Judul buku : Selamat Datang di Era Imagologi
Penulis : Anggrahini KD
Tahun terbit : Maret 2014
Penerbit : Pustaka Nusantara
Jumlah halaman : 160 halaman
ISBN : 978-602-7645-25-7
Oleh: Zurnila Emhar Ch
Saat ini internet bukan lagi sesuatu yang asing di telinga. Internet telah
akrab dengan semua golongan. Pengusaha, mahasiswa, pelajar SD mengenal
internet. Begitu juga dengan tukang jual sayur, petani, pengamen, hingga pembantu
rumah tangga.
Dengan internet semua serba mudah. Orang tua yang tidak bisa membantu anaknya
menyelesaikan tugas sekolah bisa dibantu oleh internet. Sediakan saja
seperangkat komputer di rumah. Atau beri saja mereka uang untuk ke warnet.
Berkat perkembangan internet, dunia memang bisa dilipat dan diringkas. Sosialisasi,
jual-beli, hingga perencanaan teror dan pembunuhan, bisa dengan mudah dilakukan
hanya dengan jentikan jemari tangan. Koneksi internet, bukan lagi sekadar
perantara, melainkan juga representasi sebuah dunia. (hal.38)
Internet juga bisa melahirkan sebuah aksi-aksi kemanusiaan seperti Koin
Cinta Bilqis yang merupakan usaha menggalang dana untuk pengobatan Bilqis yang
mengidap penyakit atresia bilier beberapa
waktu lalu. Juga aksi mendukung Prita Mulyasari yang berperkara dengan sebuah
rumah sakit terkenal. Dengan aksi-aksi peduli tersebut, internet menunjukkan
kemampuannya untuk bicara secara nyata.
Internet telah menjadi muara bagi banyak kepentingan. Internet bahkan bisa
mengubah karakter seseorang. Sifatnya jadi bertolak belakang dengan kenyataan.
Yang nampak santun di dunia nyata, bisa menggila di dunia maya. Yang biasanya pemurung
pun jadi ceria.
Namun, apakah semua sajian internet itu layak disantap? Tentu tidak! Para
pelajar dan remaja masih terlalu dini untuk mengenal gaya hidup bebas. Juga tak
ada keuntungan membuka situs-situs yang menyimpan konten pornografi bagi
siapapun.
Untuk menghadapi dunia maya yang begitu gemerlap tidak hanya dibutuhkan
perlindungan dengan UU ITE atau dengan memblokade perangkat komunikasi terhadap
situs-situs berbahaya. Hal paling pokok adalah tetap memakai akal sehat dan
nurani terhadap mesin pencari yang serba tahu itu.
Begitu juga dengan televisi. Beragam program dikemas agar menarik untuk
ditonton. Sasaran dari tiap program pun jelas. Ada label BO (Bimbingan orang
Tua), R (Remaja) dan D (Dewasa). Namun label-label itu kerap diabaikan. Kebanyakan
orang tua selalu merasa aman jika anaknya menonton kartun. Padahal lewat kartun
anak-anak sebenarnya dijejali dengan tayangan yang mengajarkan kekerasan. Ada
pukulan, tendangan, tamparan dan kekejian. Setelah kartun, sinetron pun ambil
kendali. Jam tidur dan jam belajar anak diatur oleh tayangan televisi.
Abdurrahman Faiz menulis tentang hal ini dalam puisinya; “Dari pagi sampai
malam/ kami menghapal televisi/ kami cerna kelicikan, darah, goyangan, dan
semua jenis hantu/ sambil mendebukan buku-buku/”
Semoga apa yang dialami Grace Cristina, pemenang Lomba Curhat Anak tentang
Televisi yang diadakan UNICEF, 2006, tidak terjadi kepada anak-anak kita.
Sewaktu muda Grace seorang maniak televisi. Suatu ketika, orang tuanya datang
mengganggu saat dia asyik bermain. Dengan penuh amarah, Grace mencengkram bahu
ayahnya dan berteriak, “Kubunuh kau, Papa!” (hal.66)
Dan untuk pemirsa setianya yang remaja dan dewasa, televisi menghadirkan
program infotainment dan sinetron yang kebanyakan menampilkan wajah segar
berumur belasan tahun.
Dalam infotainment batas realita sengaja diabu-abukan. Pemirsa dipermainkan
dengan narasi yang berdasarkan praduga semata. Kronologis pemberitaan membuat
penggemar acara gosip seperti tengah membaca novel. Industri pertelevisian
telah berhasil menggiring watak pemirsa acara gosip untuk terus berprasangka.
Dan mencari muara curiga tersebut lewat tayangan infotainment. Televisi telah
menjadi komoditi yang menggiurkan. Penonton digunai-gunai agar setia menjelma
menjadi buruh bagi industri televisi.
Para remaja pun berlomba-lomba untuk menjadi bintang. Mereka mengikuti
casting dan ajang-ajang pencarian bakat. Ada pula yang mengunggah vidio di
intenet. Dunia musik pun menghentak. Berbagai aliran dan penyanyi pendatang
baru bermunculan. Televisi sebagai sarana audio-visual menjadi wadah untuk
mendapatkan tempat di hati pemirsa. Sihir televisi dimanfaatkan oleh pelaku
industri untuk mendulang rupiah dan popularitas. Walau kadang musikalitas
syairnya ala kadarnya.
Pemirsa musik terbuai dengan gerak penyanyi yang terkadang lipsync juga tergoda oleh wajah rupawan
bintang sinetron ataupun para pelawak yang unjuk menyanyi. Belum lagi lirik dan
aransemen apa adanya yang menggejala, goyang erotis ala penari striptease. Karena berkiblat pada
televisi maka selera pun nyaris seragam.
Sayangnya ajang-ajang pencarian bakat ini menemukan bintang dengan
akumulasi SMS. Beberapa peserta lebih sering menarik simpati publik dengan menjual
kisah sedih. Simpati merupakan kekuatan dan kelemahan. Kekuatan yang dihasilkan
bisa berupa peluang untuk disukai, dihargai. Namun keadaan ini bisa membuat
seseorang tidak lagi menilai secara objektif sehingga kualitas tidak lagi jadi
nomor satu.
Sebenarnya diakui atau tidak nilai kontraklah yang membuat para pemain
sinetron stripping yang kebanyakan
remaja rela menjalani hari-hari yang kaku. Syuting hingga larut malam, tidur,
bangun, sekolah, syuting lagi. Begitulah setiap hari.
Bayaran yang besar tentu menuntut pengorbanan yang besar pula. Masa
kanak-kanak dan remaja mereka hilang atas nama profesionalisme. Mereka
kehilangan waktu bermain, tak punya kesempatan untuk bersosialisasi secara
normal. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian bermasalah dengan obat-obat
terlarang, gaya hidup bebas, kabur dari keluarga, hingga percobaan bunuh diri.
Ternyata, uang melimpah dan popularitas tak bisa mencukupi kebutuhan
psikologis mereka pada masa perkembangan karena memang belum saaatnya mereka
jadi pekerja.
David Buckingham, seorang filsuf Jerman mengatakan; media mengenalkan anak
kepada dunia orang dewasa dan membuat mereka tercerabut dari fase yang
sebenarnya. Keluasan media tanpa kontrol membuat anak berpeluang mendapat
asupan negatif yang kerap luput disadari.
Jadi, pendampingan orang tua muthlak perlu karena televisi dan internet
menyimpan banyak pelajaran, mulai dari mengenal satwa hingga perebutan harta
benda. Keduanya memang sebuah benda mati namun selalu hidup di hati penonton
dan penggunanya yang selalu menjadi teman setia.
Buku terbitan Pustaka Nusantara ini merupakan dokumentasi dari
tulisan-tulisan penulis yang pernah diterbitkan harian Suara Merdeka. Isinya
sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Buku ini cocok dibaca semua
kalangan. Terlebih bagi mereka yang ingin belajar menulis artikel, buku ini
bisa jadi acuan.
* * *
Dimuat harian
Singgalang, 28 September 2014