Judul buku : 6
Pola Sukses Mendidik Anak Jadi Kreatif (Merevolusi Cara Berpikir Anak Indonesia)
Penulis : Ling Majaya
Tahun
terbit : Januari 2013
Penerbit : Gramedia Widiasarana Indonesia
Jumlah
halaman : 130 halaman
MEROMBAK CARA DIDIK ANAK
Secara
umum masyarakat berpendapat bahwa anak yang cerdas adalah anak yang kreatif.
Pun sebaliknya; kreatif dalam berkesenian dianggap sebagai patokan cerdas.
Padahal kreatif dalam kesenian berbeda dengan kreatif dalam berpikir.
Kreatif
berpikir adalah kemampuan memproses pengalaman-pengalaman menggunakan metode
tertentu untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai tambah dan dapat
diwujudkan. (hal. 5). Kreatif berpikir bukanlah bakat, namun sebuah kemampuan
yang bisa dipelajari.
Six thinking hats
adalah metode yang dikembangkan oleh Dr. Edward de Bono, seorang sarjana Oxford
yang mencetuskan kata Lateral Thinking dalam kamus bahasa Oxford. Metode ini
bertujuan untuk mendisiplinkan cara berpikir anak-anak agar berpikir secara
paralel, yaitu suatu cara berpikir dengan fokus hanya pada satu jenis pemikiran
di suatu waktu tertentu. Seorang anak diajarkan untuk menilik suatu masalah
dari berbagai aspek dan sudut pandang serta melibat semua pihak.
Ketika
dua orang anak berpikir secara paralel, mereka akan sama-sama mencari fakta,
mengkaji manfaat dan mudharatnya, juga mencari penyelesaian. Mereka tidak
berusaha mengungguli satu atas yang lain.
Ini
jelas berbeda dengan berpikir kritis dan berargumentasi. Dalam berpikir kritis;
anak akan senang mencari kesalahan dan memberikan kritik. Sehingga otak hanya
terpacu untuk mencari kesalahan. Kritis terkadang menutup peluang munculnya ide
baru. Dan dalam berargumentasi; seorang anak dituntut untuk mampu meyakinkan
bahwa pendapatnya layak diterima dan diakui kebenarannya.
Dalam
Six thinking hats anak diajarkan
bahwa berpikir itu menyenangkan. Mereka dibiasakan agar berpikir dulu sebelum
memberi jawaban, melontarkan pertanyaan yang lebh terarah, mengajarkan konsep
kemungkinan selain dari ya dan tidak.
Mereka juga diajari bagaimana menjelasakan jawaban ketika jawaban mereka
dianggap tidak logis.
Metode
ini dilambangkan dengan topi.
Pertama, topi putih.
Pemakai topi ini mengungkapkan informasi, fakta, detil, pengamatan dan data.
Anak yang memakai topi ini berada di titik netral. Berpikir objektif. Biasanya
jika mereka menyatakan apa yang dirasakan, mereka memakai perasaan orang lain.
Bukan mengedepankan perasaan sendiri.
Kedua, topi
merah; ditandai dengan
pengekspresian emosi, perasaan dan intuisi. Pemakaian topi ini juga dibutuhkan
dalam mengambil keputusan karena emosi bukan hanya berarti marah. Namun juga
takut, benci, curiga ataupun cinta. Untuk penempatannya butuh kepekaan di saat
tidak ada data yang kuat. ? Namun hanya sesaat.
Tiga, topi
hitam. Topi ini berfungsi sebagai
penimbang karena dia mengungkapkan bahaya, risiko dan kelemahan. Tugasnya adalah
menimbang positif dan negatifnya suatu kegiatan. Memprediksikan kemungkinan
terjelek yang bakal timbul. Dia bicara dengan logis dan alasan yang mendukung.
Empat, topi
biru. Mereka adalah para pengamat.
Senantiasa mengamati persoalan dan proses yang berlangsung untuk memberi jalan
tengah. Mereka mengendalikan keadaan yang rumit, mengembalikan perdebatan ke
titik fokus. Tidak hanya sebagai pemantau, pemilik topi biru juga bisa menarik
kesimpulan dan membuat laporan yang bisa disampaikan secara lisan.
Lima, topi
hijau. Dia adalah seorang yang
optimis. Pembawa ide baru dengan beragam kemungkinan. Anak dengan pola pikir
ini dibutuhkan saat mengalami kebuntuan berpikir.
Enam, topi
kuning. Berpikir dengan mengkaji
manfaat dari kejadian paling buruk sekalipun. Bagi mereka semua peristiwa
memiliki nilai positif tergantung dari cara orang memandang. Dalam menuangkan
ide mereka selalu optimis sekalipun idenya tidak menarik
Di
buku ini juga dikemukakan, bahwa penulis menawarkan metode Edward de Bono ini
di Indonesia. Ling Majaya melihat adanya konsep kontroversi dalam dunia
pendidikan kita. Di sistem ini ada dua pilihan; ya atau tidak. Tidak ada ruang
untuk pilihan yang lain. Seolah pembenaran, jika yang satu benar maka yang lain
salah. Pola didik seperti ini menanamkan keseragaman dalam pola pikir.
Kemudian di sekolah anak-anak senantiasa diajarkan berpikir
sesuai logika, selain berpikir kritis dan berargumen. Agar ide bisa diterima,
setiap orang dituntut memaparkan idenya secara logis. Jika tidak logis maka
idenya ditolak. Sedang dalam kehidupan sehari-hari, logika dan argumen sering
disebabkan ketidakmampuan orang mencari alternatif pilihan atau kemungkinan
yang lain. Karenanya lebih baik jika anak diajarkan meluaskan cara pandangnya
untuk melihat suatu persoalan. Mereka bisa memandangnya dari banyak sisi.
Dengan begitu anak-anak akan menemukan beragam cara untuk melihat dan menyelesaikan
sebuah persoalan. Tentu saja tanpa merasa benar sendiri.
Salah
satu ungkapan Dr. Edward de Bono: “Di masa depan, ketimbang mementingkan
pencarian kebenaran dengan pengorbanan yang besar, akan lebih bermanfaat
bersikap fleksibel dan sederhana dengan pengorbanan yang kecil. Jika anda tidak
dapat secara akurat memprediksi masa depan maka anda harus fleksibel dalam
menghadapi berbagai kemungkinan di masa depan.” (hal.23)
Buku
ini tidak hanya bagus untuk diapresiasi oleh para tenaga pengajar dan orang tua
namun juga oleh semua orang yang ingin merevolusi cara berpikirnya. Isinya
sangat cocok untuk semua usia. * * *
Dimuat
koran Riau Pos pada hari Ahad, 30 juni 2013.
Judul
sebelum diedit editor koran: MEROMBAK POLA
PIKIR