Selasa, 27 Januari 2015

Max Havelaar: Teladan dari Seorang non-Pribumi untuk Pemimpin Indonesia



                                 Judul buku            :  Max Havelaar
Penulis                   :  Multatuli
Tahun terbit           : Cet-3, September 2014 
Penerbit                 :  Qanita
Jumlah halaman     :  480 halaman
ISBN                     :  978-602-1637-45-6 

 

 Oleh: Zurnila Emhar Ch

Siapa yang tidak mengenal nama Eduard Douwes Dekker? Dalam buku sejarah di sekolah dasar, beliau dikenal sebagai salah seorang anggota Tiga Serangkai pendiri Indische Partij, sebuah partai politik yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Beliau dikenal sebagai salah seorang keturunan asing yang memiliki kepedulian luar biasa terhadap negeri jajahan negaranya. Salah satu bentuk kepedulian tersebut bisa dibaca dalam buku karangannya yang berjudul Max Havelaar.
Novel ini menceritakan tentang kesewenang-wenangan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Max Havelaar mengisahkan kesengsaraan dan ketidakadilan yang diterima penduduk Sumatra (Padang dan Natal), Maluku dan terlebih masyarakat Lebak, Banten pada abad ke-19.
Max Havelaar yang baru saja dilantik sebagai Asisten Residen di Distrik Lebak segera mencurahkan perhatiannya pada penduduk Lebak, termasuk dengan mempelajari laporan-laporan pejabat sebelumnya, Tuan Slotering (yang kabarnya meninggal karena diracuni). Di sana, Havelaar menemukan banyak kecurangan yang terjadi. Dan yang lebih parahnya penindasan tersebut justru dilakukan oleh pejabat pribumi sendiri.
Raden Adipati Karta Natanegara yang menjabat Bupati Banten kerap meminta para petani menggarap sawahnya tanpa memberikan upah. Petani juga sering diminta menggarap perkebunan dengan paksa sehingga penanaman padi terbengkalai dan menyebabkan bencana kelaparan. Dengan mendorong rakyat bekerja tanpa upah di perkebunan, Bupati akan mendapat persenan di tiap pikulnya.
Pemerintah juga memaksa petani untuk menanam tanaman tertentu di tanah mereka sendiri, dan petani harus menjualnya ke pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika mereka menjualnya pada orang lain mereka akan menerima risiko hukuman.
Selain itu, Bupati juga memiliki kerabat yang sama rakusnya dengan dirinya. Seorang menantunya yang menjadi Demang di Distrik Parang Kujang memiliki kegemaran merampas kerbau-kerbau penduduk. Ternak itu diambil dengan paksa tanpa ada ganti rugi sedikit pun.
Mengenai hal ini Havelaar menceritakan kisah Saidjah dan Adinda yang kerbau milik orang tuanya dirampas berkali-kali. Sehingga mereka kehabisan harta dan tidak lagi sanggup membayar pajak tanah yang tinggi. Untuk menghindari hukuman, mereka terpaksa melarikan diri ke Lampung. Dan bergabung dengan pemberontak. Sebuah kisah yang mengharu biru. (hal.366 – 397)
Untuk membantu penduduk, Havelaar mencoba memperingatkan Bupati secara halus. Namun usahanya sia-sia. Kemudian dia juga mengadukan hal tersebut kepada Reseiden Banten. Tetapi, lagi-lagi laporannya dianggap mengada-ada. Bahkan Gubernur Jenderal di Batavia pun menolak menemuinya. (hal. 456)
Novel bermuatan sejarah ini diceritakan dengan tiga sudut pandang; Tuan Batavus Droogstoppel yang mendanai buku untuk diterbitkan, lalu Stern; pegawai Droogstoppel, dan Havelaar sendiri. Mungkin karena dikisahkan oleh tiga orang yang berbeda kepentingan, alur novel ini tak beraturan. Dibutuhkan kejelian untuk memahaminya.
Droogstoppel seorang makelar kopi di Lauriergracht no. 37 dan merupakan pimpinan firma Last & Co. Dia adalah pribadi yang taat namun cendrung mementingkan diri sendiri. Tujuannya mendanai buku ini adalah untuk kepentingan bisnisnya dan dia mengharuskan buku ini diberi judul ‘Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.’
Ernest Stern adalah seorang anak muda yang menyukai sastra. Demi membaca kumpulan tulisan Havelaar selama bekerja di Hindia Belanda yang begitu menyentuh dia tergerak untuk menuliskan apa yang hendak disampaikan itu. Sekalipun itu melenceng dari ‘kopi’ dan ditentang oleh Droogstoppel.
Dan Max Havelaar menulis buku ini dengan tujuan menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya terjadi di Hindia Belanda yang tidak diketahui oleh Raja. Selama ini Raja William hanya mendapati laporan yang baik-baik saja tentang negeri jajahannya dan menganugrahi para pejabat Belanda sebagai seorang pengabdi negara yang bersemangat karena mampu menambah pundi-pundi kekayaan negara. Raja tidak pernah tahu kondisi rakyat yang kelaparan dan tertindas untuk menghasilkan uang kas negara tersebut.
Bagian yang menyentuh dari buku ini adalah pidato atau sumpah jabatan Havelaar yang diungkapkan dalam bahasa yang indah. Havelaar mengatakan bahwa jabatan yang diterimanya dan juga yang disandang para bangsawan Jawa adalah sebuah berkah dari Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang dipilih untuk membantu rakyat. Di antara pernyataan Max Havelaar dalam pidato sumpah jabatannya bisa ditemukan dalam kalimat-kalimat ini.
Bukankah Dia mencurahkan hujan ketika batang-batang padi melayu, dan menurunkan embun dalam kelopak bunga yang kehausan?
Bukankah mulia untuk diutus mencari mereka yang kelelahan, yang tertinggal setelah bekerja dan jatuh tersungkur di jalanan karena lutut mereka tidak cukup kuat untuk membawa mereka ke tempat mereka bisa memperoleh upah? ... Tidakkah hati saya melonjak gembira ketika melihat bahwa saya telah dipilih di antara banyak orang untuk mengubah keluhan menjadi doa dan ratapan menjadi rasa syukur?
Jiwa manusia tidak bergembira karena upah, tapi karena bekerja untuk mendapatkan upah tersebut. (hal.155)
Tentang kemiskinan di Lebak, Havelaar mengatakan; Saya bertanya kepada kalian, para pemimpin Lebak. Mengapa banyak orang pergi untuk tidak dimakamkan di tempat mereka dilahirkan? Mengapa pohon bertanya: ‘Di manakah orang yang kulihat bermain di kakiku semasa dia masih kecil?’
Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat menguburkan orang tua mereka? Mengapa mereka kabur dari desa tempat mereka disunat? Mengapa mereka lebih menyukai kesejukan pohon yang tumbuh di sana daripada naungan hutan kita? (hal.158).
Buku ini ditulis Douwes Dekker setelah 18 tahun mengabdi di Indonesia. Beliau menggunakan nama samaran Multatuli yang berarti ‘Aku yang sudah banyak menderita’.
Di luar dari cara penceritaan yang melompat-lompat, novel ini sangat memikat. Ditulis dengan penuh cinta justru oleh seorang yang bukan pribumi. Ada ketulusan yang mengagumkan dalam pemikiran dan pandangannya. Kiranya buku ini patut dibaca lagi oleh para pemimpin Indonesia saat ini dan orang-orang yang telah diberi Tuhan kesempatan untuk menjadi wakil rakyat, juga orang-orang yang telah mendapatkan kepercayaan di instansi-instansi pemerintahan. Semoga buku ini menyadarkan mereka yang tengah terlena dalam jabatan ataupun korupsi.***
Prw, November 2014
Dimuat Koran Singgalang, Ahad, 25 Januari 2015

8 komentar:

  1. Keren Mbak. Sudah saya baca.... Alhamdulillh nambah pengetahuan. Makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih telah mampir, Kak Nina.

      *Perasaan dulu saya sudah mengomentari komentar di sini, tapi kok gak ada ya. Hm...

      Hapus
  2. mantab bacaan uni nila. jee dari dulu penasaran dengan max havelaar (dengan siapa dia) tapi sampai kini alun juo basingajoan mambaconyo. :(

    kak nila, terus aktif ngeblog ya kak. hahaha senang jee, kak nila akhirnya aktif ngeblog. jangan berhenti ya kak :D oya, sesekali bertandanglah ke blog jee. biar bisa jee suguhi kue-kue sunyi, minuman sunyi di ruang yang sunyi. sambil mendengar nyanyian sunyi yang jee putar sepanjang hari. datang ya kak, selalu jee tunggu ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahaa... Kakak belum bisa aktif, Jee.

      Di sini jaringan gak bagus, jadi kakak malas juga mau mengunggah tulisan. Seperti ini, sudah tiga bulan kakak tak mengunggah tulisan. Udah online dini hari pun tetap tak berhasil.

      Jadi bad mood. :(

      Hapus
    2. Usahakan membaca buku ini, Jee. Bagus! Ntar kakak kunjungi tumblr Jee. :)

      Hapus
  3. Wah, ini buku yang dulu cuma tahu judul dan penulisnya saja. Terima kasih Mbak, sekarang jadi tahu kalau Max Havelaar sudah diterbitkan lagi.

    BalasHapus
  4. Iya, Mas Diyan. Saya juga baru sekarang membaca buku ini. Padahal sudah sejak SD kita mendengar judulnya. Bukunya bagus. Silakan dibaca langsung, Mas. Akan ada yang ngilu di sudut hati ketika kita membacanya.

    BalasHapus
  5. How do I open a gambling account on my phone and see if I
    On 강릉 출장샵 my way 태백 출장샵 to Las Vegas, I'm greeted by a tall 김해 출장샵 glassed 양산 출장샵 casino wall with a 충청남도 출장샵 poker machine and the word “gambling” on it. “Casino

    BalasHapus