Sabtu, 01 November 2014

Ketika Autisme Menyatukan Kasih


Judul buku           :    Sequence
Penulis                 :    Shita Hapsari
Tahun terbit         :     Maret 2014   
Penerbit               :    Bentang
Jumlah halaman   :    254  halaman
ISBN                    :    978-602-291-001-5




Oleh : Zurnila Emhar Ch

Persoalan jodoh memang bukan urusan yang sederhana. Perjalanan panjang yang ditempuh bersama-sama bukan jaminan akan membawa pada satu tujuan yang pasti. Pun ketika telah sampai pada titik yang bernama pernikahan, mempertahankannya juga bukan perkara mudah.

Untuk menyatukan hubungan laki-laki yang cendrung menggampangkan masalah dan perempuan yang lebih teliti dan suka memperhatikan hal-hal yang kecil -- dalam keselarasan memang dibutuhkan perhatian dan kepekaan kedua belah pihak.

Klaris dan Ine, dua orang perempuan berpendidikan yang memiliki karir yang bagus ini menunjukkan bahwa perempuan lebih menyukai pasangan yang peka terhadap perasaannya ketimbang limpahan materi atas nama kasih sayang.

Klaris telah berpacaran dengan Tedi selama lima tahun. Hubungan mereka berjalan biasa-biasa saja. Hampir di setiap keputusan Tedi-lah yang mengaturnya. Dan Klaris mengikuti tanpa ada bantahan. Begitu juga dengan pendidikan dan karirnya.

Berawal dari hobinya menonton film I am Sam yang mencerita seorang pria dewasa yang memiliki kecerdasan setara dengan anak berumur tujuh tahun, Klaris tiba-tiba saja ingin mengenal lebih jauh tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Dan menjadi guru mereka.

Saran Tedi agar dia melanjutkan pendidikan S-2-nya di jurusan psikologi dan menjadi konselor tak digubrisnya. Untuk pertama kalinya sejak berpacaran dengan Tedi, Klaris ingin menempuh jalan yang dia inginkan yang bisa membuatnya bahagia.

Untuk itu Klaris kerap berkunjung ke Sekolah Hebat, sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Di situ Klaris berkenalan dengan Choky, konselor dan penyususn kurikulum. Choky membantu Klaris merumuskan tujuannya karena untuk menjadi guru berarti Klaris harus kuliyah lagi dan harus siap dengan penghasilan yang tak seberapa. Itu juga berarti meninggalkan pekerjaannya dengan karir yang sedang menanjak.

Perkenalan Klaris dengan Yuni, pramukantornya yang memiliki anak (diduga) autis membuat tekadnya makin kuat. Klaris membantu Yuni menemukan sekolah yang tepat untuk anaknya.

Berbeda dengan Klaris, Ine, atasannya di kantor, telah menikah dan memiliki seorang putri remaja. Namun, posisi penting di perusahaan, anak yang cantik dan pintar serta gelimang harta tak membuatnya bahagia. Suaminya sering pulang larut malam dengan berbagai alasan. Terakhir Ine mendapat kiriman foto suami sedang bersama perempuan lain.

Untuk membuang kesal dan mencari pelampiasan, Ine menjalin hubungan dengan Ludi Alfons, seorang chef muda di Hotel Berlian yang berkenalan dengannya saat membuntuti suaminya. Keramahan dan ketampanan Ludi kembali menghidupkan letupan-letupan di hati Ine. Dia tidak peduli walau usia Ludi jauh di bawahnya. Bahkan Ine berani mengajak Ludi liburan berdua ke Lombok.

Namun sebelum rencana liburan itu terealisasi, Ine mendapati kenyataan bahwa Ludi adalah pacar Lana, anaknya. Tentu Ine merasa terpukul.

Jika sebelumnya Ine menganggap hubungannya dengan Lana baik-baik saja, maka sejak melihat kebersamaan Ludi dan Lana di Mal Candlewood, Ine mulai memikirkan posisinya sebagai seorang ibu. Kekhawatiran terhadap Lana menyergapnya seketika. waktu dia mempertanyakan hubungan mereka pada Ludi, chef tampan itu hanya menjawab, “Kita... dua orang dewasa yang bersenang-senang tanpa beban.” (hal.116) Barulah Ine tahu, Ludi tidak menganggapnya sebagai kekasih.

Kisah dalam  novel pemenang Lomba Novel Wanita dalam Cerita ini menjadi makin mendebarkan saat suami Yuni kecelakaan. Ine menduga suami yang melakukan tabrak lari pada suami bawahannya. Tapi ternyata pelaku itu adalah Tedi.

Rasa simpati Ine makin besar melihat semangat Yuni dalam membantu mencari penghasilan tambahan agar bisa memasukkan anaknya ke sekolah yang tepat. “Saya enggak pengin muluk-muluk. Cuma pengin dengar dia bilang ‘ibu-bapak’. Saya enggak takut dia bodoh. Saya cuma takut kalau dia enggak ngerti kalau orangtuanya sayang dia, enggak bahagia, tapi enggak bisa ngungkapin.” (hal.215) Curahan hati Yuni tersebut menyentil sisi keibuan Ine. Dia sadar, jarak antara dirinya dan Lana semakin lebar. Ine tidak tahu apakah Lana bahagia. Dia tidak pernah berpikir tentang itu dan Lana juga enggan bercerita.

Yang menarik dari novel ini, adanya kesadaran para tokoh utama untuk mempertanyakan sikap mereka. Setelah menerima ajakan Choky untuk menonton, Klaris mempertanyakan sendiri sikap dan kesetiaannya pada Tedi. Bahkan untuk meyakinkan dirinya perempuan yang setia, Klaris mengajak temannya ikut merumuskan hubungan perasaannya pada Tedi dan Choky.

Pada paragraf; ‘Mengapa, sesal Klaris, selalu dibutuhkan kehadiran atau kepergian orang lain untuk mencari tahu kedalaman hati. (hal.150)’ menunjukkan kalau dia benar-benar memikirkan hubungannya.

Hal yang mengganjal selama membaca novel ini adalah sikap Ine terhadap putrinya. Hampir setiap hari dia mendapati putrinya pulang malam namun dia tidak pernah benar-benar menegur walaupun dia tidak suka Lana seperti itu. Bahkan Ine tidak pernah mencoba mencari tahu siapa yang mengantar anaknya pulang malam.

Begitu pun Tedi. Perjalanan cintanya selama lima tahun dibiarkan kandas begitu saja. Hanya ajakan menikah yang bisa ditawarkannya untuk mengikat Klaris tanpa mencoba memahami dan menerima jalan pikiran gadis itu. Dan ketika Klaris mengungkapkan “... pernikahan itu bukan hasil dari investasi hubungan sekian tahun atau pelabuhan terakhir saat kamu punya masalah.” (hal. 206), Tedi menyerah.

Shita Hapsari sukses memainkan alur cerita ini. Novel ini berhasil menghadirkan romansa dalam takaran yang cukup. Dan sukses menjadikan autisme sebagai penghubung para tokoh. ***


Perawang, 12 Oktober 2014
Dimuat Koran Singgalang, 20 Oktober 2014
Add caption

Tidak ada komentar:

Posting Komentar