan keluarga Corey. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Sylvain dengan cara yang kasar.  
Penolak itu membawa Cade pada Dominique Richard. Namun lelaki yang sama sekali tidak menarik itu juga menolak gagasan Cade. Karena hal tersebut, jadilah gadis itu berkelana di Paris, mendatangi para pembuat coklat lainnya dan menawarkan hal yang sama. Tapi hasilnya tetap nihil.
Padahal untuk mendapatkan kerja sama yang diimpikannya dengan pembuat cokelat di Paris, Cade telah melakukan kursus bahasa Prancis. Dan Sylvain adalah orang pertama yang ada dalam daftarnya. Sekaligus yang pertama menolaknya.
Sylvain Marquis merupakan seorang pembuat cokelat terkenal di Paris. Perawakannya yang tinggi, gagah dan wajah tampannya ikut mendukung pesonanya. Sylvain menghabiskan waktunya sehari-hari di atelier (ruang kerja)-nya. Di sana dia mengolah coklat, memadu-padankan rasa dan menjual hasil kreasinya.
Dan Cade merupakan generasi ke sekian dari keluarga pemilik perusahaan cokelat terkenal di Amerika. Tujuan kedatangannya ke Paris untuk menggaet pembuat cokelat terkenal untuk membuat produk baru dalam lini baru perusahaannya ini didukung sepenuhnya oleh kakeknya, Jack Corey.
Keluarga Corey memiliki sekitar 30% perkebunan kakao di seluruh dunia. Mereka mendanai institusi, satu-satunya yang berdiri di antara chocolatier. Keluarga Corey juga terkenal karena memimpin gerakan untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja di perkebunan kakao.
Sejak lahir Cade telah ditakdirkan untuk mewarisi kekayaan keluarganya. Dan melanjutkan bisnis tersebut. Apalagi saudaranya sama sekali tidak tertarik pada usaha turunan ini.
Berbeda dengan Cade, Sylvain telah melewati jalan berliku untuk sampai di posisinya sekarang. Menghabiskan masa remajanya sebagai sosok yang pemalu dan kerap diremehkan membuat Sylvain ingin menjadi sosok yang ‘diinginkan’. Bermula dari perlakukan tidak menyenangkan dari teman-teman perempuannya semasa sekolah yang kerap memanfaatkannya, Sylvain mulai tertarik pada cokelat. Menurutnya hanya cokelat yang bisa membuat perempuan takluk padanya.
Ketertarikan tersebut membawanya pada berbagai percobaan demi percobaan untuk menghasilkan cokelat terbaik. Dan di usia tiga puluh tahun, Sylvain telah menjelma pembuat cokelat terbaik di Paris.
Sepanjang alurnya, pembaca disuguhi dengan aroma cokelat, nama-nama cokelat dan campuran-campurannya. Cerita ini makin menarik sejak Cade tergoda untuk menyuap seorang wanita yang hendak mengikuti workshop Sylvain di atelier-nya untuk bertukar tempat dengannya. Untuk mendapatkan posisi itu, Cade harus membayar mahal. Sebuah cek dengan nominal kurang lebih dua belas ribu dolar dan beban tujuh puluh lima ribu di kartu kreditnya. Ya, Cade telah menyerahkan kartu kreditnya untuk digunakan seharian oleh Maggie Saunders yang bertukar tempat dengannya. (hal.120)
Namun, ternyata Sylvain mengenali Cade dengan penyamarannya dan tidak mengizinkannya mengikuti sesi setelah makan siang.
Penghinaan yang diterimanya membuat Cade memata-matai atelier Sylvain. Dari rekaman kamera dan teropongnya, Cade bisa mengetahui kode akses pintu toko dan atelier tersebut. Sejak itu, mulailah Cade menyelinap tiap malam ke ruang kerja Sylvain.
Pada akhirnya kelakuan Cade membuat namanya dan nama Sylvain muncul di web New York Times dengan judul artikel All’s Fair in Love and Chocolate? Artikel tersebut menyatakan Cade Corey telah mencuri resep cokelat Sylvain Marquis. (hal.183)
Menariknya, ketika nama Cade terekspos, Sylvain justru merasa simpati padanya. Laki-laki itu selalu berusaha melindungi Cade. Membuat gadis itu merasa nyaman.
Pertemuan-pertemuan mereka berikutnya justru makin mendekatkan mereka berdua. Ketertarikan Cade pada dirinya membuat Sylvain luluh. Belum pernah dia menemukan perempuan yang tertarik pada dirinya. Kebanyakan mereka mendekatinya hanya karena tertarik pada cokelat.
Hubungan yang terjalin tanpa nama tersebut pun mengiring Cade pada tujuan hidupnya. Dia mulai mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkannya dalam hidupnya. Sekadar meneruskan bisnis keluarga atau membangun sebuah keluarga.
Sedangkan, bagi Sylvain kedekatan mereka adalah keberuntungannya, sekaligus luka yang akan siap untuk menganga, seandainya Cade kembali ke Amerika.
“Keberuntunganku adalah dari semua orang yang masuk ke toko cokelatku, kau yang masuk ke dalam hidupku. Kau.” (Hal.397)
Tokoh-tokoh yang dihadirkan Laura dalam novel ini memiliki karakter yang kuat. Terkadang pembaca bisa ikut jengkel dengan kesombongan Sylvain, namun pada waktu yang hampir bersamaan Sylvain akan muncul dengan manis. Begitu pula dengan Cade, sosok yang begitu feminim, manis bisa menjadi ‘gagah’ karena rasa tanggung jawabnya terhadap perusahaannya.
Selain membagikan pengetahuan tentang cokelat, novel ini juga berhasil membangun suasana romantis. Seperti cokelat Amour-nya Sylvain yang pahit, hitam namun kaya rasa dan meleleh lembut, novel ini pun bisa membuat pembacanya ‘meleleh’. ***
Desember 2014
*Dimuat di Koran Singgalang, Ahad, 25 Januari 2015