Jumat, 24 Januari 2014

KARUNG GONI YANG TAK KUNJUNG PENUH



Oleh : Zurnila Emhar Ch
 dimuat koran Singgalang, April 2010


Cuaca memang tidak menentu. Terkadang hujan mengguyur dengan deras di pagi hari dan siangnya malah panas nian. Terkadang sedang panas-panasnya hujan turun seketika.
Seperti juga pagi ini, hujan turun deras dan digantikan panas yang datang tiba-tiba. Langsung terik. Rosna segera mengangkat kain cuciannya ke luar. Dalam hitungan detik kain-kain itu telah bertebaran di pagar bambu depan rumahnya. Dilihatnya langit. Sangat  bersih. Biru cemerlang. Tidak ada awan hitam yang perlu dikhawatirkan.
Setelah mengunci pintu, Rosna bergegas pergi.
Seperti biasa. Rosna memulai rutinitasnya dari gang Pertama. Setiap melihat onggokan sampah matanya selalu berbinar. Berharap ada rezkinya di sana. Tidak jarang Rosna juga membuka simpul kantong plastik kresek yang berisi sampah. Dia selalu berharap ada bahan-bahan plastik di dalamnya yang bisa dia ambil.
Panas yang terik membuat Rosna mandi keringat. Bajunya yang lusuh mulai basah. Dia tidak pedulikan. Inilah hidupnya. Beginilah rutinitasnya setiap hari. Rutinitas seorang pemulung. Sambil jalan Rosna memperbaiki penutup kepalanya. Langkahnya tetap ligat. Karung goni yang biasanya tersampir di bahunya masih berada dalam genggaman. Masih kosong! Pengait di tangan kanannya bergerak lincah seakan memiliki mata.
* * *
“Mak Ijal!” seseorang berseru. Rosna mengangkat kepalanya; dia merasa dipanggil.
Seseorang perempuan paruh baya ke luar dari rumah bercat pink di depannya. Dengan langkah tergesa dia berjalan ke arah Rosna.
“Mak Ijal, kalau mau mulung, mulung aja. Jangan sambil nyuri!”
“Nyuri?” Rosna terperanjat. Matahari baru sepenggalahan naik, namun sudah ada yang menuduh dia mencuri. “Saya tidak pernah mencuri, Bu.”
“Alaah, jangan mengelak. Kalau bukan Mak Ijal siapa lagi. Satu-satunya pemulung di sekitar sini kan cuma Mak Ijal.”
“Tapi saya tidak pernah mencuri. Saya cuma mengambil barang yang sudah diletakkan di tong sampah.”
“Saya tidak mau tahu. Mana ada maling yang mau ngaku. Pokoknya Mak Ijal harus ganti pot bunga saya yang hilang. Itu baru saya beli kemarin.”
“Aduh, Ibu. Saya tidak pernah mengambil apapun di pekarangan Ibu,”
“Yang jelas kalau Mak Ijal tidak ganti, Mak Ijal akan saya laporkan ke Pak RT. Biar Mak Ijal diusir dari sini. Pemulung hanya meresahkan!”
Setelah mengumpat perempuan itu segera berbalik. Rosna masih terpaku di tempatnya. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia memang seorang pemulung. Tapi bukan pencuri. Dia tidak pernah mengambil barang-barang yang belum diletakkan ke tong sampah.
Rosna tahu, tuduhan semacam itu adalah resiko pekerjaannya. Ada banyak orang yang menghubungkan pemulung dengan pencurian.  Mungkin memang ada di antara orang yang seprofesi dengannya yang seperti itu. Seperti Ijah, kemarin di mengambil sepasang baju di jemuran yang dilewatinya untuk anaknya. Dan masih ada beberapa  kawannya yang berkelakuan seperti itu. Namun dia tidak pernah mencuri sekali pun.
Bukan keinginan hatinya menjadi pemulung. Tuntutan hidup dan keterbatasan kemampuan yang membuatnya  memilih jalan ini. Suaminya meninggal dua tahun yang lalu setelah mengidap malaria. Rosna yang biasanya menjadi buruh cuci harus terjun sepenuhnya untuk menghidupi keluarga  setelah kepergian suaminya.
Bukan hal yang mudah baginya menghidupi empat orang anak yang beranjak dewasa. Beruntung Suri, anak gadis  tertuanya kemarin masuk SMK jurusan menjahit. Sekarang dia sudah bekerja. Rosna menguatkan Suri untuk menyelesaikan sekolahnya  sekalipun  suaminya meninggal sewaktu Suri di penghujung kelas dua.
Roni, anak keduanya hanya sampai Tsanawiyah. Dia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Sekarang dia belajar membengkel di tempat abang temannya. Sementara dua orang adiknya masih kelas  dua dan kelas lima SD.
Syukurnya, sedikit banyak Suri bisa membantu.  Bulan lalu dia membongkar celengannya untuk membayar SPP adik-adiknya. Dan  Roni juga tidak pernah lagi meminta uang jajan pada Rosna. Setidaknya untuk  sabun mandinya sendiri dia bisa beli.
Dengan segala kemampuannya Rosna bertekad  agar anak-anaknya bisa tetap sekolah seperti pesan suaminya.  Mereka sudah biasa makan nasi aking atau cuma bersambal kerupuk. Itu tidak masalah bagi mereka. Yang  penting hari depan lebih baik.
* * *

“Kenapa kau tidak kawin saja dengan Pak Burhan? Bukankah jika kau kawin dengannya hidupmu akan lebih baik. Roni bisa melanjutkan sekolah. Kau tidak perlu memulung lagi.” Itu  ucapan Sinah, tetangganya yang sama-sama buruh cuci.
Rosna diam saja. Sekalipun hidupnya susah, tidak ada sedikit pun niat untuk mengganti lakinya. Baginya kemiskinan mereka juga bukan kehendak Bang Syahrul, suaminya. Walau hanya seorang sopir oplet, Bang Syahrul adalah  laki-laki yang bertanggung jawab, penyayang dan setia. Bang Syahrul-lah yang mengajari Rosna  bahwa dia tidak perlu mengeluh dalam hidup. Karena keluhan tidak akan merubah apapun. Yang harus dia lakukan adalah bergerak.
“Hei Mak Ijal, kenapa kau diam saja?” Sinah mengagetkannya.
“Sudah takdirku menjadi janda. Dan bukan keinginan bang Syahrul meninggalkan kami dengan segala kepahitan ini.”
Sinah tertawa.
“Jangan konyol, Mak Ijal. Lakimu sudah dua tahun mati. Kau juga masih muda. Pikirkan masa depan anak-anakmu.”
“Aku menjadi pemulung juga karena memikirkan anak-anakku. Aku tidak punya keterampilan. Aku tidak tamat SD. Aku tidak punya modal untuk berjualan. Jika aku bisa menjahit, aku akan terima tampahan. Tapi aku tidak bisa melakukan semua ini. Namun aku menginginkan nasib anak-anakku lebih baik dari aku.”
“Karena itu tidak ada salahnya kau terima lamaran Pak Burhan.”
Rosna tahu siapa Burhan. Laki-laki tua berusia tujuh puluh tahun. Genit. Punya banyak istri. Istri mudanya baru berumur tiga puluh tahunan. Untuk menghidupi istri dan anak-anaknya tersebut dia hanya memiliki sebuah kios di Pasar Bawah. Grosir dan eceran. Tapi Rosna tidak tertarik. Dia tahu bagaimana Pak Burhan memperlakukan istri dan anak-anaknya. Mereka tetap cari makan sendiri-sendiri. Rosna juga tahu kedekatan Pak Burhan dengan Sinah-lah yang membuat Sinah mendesak Rosna menerima lamaran Pak Burhan. Pak Burhan pasti menjanjikan sesuatu untuknya.
Tapi hati Rosna sudah tertutup. Dia telah menganggukkan kepala ketika suaminya berkata sebelum meninggal, “Abang tak rela kalau kau kawin lagi.”
Dan Rosna akan memegang janjinya.
* * *

Hari sudah sore. Langit kembali gelap. Namun  karung goni yang disandang Rosna belum penuh, sekalipun dia sudah berjalan jauh dari daerah tempat tinggalnya. Berarti uang sepuluh ribu pun tidak bisa dia bawa pulang.
Sesekali Rosna meraba tenggorokannya yang dahaga. Namun dia benar-benar tidak punya uang walau sekedar beli aqua gelas. Rosna menelan ludahnya.
Dia harus mengganti pot bunga tetangganya. Sepatu Ijal yang sudah tidak layak pakai juga harus diganti. Kontrakan rumah sudah dua bulan nunggak dan harus dibayar. Karung goni yang disandangnya terasa makin berat.
Gerimis mulai turun. Rosna mempercepat langkahnya.
Sepanjang jalan dia  masih mencoba  memungut barang-barang berbahan plastik dengan pengait di tangannya. Tapi itu tidak bisa memenuhkan karung goninya. Rosna terus berjalan sambil dahaga.
Seperti biasa, hujan langsung turun dengan derasnya. Rosna berlari ke emperan sebuah ruko. Petir sambar-menyambar. Langit sangat gelap. Untung pintu ruko itu tertutup. Jika tidak, besar kemungkinan tidak akan diusir. Sangat sulit mencari tempat berteduh bagi seorang pemulung yang membawa karung goni seperti dia.
Hujan makin deras. Satu persatu sepeda motor mulai parkir di depan Rosna. Sepasang muda-mudi yang berpelukan parkir di depan Rosna. Tubuh mereka sama-sama basah. Pasti mereka juga tidak menyangka hujan akan langsung deras seperti ini. Pikiran Rosna sedikit terganggu dengan pemandangan yang ada di depannya. Dia teringat Suri. Anak gadisnya yang sudah berusia dua puluh tahun. Mungkin tidak lama lagi dia akan kawin. Tapi laki-laki mana yang hendak kawin dengannya? Di mana pula helat akan digelar?
Seandainya bapak Ijal masih hidup mungkin keadaan tidak seperti ini. Setidaknya ada lelaki dewasa yang akan dipandang orang. Tapi sekarang hidupnya seperti ijuk tak bersaga, tidak ada yang menjadi pelindung. Sekalipun itu tetangga. Jika Roni dan Ijal seperti balon, pasti akan dia tiup agar cepat besar. Tapi Roni dan Ijal bukan balon. Mereka tumbuh dan butuh waktu untuk berproses.
“Aww…!”
Gadis yang duduk di atas motor yang parkir di depan Rosna makin erat memeluk cowoknya, begitu petir dan kilat sambar-menyambar. Dia tidak peduli apakah sepasang muda-mudi itu suami-istri atau bersaudara. Rosna merasa dirinya sudah di pagar rumah. Suri belum pulang. Kain-kain belum diangkat dari jemuran. Ijal dan kakak perempuannya mengerang kelaparan. Sebelum pergi memulung, Rosna memang tidak meninggalkan apapun di bawah tudung saji.
Hari sudah hampir sempurna gelap. Orang-orang sudah selesai shalat maghrib. Namun hujan masih deras. Tempiasnya pun mulai membasahi Rosna yang makin merapat ke dinding ruko. Langit benar-benar hitam. Kilat masih sambar-menyambar. Bagaimana dia biasa pulang? Tidak ada sepeser uang pun di dalam sakunya. Apakah Suri sudah pulang dan memasak? Apakah Ijal ingat untuk meletakkan baskom kecil di tengah rumah, tempat air biasa tergenang akibat atap yang bocor? Rosna makin dahaga sekaligus kedinginan. Karung goni yang melepok di kakinya terasa makin berat. (ZECh)
Pekanbaru, 24 Desember 2009

Rabu, 01 Januari 2014

MEMAKNAI CINTA, PERSAHABATAN DAN MASA DEPAN DALAM PELANGI ITU INDAH



Judul buku            : Pelangi Itu Indah
Penulis                  :  Yoyon Indra Joni
Tahun terbit           : Februari 2013
Penerbit                :  Diva Press, Jogjakarta
Jumlah halaman     :  384 halaman
ISBN                    :  978-602-7665-55-2




MEMAKNAI CINTA, PERSAHABATAN DAN MASA DEPAN DALAM PELANGI ITU INDAH

Asrul dituntut segera wisuda oleh neneknya. Tuntutan itu membuatnya hengkang dari grup band Excellent yang didirikannya. Anehnya, band tersebut justru makin bersinar setelah ditinggalkannya dan berganti nama menjadi Rambun Pamenan.
Selama kuliyah Asrul tidak pernah membuka hati pada wanita. Dia masih dibayang-bayangi Laura, kekasihnya semasa SMA. Tetapi di luar kendalinya dia malah ditaksir Dian yang menjadi incaran sahabatnya, Awal. Hal ini membuat persahabatan Asrul dan Awal menjadi kurang harmonis.
Dalam situasi demikian, Ikal yang baru lulus S1 Biologi di UGM datang ke Padang. Bersama Asrul, Awal, Rizal, dia membuka Bimbingan Belajar (Bimbel) Prima Intelektual Muda.
Semenjak awal berdirinya bimbel, ujian demi ujian tidak berhenti mendatangi mereka. Hari pertama pembukaan bimbel gagal (padahal sudah mengundang band Rambun Pemenan yang sedang top) karena demo. Hari berikutnya Asrul dan kawan-kawan malah masuk penjara. Hingga akhirnya bimbel itu harus menyerah pada keadaan ketika gema melanda. Bangunannya roboh. Dan mereka tidak memiliki dana lagi untuk membangunnya.
Sementara itu Dian semakin terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada Asrul. Sedangkan Asrul malah tertarik pada Wulan, teman Dian.
Pada akhirnya Asrul, Awal dan Rizal menjadi guru berkat AKTA IV mereka. Sedangkan Ikal yang terang-terangan menolak S-2 ke luar negeri demi mengabdi pada negeri sendiri membuka ladang gambir di kampungnya.
Tema yang diangkat novel ini sebenarnya menarik. Hanya saja konfliknya tidak tajam. Cinta masa lalu yang dikatakan membelenggu Asrul juga tidak jelas gambarannya. Tokoh-tokoh orang dalam novel ini hanya mengungkapkan kalau Asrul adalah orang yang berdarah-darah karena cinta tersebut. Bahkan sang cinta lama tersebut baru diungkapkan pada bab 10. Namanya Laura.
“Ya, dia sudah menikah. Aku ulangi lagi. Laura sudah menikah.kini, ia sudah di Belanda. Jangan salahkan siapa-siapa. Artinya, ia bukan jodohmu...” (hal. 191)
Selain Laura, ada nama Rena yang saya temukan sebanyak tiga kali dalam novel ini. Saya menebak, Rena juga masa lalu Asrul. Tak ada penjelasan dan gambaran pasti tentangnya.
Rena hadir dalam kilasan-kilasan ini;
Kemudian, perhitungan lain yang fatal adalah aku terlalau larut dalam pikiran akan hilangnya seseorang yang sudah mengubah makna cinta itu, Rena. Sehingga aku tidak berdaya. (hal. 231)
Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Dulu, bertahun-tahun berlalu, aku larut dalam bentuk kesalahan yang hampir sama. Aku tidak tegas. Rena. Itulah kesalahanku. (hal. 339)
Hal yang agak mengganggu saya dari novel ini adalah adanya pengulangan-pengulangan kalimat. Pernyataan bahwa Asrul tengah berdarah-darah karena cinta lama sangat mudah ditemui. Diungkapkan dengan susunan kata yang nyaris sama. Kalimat ini seperti kalimat wajib dalam percakapan tokoh-tokohnya. Dalam novel ini juga banyak devinisi cinta versi masing-masing tokoh yang diuraikan dengan panjang lebar. Selain itu, Asrul cs sepakat menolak seorang calon siswa bimbel yang bernama Mardian Shaliha. Alasannya karena Awal sangat sensitif dengan segala hal berbau ‘Dian’. Menurut saya ini berlebihan mengingat mereka adalah kaum intelek dan butuh siswa untuk bimbel yang baru didirikan.
Yang membuat saya mengacungkan jempol pada novel karangan Yoyon Indra Joni ini adalah semangat dan perjuangan Asrul cs untuk mempertahankan bimbel. Ikal menjadi tukang ampelas besi dari pagi sampai petang. Asrul mengajar di tempat yang cukup jauh dari kos mereka. Awal menjadi tukang cuci piring. Penghasilannya mereka gunakan untuk membiayai bimbel Prima Intelektual Muda.***

Ket: telah dimuat di Majalah Sagang, Desember 2013