Judul
buku : Jurai (Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian)
Penulis : Guntur Alam
Tahun
terbit : Maret 2013
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Jumlah
halaman : 300 halaman
ISBN : 978-979-22-9338-8
JURAI
: LUKA YANG MELAHIRKAN SEMANGAT
Memang
benar; rasa sakit bisa membangunkan orang yang sedang tidur dan membuat orang
yang lemah menjadi kuat. Mungkin inilah inti dari novel Jurai, karangan Guntur
Alam ini.
Dalam
novel terbitan Gramedia ini dikisahkan Catuk kehilangan Ebak (ayah) ketika dia
baru kelas lima SD. Kehilangan yang sangat menyakitkan karena kepergian Ebak yang
semula dikabarkan meninggal karena diseruduk babi hutan ternyata menjadi korban
tabrakan sepeda motor anak Toke Nagap, pemilik kebun karet yang disadap Ebak
setiap hari. Namun Toke berhasil mengarang cerita dan meminta cap jempol Emak
yang tidak akan melakukan tuntutan apapun.
Catuk
yang terlahir sebagai bungsu dan merupakan satu-satunya anak laki-laki
mengalami dilema berkepanjangan. Sebagai laki-laki, Catuk merasa memiliki beban
seorang kepala keluarga. Namun faktor umur membuatnya tidak bisa berbuat
apa-apa untuk Emak dan ketiga kakak perempuannya.
Pada
saat yang sama, Catuk terpilih mengikuti Porseni di cabang lomba lari. Untuk
itu dia membutuhkan sepatu baru. Namun kemiskinan yang melingkupi keluarganya mengurungkan
niatnya untuk menyampaikan hal tersebut kepada Emak. Apalagi kedua kakak
kembarnya akan mengikuti UN SMP. Dan mereka juga ingin melanjutkan ke SMA.
Risau
hatinya makin menjadi ketika keluarga mereka harus menjalani ritual empat puluh
hari setelah kematian. Mereka harus menyiapkan jamuan untuk para pelayat.
Keharusan ini membuat hutang Emak semakin menumpuk.
Rupanya
luka di hati mereka tidak selesai sampai di situ. Lepas tahlilan empat puluh
hari, istri kedua Ebak dengan dua orang anaknya datang bertamu. Ternyata Ebak
telah menikah lagi tanpa sepengetahuan Emak. Pengkhianatan yang tersimpan rapi
selama belasan tahun itu didukung keluarga Ebak. Alasannya; mencari anak
laki-laki.
Dalam adat mereka, ada pepatah
mengatakan: sebanyak apapun seseorang memiliki anak gadis, rasanya, ia tak
punya anak bila belum punya anak bujang. Anak bujang itu pelita dalam limas.
Obor dalam kegelapan. (hal. 120)
Kehormatan keluarga terletak pada
anak bujang. Rasanya tak cukup sebuah limas bila tak ada anak bujangnya. Berasa
tak jadi lanang bila tak mampu punya anak bujang. (hal.128)
Hantaman
ini membuat Emak terpuruk dalam kesedihan. Apalagi jelas Ebak menikah dengan
izin Emak lewat cap jempolnya pada surat pemberian restu. Rupanya ketidakmampuan
Emak membaca telah dimanfaatkan. Tidak hanya oleh Toke Nagap tapi juga oleh
suaminya sendiri.
Selain
menceritakan luka, novel ini juga mengetengahkan kehangatan dan kesetiakawanan.
Catuk
bangkit dari keterpurukannya setelah terus menerus dihibur dan disemangati oleh
kawan-kawan akrabnya, yaitu Kus, Gunawan, Sarpin, Pangki, Ivan, Gedo, Noyok dan
Ci Rika. Persahabatan ini juga berbuah manis dengan mampunya mereka membeli
tujuh pasang sepatu untuk mengikuti Porseni. Tentunya mereka mendapatkan uang
bukan dengan menadahkan tangan pada orang tua. Karena hidup mereka hampir
sama-sama miskin. Dalam persahabatan itu, pembaca akan menemukan kearifan yang
mencengangkan dari pikiran anak-anak seusia mereka.
Pada
akhirnya novel ini menunjukkan korelasi luka dengan kebangkitan. Demi
mengantarkan anak-anaknya menebus mimpi, memberikan hak yang sama antara anak
perempuan dan laki-laki, Emak mendobrak kultur masyarakat Tanah Abang. Meskipun
harus menjadi orang terbuang.
Namun
ada dua hal yang sedikit menggangu tentang isi novel ini. Pertama, Emak yang
sudah berada di dasar keterpurukan, diselimuti kabut kedukaan yang tebal,
jarang ke luar dan menutup diri, tiba-tiba bangkit hanya dengan beberapa patah
kata Catuk.
“Bukankah Emak mengatakan padaku
untuk menerima semua ini sebagai takdir?” Aku kembali bersuara, tidak
mempedulikan reaksi Emak yang senyap itu, “Bukankah kita tidak punya kuasa
melawan takdir? Semua ini takdir kita, Mak. Emak menjadi janda dan dimadu.
Tidak ada yang bisa Emak perbuat. Juga kami. Apa dengan cara Emak berdiam diri
di kamar, semua jadi beres? Seperti itu kan yang Emak tanyakan padaku?”
“Bukankah Emak meminta kami untuk melupakan semua ini dan belajar yang rajin
agar bisa terus sekolah? Sekolah harus bayar, Mak. Kami harus bayar dengan apa
kalau Emak tak bergerak?” (hal. 152)
Seketika Emak bangkit. Sadar. Langsung
menghitung kebutuhan harian dan sekolah. Emak meyakinkan anak-anaknya bahwa dia
mampu melunasi iyuran sekolah dengan senyum terkembang. Sekalipun belum tahu
mau bekerja apa. Emak bangkit begitu saja tanpa ada gambaran perenungan atau
usaha pendekatan terhadap Emak sebelumnya.
Kedua, kisah cinta antara Catuk dan Dewi
yang terasa berlebihan untuk ukuran anak kelas lima SD. Kebersamaan mereka,
hal-hal yang berkelabatan dalam kepala Catuk, seperti penggalan yang terlepas
dari kehidupannya selaku anak dusun yang belum mendapat penerangan listrik
apalagi televisi di rumah. Jika Catuk hidup dengan kondisi kemajuan zaman
seperti sekarang yang setiap hari bersentuhan dengan teknologi, mungkin tidak
aneh.
Perkenalan mereka secara tak sengaja
(tabrakan) terjadi sewaktu Porseni. Catuk yang dipenuhi rasa takjub karena bisa
menginjakkan kaki di Muara Enim bercampur minder karena berasal dari SD inpres
yang muridnya kebanyakan miskin, ternyata bisa jatuh cinta pada pandangan
pertama. Bahkan catuk bisa merekam sosok Dewi dengan sempurna dalam ingatannya
saat itu juga.
Bibirnya
merah, liut basah, dengan mata sebening embun. Pipi penuh berisi, membuatku
hendak sekali mencubitnya. Tak hanya itu, kulitnya kuning langsat, berleher
jenjang, dengan rambut panjang hitam tergerai. (hal. 188)
Walaupun
demikian, alur cerita yang cukup mengharukan ini akan kembali mengingatkan
pembaca bahwa pintu-pintu kemustahilan akan bisa dibuka dengan tekad yang kuat
dan penuh keberanian. Selamat membaca. *(Zech)
April 2013
*dimuat
Majalah Sagang, Januari 2014
di sini, hal. 46