Senin, 01 Juli 2013

Merombak Pola Pikir Anak




Judul buku            :  6 Pola Sukses Mendidik Anak Jadi Kreatif (Merevolusi Cara   Berpikir Anak Indonesia)
Penulis                   :  Ling Majaya
Tahun terbit           : Januari 2013     
Penerbit                 :  Gramedia Widiasarana Indonesia
Jumlah halaman     :  130 halaman




MEROMBAK CARA DIDIK ANAK 
Secara umum masyarakat berpendapat bahwa anak yang cerdas adalah anak yang kreatif. Pun sebaliknya; kreatif dalam berkesenian dianggap sebagai patokan cerdas. Padahal kreatif dalam kesenian berbeda dengan kreatif dalam berpikir.
Kreatif berpikir adalah kemampuan memproses pengalaman-pengalaman menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai tambah dan dapat diwujudkan. (hal. 5). Kreatif berpikir bukanlah bakat, namun sebuah kemampuan yang bisa dipelajari.
Six thinking hats adalah metode yang dikembangkan oleh Dr. Edward de Bono, seorang sarjana Oxford yang mencetuskan kata Lateral Thinking  dalam kamus bahasa Oxford. Metode ini bertujuan untuk mendisiplinkan cara berpikir anak-anak agar berpikir secara paralel, yaitu suatu cara berpikir dengan fokus hanya pada satu jenis pemikiran di suatu waktu tertentu. Seorang anak diajarkan untuk menilik suatu masalah dari berbagai aspek dan sudut pandang serta melibat semua pihak.
Ketika dua orang anak berpikir secara paralel, mereka akan sama-sama mencari fakta, mengkaji manfaat dan mudharatnya, juga mencari penyelesaian. Mereka tidak berusaha mengungguli satu atas yang lain.
Ini jelas berbeda dengan berpikir kritis dan berargumentasi. Dalam berpikir kritis; anak akan senang mencari kesalahan dan memberikan kritik. Sehingga otak hanya terpacu untuk mencari kesalahan. Kritis terkadang menutup peluang munculnya ide baru. Dan dalam berargumentasi; seorang anak dituntut untuk mampu meyakinkan bahwa pendapatnya layak diterima dan diakui kebenarannya.
Dalam Six thinking hats anak diajarkan bahwa berpikir itu menyenangkan. Mereka dibiasakan agar berpikir dulu sebelum memberi jawaban, melontarkan pertanyaan yang lebh terarah, mengajarkan konsep kemungkinan selain dari ya dan  tidak. Mereka juga diajari bagaimana menjelasakan jawaban ketika jawaban mereka dianggap tidak logis.
Metode ini dilambangkan dengan topi.
Pertama, topi putih. Pemakai topi ini mengungkapkan informasi, fakta, detil, pengamatan dan data. Anak yang memakai topi ini berada di titik netral. Berpikir objektif. Biasanya jika mereka menyatakan apa yang dirasakan, mereka memakai perasaan orang lain. Bukan mengedepankan perasaan sendiri.
Kedua, topi merah; ditandai dengan pengekspresian emosi, perasaan dan intuisi. Pemakaian topi ini juga dibutuhkan dalam mengambil keputusan karena emosi bukan hanya berarti marah. Namun juga takut, benci, curiga ataupun cinta. Untuk penempatannya butuh kepekaan di saat tidak ada data yang kuat. ? Namun hanya sesaat.
Tiga, topi hitam. Topi ini berfungsi sebagai penimbang karena dia mengungkapkan bahaya, risiko dan kelemahan. Tugasnya adalah menimbang positif dan negatifnya suatu kegiatan. Memprediksikan kemungkinan terjelek yang bakal timbul. Dia bicara dengan logis dan alasan yang mendukung.
Empat,  topi biru. Mereka adalah para pengamat. Senantiasa mengamati persoalan dan proses yang berlangsung untuk memberi jalan tengah. Mereka mengendalikan keadaan yang rumit, mengembalikan perdebatan ke titik fokus. Tidak hanya sebagai pemantau, pemilik topi biru juga bisa menarik kesimpulan dan membuat laporan yang bisa disampaikan secara lisan.
Lima, topi hijau. Dia adalah seorang yang optimis. Pembawa ide baru dengan beragam kemungkinan. Anak dengan pola pikir ini dibutuhkan saat mengalami kebuntuan berpikir.
Enam, topi kuning. Berpikir dengan mengkaji manfaat dari kejadian paling buruk sekalipun. Bagi mereka semua peristiwa memiliki nilai positif tergantung dari cara orang memandang. Dalam menuangkan ide mereka selalu optimis sekalipun idenya tidak menarik
Di buku ini juga dikemukakan, bahwa penulis menawarkan metode Edward de Bono ini di Indonesia. Ling Majaya melihat adanya konsep kontroversi dalam dunia pendidikan kita. Di sistem ini ada dua pilihan; ya atau tidak. Tidak ada ruang untuk pilihan yang lain. Seolah pembenaran, jika yang satu benar maka yang lain salah. Pola didik seperti ini menanamkan keseragaman dalam pola pikir.
Kemudian di sekolah anak-anak senantiasa diajarkan berpikir sesuai logika, selain berpikir kritis dan berargumen. Agar ide bisa diterima, setiap orang dituntut memaparkan idenya secara logis. Jika tidak logis maka idenya ditolak. Sedang dalam kehidupan sehari-hari, logika dan argumen sering disebabkan ketidakmampuan orang mencari alternatif pilihan atau kemungkinan yang lain. Karenanya lebih baik jika anak diajarkan meluaskan cara pandangnya untuk melihat suatu persoalan. Mereka bisa memandangnya dari banyak sisi. Dengan begitu anak-anak akan menemukan beragam cara untuk melihat dan menyelesaikan sebuah persoalan. Tentu saja tanpa merasa benar sendiri.
Salah satu ungkapan Dr. Edward de Bono: “Di masa depan, ketimbang mementingkan pencarian kebenaran dengan pengorbanan yang besar, akan lebih bermanfaat bersikap fleksibel dan sederhana dengan pengorbanan yang kecil. Jika anda tidak dapat secara akurat memprediksi masa depan maka anda harus fleksibel dalam menghadapi berbagai kemungkinan di masa depan.” (hal.23)
Buku ini tidak hanya bagus untuk diapresiasi oleh para tenaga pengajar dan orang tua namun juga oleh semua orang yang ingin merevolusi cara berpikirnya. Isinya sangat cocok untuk semua usia. * * *

Dimuat koran Riau Pos pada hari Ahad, 30 juni 2013.
Judul sebelum diedit editor koran: MEROMBAK POLA PIKIR