Jumat, 25 April 2014

Ketika Remaja Mencari Jati Diri



                                 Judul buku            :  Apa yang Kamu Inginkan, Ran?
Penulis                   :  WS Nugie
Tahun terbit           : Februari 2014   
Penerbit                 :  Oase Qalbu
Jumlah halaman     :  302  halaman
ISBN                     : 978-602-7645-24-0




KETIKA REMAJA MENCARI JATI DIRI

Amran berubah. Tidak ada lagi anak yang penurut, cerdas, aktif dalam belajar dan senantiasa dapat sanjungan. Sejak dimasukkan orang tuanya ke ma’had, dia menjadi temperamen, suka melanggar aturan, dan indisipliner. Baginya ma’had tak ubahnya penjara.
Berulang kali Amran dihukum akibat ulahnya, tapi itu tidak membuatnya jera. Meninggalkan shalat, ke luar ma'had tanpa izin, melempar piring dan mencela makanan dilakukannya tanpa beban dan rasa takut. Berbagai kebohongan dengan mudah dikarangnya agar terhindar dari hukuman.
Amran merupakan anak tunggal. Kedua orang tuanya dikenal alim. Dikarenakan pergaulan pemuda di lingkungannya tidak sehat, maka orang tuanya memasukkan Amran ke ma’had. Sayangnya, Amran tidak setuju dengan pilihan tersebut.
Perkenalan Amran dengan Ali Syahbana, membuatnya makin menjadi-jadi. Ali, yang mantan siswa ma’had senantiasa mendukung setiap rencana buruknya. Pada sebuah kesempatan, dengan ditemani Ali,  Amran pun kabur dari ma’had. Mereka jalan-jalan ke Surakarta. Sekadar melepas jenuh. Namun, itulah pelanggaran terakhir yang dilakukannya. Sepulang dari Surakarta, Amran dikeluarkan.
Sejak berada di tengah-tengah keluarganya, kelakuan Amran tidak berubah. Malah makin menjadi-jadi. Hari-harinya dihabiskan dengan nongkrong bersama teman-temannya, merokok, dan mabuk-mabukan.
Tentu saja orang tuanya malu dengan perangainya yang menjadi gunjingan tetangga. Amran pun dikurung ayahnya di kamar.
Lagi-lagi maksud orang tuanya disalahartikan. Egonya sebagai remaja menuntut kebebasan, perasaan dihargai, dan dimengerti. Merasa diperlakukan tidak adil, Amran pun kabur.
Dalam pelariannya, Amran berkenalan dengan Cemong, seorang pengamen yang mengajaknya bergabung. Setiap hari mereka bekerja dan harus menyetor pada koordinator pengamen dengan nominal yang telah ditentukan.
Ketika Amran mulai merasa nyaman dengan kehidupan barunya, masalah kembali menghampiri. Bosnya dibekuk polisi karena mengedarkan narkoba. Pada saat yang sama Amran dikeroyok sesama pengamen dan markas mereka akan dijadikan pemerintah sebagai pusat perbelanjaaan.
Untuk kedua kalinya, Amran kembali terlunta-lunta. Perkenalannya dengan Pak Kasman mulai menyadarkannya. Hidup di tengah keluarga pedagang es cendol itu membuat Amran mulai mensyukuri hidupnya, mau menerima nasehat, menghargai orang lain, rajin beribadah dan mempelajari ilmu agama. (hal 240)
Kerukunan dan kebersahajaan keluarga Pak Kasman mulai menghadirkan rindu pada orangtuanya di hati Amran. Namun, kekesalan terhadap ayahnya membuatnya enggan pulang.
Novel setebal 302 halaman ini juga mengetengahkan sejarah kota Surakarta. Pada bab keempat, pembaca akan disuguhi pengetahuan tentang sejarah berdirinya Surakarta, jalur transportasinya, peninggalan kebudayaannya, tempat wisatanya hingga makanan yang khas. (hal. 28 sampai 40)
Menurut saya, membaca novel ini seperti menonton sinetron Indonesia; endingnya terlalu dipaksakan. Diceritakan Amran mengalami kecelakaan saat menghindari bapaknya. Setelah melewati masa komanya, Amran dan orang tuanya langsung membicarakan masalah sekolah. Saat itu juga, Amran menyatakan kesediaannya untuk kembali masuk ma’had asal orang tuanya bersedia menyekolahkan Cemong dan kedua anak Pak Kasman. Sesaat setelah orang tuanya menyetujui permintaannya, Amran pun pergi untuk selama-lamanya.
Setelah membaca novel ini sampai halaman terakhir, saya merasakan ada yang janggal dari kisahnya; perubahan Amran sewaktu hidup di jalanan. Jika di ma’had hampir setiap hari Amran melakukan pelanggaran, maka sewaktu jadi pengamen tiba-tiba saja Amran jadi penyabar, salatnya pun tidak pernah tinggal. Tidak pernah merokok apalagi mabuk-mabukan. Padahal jika diperhatikan justru hidup di jalananlah yang akrab dengan hal-hal yang negatif. Apalagi di antara teman-temannya ada yang menjual narkoba. Ditambah lagi rentang waktu kisah yang sangat pendek membuat cerita ini terasa kurang alami.
Hal lain yang saya rasa aneh adalah perbedaan judul pada kovernya (Apa yang Kamu Inginkan, Ran) dengan yang tertera pada halaman judul (Apa yang Kau Inginkan, Ran). Menurut dugaan saya, ini semata-mata karena human error.  Selain itu, banyaknya kesalahan dalam tanda baca juga membuat kenyamanan membaca jadi berkurang.
Di luar itu semua, tema yang dihadirkan penulis cukup menarik. Sambil menyusuri bab perbabnya pembaca bisa sekalian mengenali kehidupan di pesantren dengan bahasa-bahasa khasnya para santri.***


Selasa, 01 April 2014

Meretas Jalan Menuju Peradaban



Judul buku            :  Sepenggal Bulan untukmu
Penulis                   :  Zhaenal Fanani
Tahun terbit           : Maret 2013
Penerbit                 :  Diva Press, Yogyakarta
Jumlah halaman     :  488 halaman





MERETAS JALAN MENUJU PERADABAN

Pesanggrahan merupakan sebuah desa di pinggir hutan. Penduduknya hidup dari menjual kayu, madu, telur semut, burung-burung, buah-buahan, sarang burung walet dan hasil hutan lainnya. Penduduknya berkisar sekitar lima ratus enam puluh tujuh kepala keluarga. Di desa itu hanya ada satu sekolah, satu mushalla dan satu orang guru.
Kebanyakan masyarakatnya membawa anak-anak mereka turut serta ke hutan agar penghasilan mereka berlimpah. Kebiasaan penduduk ini membuat siswa sekolah di Pesanggrahan hanya berjumlah empat belas orang. Dan siswa mengajinya enam orang. Satu-satunya guru yang mereka miliki adalah Pak Solikhan.
Sekolahnya menempati salah satu rumah milik Khotimah yang merupakan keturunan pendiri Pesanggrahan. Selama ini tidak ada guru dari dinas yang bertahan di sana, karena persoalan ekonomi, hingga kedatangan Tumirah.
Tumirah datang dari Surabaya dengan maksud membaktikan dirinya untuk pendidikan di Pesanggrahan. Dia bersedia menyumbangkan ilmunya tanpa digaji. Semuanya dilakukannya semata untuk mewujudkan harapan bapak angkatnya.
Khotimah, yang biasa dipanggil Emak Imah sangat senang dengan kedatangan Tumirah ke Desa Pesanggrahan. Pendekatan yang dilakukan Tumirah dengan menjadi sahabat anak-anaknya membuahkan hasil yang signifikan. Setiap hari jumlah siswa selalu meningkat. Baik di sekolah maupun siswa mengaji di mushalla.
Namun tidak semua masyarakat menyukai tindakan Tumirah. Sebagian mereka merasa kegitan Tumirah justru membuat penghasilan mereka berkurang. Anak-anak mulai enggan diajak ke hutan untuk membantu orang tua mencari nafkah.
Keresahan sebagian masyarakat ini semakin meluas dengan dukungan dari Sukmotejo, seorang sesepuh Pesanggrahan. Mereka sepakat meminta Tumirah menghentikan kegiatannya. Dan segera meninggalkan Pesanggrahan.
Keadaan menjadi semakin panas ketika Danuparang, sahabat Sukmotejo, malah mendukung kegiatan Tumirah. Ketika Sukmotejo menggalang kekuatan untuk mengusir Tumirah, Danuparang juga menggalang kekuatan untuk mempertahankan Tumirah.
Pada saat yang sama keponakan Pak Solikhan, Samin, datang ke Pesanggrahan untuk ikut menjadi guru. Dalam suasana yang tak karuan itu Tumirah mulai merasakan ketertarikan pada Samin. Gelagat itu terbaca oleh Emak Imah dan Pak Solikhan yang malah berniat menjodohkan mereka. Di saat yang sama, Tumpak Siring, anak lelaki satu-satunya Sukmotejo datang ke rumah Emak Imah untuk melamar Tumirah. Tumpak Siring berjanji akan mengamankan kembali keadaan.
Novel  ini mewakili polemik yang dihadapi beberapa daerah di Indonesia. Ketika kota-kota begitu gemerlapan, maka beberapa desa harus tertatih-tatih untuk mendapatkan pendidikan bagi masyarakatnya.
Ketika kebanyakan orang berlomba-lomba menunjukkan kemapanan dan kemampuan dengan meniru gaya hidup masyarakat kota atau yang mereka lihat di tivi maka menemukan orang-orang yang masih peduli pada nilai-nilai hidup terasa semakin langka. Tata krama dan moral tidak lagi menjadi acuan dalam memandang seseorang. Keberhasilan hanya dipandang dari kemampuannya mengomsumsi barang-barang yang ditawarkan televisi sekalipun itu bukan kebutuhannya.
Novel ini mempunyai konflik sangat berpotensi untuk diolah hanya terasa kurang tajam. Perseteruan Sukmotejo dan Danuparang hanya berkisar seputar rencana pengusiran Tumirah. Perseteruan itu lebih digambarkan pada perdebatan-perdebatan sengit di antara dua kubu. Kisah cinta Samin – Tumirah – Tumpak Siring juga nampak seperti sebuah wacana. Cara penyajian novel ini yang sering mengulang-ulang penjelasan dari bab-bab sebelumnya justru membuat pembaca menjadi lelah dan ketegangan dalam membaca jadi menurun.
Walaupun begitu, kisah hidup Tumirah sebelum sampai di Pesanggrahan sangat menarik untuk dinikmati. Cinta kasih yang bisa terjalin tanpa ada ikatan darah anatara Tumirah dan bapak angkatnya mengajarkan tentang ketulusan.
* * *
2013
Telah dimuat Harian Mimbar Umum, Medan