Sabtu, 24 Januari 2015

26 - Rindu: Perjalanan yang Mengajarkan Keikhlasan



                                 Judul buku            :  Rindu
Penulis                  :  Tere Liye
Tahun terbit           : Oktober 2014   
Penerbit                 :  Republika Penerbit
Jumlah halaman      :  544 halaman
ISBN                     :  978-602-8997-90-4

 


Oleh: Zurnila Emhar Ch

Menunaikan ibadah haji adalah impian setiap muslim. Ibadah yang merupakan rukun Islam yang terakhir ini selalu mengundang kerinduan bagi orang-orang yang sudah pernah menjalaninya ataupun bagi mereka yang belum pernah menjalankannya.
Jika di zaman sekarang untuk sampai di Mekah hanya dibutuhkan beberapa jam perjalanan di udara. Tetapi, di tahun 1938 para calon jamaah haji harus menempuh perjalanan laut selama satu bulan untuk sampai di tujuan. Dan berbilang bulan untuk bisa kembali ke tanah air. Berbagai masalah bisa saja menghadang mereka di tengah laut.
Salah satu kapal yang mengantar jamaah haji kala itu adalah kapal Blitar Holland. Kapal uap ini memulai perjalanan dari Makassar, dilanjutkan ke Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang dan terakhir di Aceh, untuk kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke Jeddah. Kapal ini membawa lebih dari seribu orang calon jamaah haji yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ditambah dengan sekian banyak kelasi dan tentara pengaman Belanda.
Kapal ini dipimpin oleh Kapten Phillips, seorang kapten kapal Belanda yang baik dan rendah hatinya.
Novel ini bukan semata kisah tentang perjalanan menuju Baitullah, tapi intinya mengetengahkan lima pertanyaan besar yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan pertama berasal dari Daeng Andipati. Dia adalah seorang saudagar kaya dari Makassar, naik haji bersama keluarganya. Mereka adalah potret keluarga bahagia. Namun ternyata Daeng Andipati tidak sebahagia itu. Ada kebencian yang besar dalam dirinya terhadap orang yang harusnya disayangi dan dihormati.
Pertanyaan kedua berasal dari Bonda Upe, calon haji berdarah Tionghoa yang menjadi guru mengaji di kapal. Masa mudanya yang dijalani sebagai cabo di Macao Po, tempat pelacuran terkenal di Batavia menjadi rahasia besarnya. Sepanjang perjalanan sebuah pertanyaan selalu mengiringi pelayarannya; layakkah seorang mantan pelacur mengunjungi tanah suci?
Kemudian, ada Ambo Uleng. Dia bukan calon jamaah haji. Pemuda dua puluh empat tahun itu berada di Blitar Holland dalam rangka melarikan diri dari sakitnya patah hati.  Dia ingin meninggalkan semua kenangan indahnya dengan sang kekasih dalam pelayaran ini. Termasuk meninggalkan tanah kelahiran. Di kapal Ambo menjadi kelasi dapur.
Tokoh lainnya adalah Eyang Kakung Slamet. Dia berangkat haji bersama istri dan anak sulungnya. Calon jamaah haji yang berasal dari Semarang ini adalah contoh pasangan paling romantis dan harmonis di kapal. Naik haji merupakan janji Mbah Kakung pada Mbah Putri yang telah setia mengarungi rumah tangga bersamanya selama enam puluh tahun.
Namun, keceriaan Mbah Kakung seketika lenyap ketika istrinya menghembuskan napas terakhir sebelum sampai di Mekah. Jasad Mbah Putri ditenggelamkan di laut. Tinggallah Mbah Kakung dengan hati yang terpuruk dalam luka.
Yang terakhir, yang menjadi pusaran cerita ini, Gurutta Ahmad Karaeng, seorang ulama besar yang menjadi imam di Masjid Katangka. Di kapal Blitar Holland, Gurutta juga menjadi imam masjid.
Peranan Gurutta sangat terasa dalam perjalanan ini. Tidak ada orang yang tidak mengenalnya. Dia adalah tempat bertanya dari soal agama sampai hal-hal umum. Bahkan Kapten Phillips pun menyeganinya. Dan kerap melibatkan dalam setiap musyawarah.
Setiap hari Gurutta menghabiskan waktunya di kabin untuk menulis. Tulisan yang kemudian hari menjebloskannya ke dalam penjara kapal. Buku hasil perenungan dan pemikiran Gurutta itu berjudul Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa.
Sebenarnya Gurutta juga membawa beban dalam perjalanannya. Setelah beberapa kali melihat pertumpahan darah para pejuang  melawan Belanda pada masa itu Gurutta memilih melawan penjajah dengan buah pemikiran. Lewat pengajiannya, dia kerap mengobarkan semangat kemerdekaan pada jamaah Masjid Katangka. Namun Gurutta tidak punya nyali untuk ikut angkat senjata seperti pejuang lainnya. Ketidakberaniannya itu membuatnya merasa sebagai orang munafik. Perasaan itu terus merongronginya, seorang munafik mengunjungi tanah suci!
***

Dari awal hingga pertengahan novel ini terasa datar. Tidak ada masalah yang begitu besar yang mempengaruhi emosi pembaca. Ditambah lagi lokasi cerita hanya berkisar di dalam kapal dan beberapa kejadian di pelabuhan.
Hal mengasyikkan dalam alur novel adalah sosok Anna, putri bungsu Daeng Andipati. Kehadirannya mampu mempermanis cerita walau belum ada konflik yang tajam. Anna, anak kecil berusia sembilan tahun yang cerdas, lincah, selalu ceria, penuh rasa ingin tahu, ceplas-ceplos dan polos.
Emosi pembaca mulai diaduk sejak kejadian di Batavia. Seorang cabo menyapa Bonda Upe. Pertemuan itu membuat guru mengaji tersebut merasa rahasianya terbongkar. Karena malu Bonda Upe mengunci dirinya di kabin kapal. Beruntung dia memiliki suami yang sabar dan senantiasa mengajaknya berani menerima masa lalu.
Bonda Upe baru kembali mengajar setelah Gurutta menasehatinya, “Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia kan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.” (hal.312)
“Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.” (hal.313)
Ketegangan berikutnya muncul saat seseorang berusaha membunuh Daeng Andipati untuk membalas dendam. Dan puncak dari konflik itu adalah munculnya perompak Somalia yang hendak merebut kapal. Asad, sang perompak berhasil melumpuhkan Kapten Phillips dan mengambil alih kemudi. Namun, berkat pengalaman Ambo Uleng melawan perompak di perairan Malaka maka Asad dan kawanannya bisa dilumpuhkan. 
Perjalanan ini bukan semata-mata proses Daeng Andipati, Bonda Upe belajar memaafkan dan menerima masa lalu atau perjalanan yang membuat Mbah Kakung dan Ambo Uleng menerima takdir kehilangan orang yang disayangi. Tapi perjalanan ini juga pembuktian bagi Ambo Uleng sebagai pelaut Bugis yang terampil dan cekatan.
Ketika mesin kapal mati dan kapal beserta seluruh isinya terancam terkatung-katung di lautan, Ambo muncul sebagai penyelamat. Ambo mengibarkan layar, mengatur arah dan gerakan layar agar bisa membawa kapal menuju pelabuhan Kolombo. Kemampuan yang membuat Kapten Phillips bangga telah merekrutnya. (hal.444)
Begitu juga saat menghadapi perompak Somalia. Ketika tidak lagi tampak celah untuk melawan, semua orang pasrah menerima keadaan, Ambo Uleng membuat rencana dadakan dan berhasil. Keberhasilannya melumpuhkan para perompak sekaligus membantu membuka jalan bagi Gurutta untuk ke luar dari rasa ‘kemunafikannya’.
“Gurutta, kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan. Dengan air mata dan darah.” Ambo Uleng menggenggam lengan Gurutta.

“Aku tahu, sejak kejadian di Aceh, meninggalnya Syeikh Raniri dan Cut Kemala, sejak itu Gurutta berjanji tidak akan menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki kita dengan itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.” (hal.531)

***

Novel Tere Liye ini hadir dengan pesona. Penulis piawai memainkan peranan tokohnya untuk menghidupkan suasana di tengah pelayaran yang cendrung membosankan. Hanya ada beberapa kesalahan ketik yang tidak begitu mengganggu, seperti sejatuh (harusnya ‘sejauh’), anak tunggu (harusnya ‘anak tangga’) dan beberapa kata lainnya.
Selebihnya novel ini penuh daya pikat yang siap membawa pembacanya merenung, menyelami hati untuk ikhlas menerima takdir dan memperbaiki diri.
***
20 November 2014
Telah dimuat Majalah Sagang, edisi Desember 2014



Kaver Majalah Sagang edisi Desember 2014


1 komentar: