Jumat, 28 Juli 2017


ANAK ADALAH ANUGERAH YANG TIDAK DIMILIKI SEMUA ORANG

                                                                     


Foto : koleksi pribadi

Seorang kenalan saya membawa seorang bayi mungil untuk hidup bersamanya. Umurnya kurang lebih dua bulan. Bayi ini kemudian diasuh dan dirawat sebagai anak sendiri. Berhubung dia tidak bisa menyusuinya, sang ibu senantiasa menyiapkan susu formula sebagai ganti.



Lalu kemanakah orang tua si bayi? Apakah dia yatim piatu?

Ternyata tidak, si bayi mungil masih memiliki orang tua kandung. Namun dengan alasan tertentu mereka tidak bisa membesarkan anaknya. Sementara kenalan saya telah menikah beberapa tahun namun belum dikarunia anak. Maka dia memutuskan untuk mengasuhnya.

Ini memang sangat ironis. Ada orang yang diberi kesempatan untuk memiliki anak namun tidak bisa membesarkannya. Di sisi lain ada orang yang berharap memiliki anak sendiri namun belum diberi oleh Yang Maha Kuasa.

Perkara memiliki anak selalu menarik untuk diulas. Tapi saya tidak akan menulis tentang semua itu. saya hanya ingin bercerita tentang keseharian saya dengan anak-anak. 

Bagi saya memiliki dua balita dan mengurusnya sendirian serta mengurus perkara rumah tangga tanpa ada bantuan dan pendelegasian pekerjaan memang cukup membuat ngos-ngosan. saat saya bangun si adek akan ikut bangun tak berapa lama kemudian. Jadilah agenda pagi dilakoni sambil menggendong.

Jika si uda sudah bangun pula maka bertambah hebohlah rumah. Biasanya kehebohan itu berasal dari omelan saya dan berbagai alasan si uda. Setiap kali bangun saya harus datang untuk memeluknya. Tidak peduli saya sedang melakukan apa. Barangkali karena cemburu, sejak memiliki adik si uda memang berusaha kuat untuk dinomorsatukan. 

Sebelumnya dia sudah makan sendiri sejak umur sebelas bulan. Saya hanya menunggui. Dan ketika dia berumur dua tahun dia sudah bisa mengambil nasi sendiri ke magic com. Dia tidak mau lagi disuapin sehingga saya sering marasa rindu menyuapinya. Setiap kali saya membujuk untuk melampiaskan kerinduan itu, saya lebih sering mendapat penolakan.

Begitu usai disapih, dia sudah tidur sendiri di kasurnya. Tapi masih satu kamar dengan kami. Untuk urusan mandi pagi dia juga sudah bisa sendiri. Sambil menyanyikan lagu Bangun Pagi Kuterus Mandi dengan suara yang kurang jelas dia asyik dengan air dan busa sabun. Untuk mandi sore barulah saya yang memandikan karena dia hampir selalu main di halaman.

Namun kebiasaan ini berubah 180 derajat sejak dia memiliki adik. Sekarang dia maunya disuapi kalau makan. Kalau mandi juga harus dimandikan. Dan orang yang harus mengurus semua itu adalah Bunda. Bantuan dari ayahnya selalu ditolak.

Bila dinasehati, dia sudah punya jawaban sendiri; "Kan adik Bunda suapi, kenapa Uda tidak?" "Kalau adik Bunda mandikan, berarti Uda juga harus Bunda mandikan. Uda gak mau mandi sendiri."

Maka setiap kali dia bangun saya harus mendatanginya. Adiknya digendong dengan tangan kiri, si uda di tangan kanan. Atau satu di tangan, yang satunya di punggung. Kehebohan ini hampir selalu terjadi. 

Lalu mulailah saya beraktifitas dengan mereka berdua. Menyapu dan mengepel sambil menggendong si adek. Pelaksanaan pekerjaan ini juga harus bergantian dengan si uda. Dia tidak mau jika hanya menjadi penonton. Separoh bagian rumah arah ke depan saya yang mengepel, separoh bagian ke belakan dia yang mengepel. Hampir selalu begitu.

Dilanjutkan dengan mencuci kain dan piring, kami lakukan bersama. Setelah si adek bisa duduk, dia kerap ikut menyikat kain di kamar mandi. Waktu tidurnya sangat sebentar. Berkisar 20-45 menit. Itu tidak cukup untuk memasak dan bersih-bersih bagi saya.

Jika dibilang-bilang memang repot mengurus anak dan tetek-bengek pekerjaan rumah sendirian. Tak urung rasa kesal sering menghinggapi. Terlebih saat anak tak mau diajak kompromi. 

Bagi saya sendiri, semua keruwetan itu selalu terjadi setiap pagi. Untuk membuang kesal ketika pekerjaan tak kunjung selesai biasanya saya mengajak mereka membaca buku bersama. Atau bermain jungkat-jungkit di kaki. Adakala kami menyanyi bersama dengan suara yang alakadarnya.

Ketika kepala sedang panas, sebisa mungkin saya mengingat tentang orang-orang yang tidak memiliki anak dalam pernikahan.  Betapa rindu itu nyata dan sepi pasti terasa sekalipun mereka tetap tertawa. Jadi meski saya harus mengomel setiap hari, saya wajib terus bersyukur bahwa Allah telah memberi saya kesempatan untuk menjadi ibu.

Di luar sana ada banyak perempuan yang juga menginginkan peran ini namun belum mendapatkannya. 

Saya atau siapapun yang merasakan semua kerepotan ini tetaplah orang-orang yang beruntung. anak adalah anungerah yang tidak dimiliki semua orang. Mereka bisa menjadi perintang hati di kala susah, penyemangat untuk terus berusaha, juga teman bicara saat besar.  Jadi tidak ada alasan untuk berhenti belajar menjadi orangb tua yang lebih baik. Belajar lebih sabar dan bersyukur.***


Tulisan ini bertema Hari Anak Nasional sebagai Tugas Kelas Menulis Blog Seru #2

4 komentar:

  1. Sepakat kita harus bersyukur ya dengan kerpotan yang ada, alhamdulillah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Alhamdulillaah, apapun itu kondisinya...

      Hapus
  2. Terimakasih, Mba. Wawasanku nambah.

    BalasHapus
  3. Terima kasih telah mampir, Mbak. :)

    BalasHapus