Ketika Yuli mengendap-endap di belakang rumahnya,
gelap benar-benar telah membungkus malam. Bulan sabit telah hilang ditelan awan
hitam. Sepertinya bakal turun hujan seperti malam-malam
sebelumnya.
Dengan hati-hati Yuli mendorong pintu dapur. Seperti biasa pintu ini tidak pernah dikunci pemilik
rumah sebelum Yuli datang. Setelah masuk dia langsung menguncinya.
Berbekal penerangan lilin,
Yuli bisa bergerak dengan
leluasa. Dia tidak perlu khawatir bakal
tersandung atau menyenggol sesuatu. Dapur itu kecil, hanya berukuran satu setengah kali dua meter.
Seperti biasa, untuk memberitahu kedatangannya dan
memastikan tidak ada tamu di dalam rumah, Yuli akan memukul wajan yang sengaja digantung di tiang
dekat tungku. Setelah itu menunggu. Jika si tuan rumah sedang tidak ada tamu
dia akan langsung datang.
Pun sekarang. Setelah bunyi wajan memantul, terdengar
langkah-langkah berat mendekat. Kemudian muncul sosok tinggi besar yang hanya
menggunakan singlet dan celana pendek dari balik selasar yang menghubungkan
ruang utama dengan dapur. Di bawah sinar lilin Yuli melihat deretan rapi gigi
sosok itu ketika tersenyum padanya.
“Ayo!”
Sosok itu, Pak Toro menggamitnya. Yuli mendekat.
Tanpa bicara sosok itu merangkulnya
dan menuntunnya ke kamar.
Di luar, hujan mulai turun…
* * *
Lagi-lagi Emak hanya diam ketika Bapak memukul dan memakinya. Yuli tidak mengerti.
Apakah memang harus seperti itu untuk menjadi seorang istri? Tidak boleh
membantah, harus selalu menurut, dan tetap mematuhinya walau diperlakukan
seperti binatang.
Sambil menahan isak, Emak melap air matanya.
“Mana?!” Bapak membentak sambil menjulurkan tangannya.
Masih tanpa suara, Emak mengeluarkan gulungan uang ribuan dari balik
pakaiannya. Bapak merebutnya. Menghitung. Lalu menggeleng.
“Cuma segini?”
“Cuma segitu, Bang. Kemarin hujan seharian, tidak banyak yang bisa kukumpulkan.”
Emak bekerja serabutan untuk menopang kebutuhan
keluarga. Beberapa hari belakangan ini Emak mengambil batu di kali. Agar dapat uang langsung,
batu-batu itu dijual pada
penampung per gerobak. Karena butuh waktu yang lama jika harus menunggu hingga batunya cukup satu truk. Tapi karena
sekarang musim hujan, tidak banyak batu yang bisa dikumpulkan.
Bapak melangkah ke meja tua di sudut ruangan. Dia menyeruput
kopi yang telah terhidang dari tadi. Emak bangkit. Mengencangkan sarungnya. Berjalan menuju
pintu sambil menyanggul
rambut
kusutnya yang tergerai.
“Mau kemana, Kau?”
“Aku mau merebus ubi, Bang. Beras kita habis. Tidak
ada yang bisa kita makan hari ini,”
“Ngutang saja sama si Upik.”
Emak hanya diam. Yuli mengerti. Emak sudah malu berhutang di sana. Mak Upik pun sudah
enggan memberi pinjaman. Bahkan tidak jarang Mak Upik menitip pesan pada Yuli
agar Emak segera membayar hutangnya
yang menumpuk.
“Kau tidak perlu pergi ke kedai atau merebus ubi.
Suruh saja Yuli!” Bapak memutar badannya. Dengan kasar ditariknya siku Emak. “Aku butuh kau. Kepalaku sakit.”
Emak terseok-seok mengikuti Bapak. Emak seperti kerbau dicucuk
hidungnya. Padahal
jika Emak mau menentang Bapak, dia
bisa melakukannya. Selama ini Emak-lah yang mencari makan. Bukan Bapak! Laki-laki itu hanya tidur-tiduran atau duduk
menghabiskan waktu di kedai. Tentunya main kartu sambil bertaruh. Sekali seminggu
Bapak berburu bersama teman-temannya tapi hasilnya
tidak pernah dibawa pulang. Dari tetangganya Yuli tahu kalau bapaknya berburu babi. Hasilnya dijual pada penadah.
Uang hasil berburu itu habis di meja judi. Kalau ada
yang mencicipi uang Bapak maka itu pasti si Jagat, burung murai kesayangannya. Untuk mendapatkan murai itu, Bapak merampas tabungan Emak, memecahkan celengan Yuli dan ditambah hutang
sana-sini. Beban hutang itu lagi-lagi dipikul Emak.
Saban hari si Jagat berkicau. Ribut minta ampun. Tidak peduli walau adik Yuli yang
berusia lima bulan sedang tidur. Tapi Bapak sangat menyukainya. Murai
itu dirawatnya
dengan telaten. Makan dan minumnya selalu dipantau. Emak diwajibkan menyediakan makanan khusus burung. Dan adik laki-laki Yuli mendapat
tugas mencari jangkrik
pabila sore.
Sering dia berhayal agar Emak menjadi wanita super atau istri yang galak. Bisa mengusir bapak dari rumah. Kan ini rumah peninggalan orang tua Emak. Atau setidaknya Bapak memiliki sedikit rasa
segan dan membantu
mencari nafkah. Namun sayang, Emak adalah Emak. Perempuan yang selalu memenuhi permintaan
suaminya. Atau mungkin juga seorang yang penakut. Seperti saat ini, Emak urung ke dapur. Mak bahkan tidak bereaksi ketika Bapak melemparkannya ke dipan tua di kamar
mereka. Sebelum
membanting pintu, Bapak masih sempat berteriak, “Yuli, pergilah ke kedai
si Upik. Hutang beras di sana. Katakan Emakmu pasti bayar kalau sudah punya uang!”
Yuli pun hanya diam. Rasa muak
memenuhi rongga dadanya.
Sembari menyuapi si bungsu dengan air putih, ia memeriksa lipatan pinggang roknya. Sepuluh ribu!
Uang pemberian Pak Toro semalam masih tersimpan dengan rapi. Ia bisa membeli
beras dan sedikit ikan asin.
* * *
Musim hujan nampaknya masih akan berlangsung. Jalanan becek di
mana-mana. Emak tidak bisa bekerja sebagaimana biasa. Pendapatan
Emak berkurang, amukan Bapak akan lebih hebat.
Yuli telah selesai berdandan. Ia memakai baju terbaik
yang dimilikinya. Baju lebaran dua tahun lalu. Memang tidak terlalu bagus. Namun
masih terlihat baru karena jarang dipakai.
Sore ini Yuli akan bertemu seseorang. Teman Pak Toro. Baru datang dari kota. Tetangganya itu meminta Yuli menemani sang tamu seperti ia menemaninya selama ini. Laki-laki itu akan memberinya uang yang banyak jika
dia bersikap manis.
Yuli tersenyum. Banyak uang! Lembar lima ribuan yang didapat
hampir tiap malam saja
rasanya sudah banyak. Terkadang Pak Toro memberinya uang lebih. Yuli pun selalu datang setiap kali dipanggil
walau harus
sembunyi-sembunyi. Ia tahu resikonya jika ia ketahuan. Bukan karena takut pada Bapak. Yuli tidak peduli padanya seperti
ketidakpedulian Bapak terhadapnya. Tapi ia tidak mau menyusahkan dan membuat malu
Emak. Ia cuma ingin membantu.
Jarak rumah mereka yang hanya satu setengah meter
memudahkan Yuli. Ia bisa merayap di samping rumah setiap malam dengan
leluasa. Di sana cuma ada rumah mereka berdua. Di sekelilingnya terdapat kebun pisang yang rimbun dan luas. Penerangannya pun
berasal dari lilin atau lampu minyak, Jadi tidak ada lampu di halaman. Tidak ada
yang akan melihatnya.
Yuli mengatur waktu dengan cermat. Ia akan kembali ke rumah sebelum Emak pulang. Setiap sore hingga malam Emak mencuci piring di kedai nasi di pasar. Bapak
selalu pulang larut malam. Di rumah, adik laki-laki Yuli bertugas menjaga si bungsu. Menyuapinya dengan air
tajin atau air putih jika dia menangis.
Terdengar suara wajan dipukul di halaman belakang. Yuli
melihat ke jendela. Pak Toro memandangnya sambil tersenyum.
“Bagaimana dengan adikmu?” Tanya Pak Toro begitu
mereka sampai di dapur.
“Mereka sedang tidur,”
Yuli mengikuti Pak Toro ke dalam rumah. Di sana
seorang laki-laki yang hampir sebaya dengan bapaknya telah menunggu. Laki-laki itu
tersenyum dan melambaikan tangan. Yuli melangkah pelan-pelan sambil menunduk.
Ia duduk tidak jauh dari laki-laki itu.
“Yuli, bawa ini nanti untuk adikmu,” Pak Toro
menunjukkan buah duku yang sedang disalinnya ke kantong kresek. Kemudian dia pergi. Teman Pak Toro, yang tidak diketahuinya
namanya tersebut, meraih tangannya. Meremasnya. Membelai rambutnya.
* * *
Yuli kembali memeriksa si Jagat. Murai itu benar-benar
telah kaku. Sudah seharian burung itu dikurungnya dalam kaleng
biskuit yang tertutup rapat. Ia mencurinya dari sangkar yang digantung Bapak di bawah atap dekat jendela. Yuli membiarkan
pintu sangkar itu terbuka seakan-akan burung itu terlepas tanpa sengaja. Si Jagat
dicurinya setelah Bapak memberinya makan. Mulut si Jagat diberinya plester.
Kakinya diikat. Kaleng
biskuit itu disimpan dalam kandang, di bawah lantai rumah mereka.
Walaupun si Jagat sudah jadi bangkai, Yuli tetap pada keinginannya
semula. Besok ia akan mencabut bulu murai itu sambil membayangkan tengah menguliti Bapak. Menggoreng burung itu dan menyuwir-nyuwir dagingnya
untuk dirinya, Emak dan adik-adiknya.
Dari tempatnya berada Yuli mendengar pintu dibanting.
“Argh! Kemana perginya murai itu?”
Itu suara Bapak. Disusul lengking tangis si bungsu. Yuli kembali
tersenyum sembari memasukkan bangkai si Jagat ke dalam kaleng. Lalu ia bergegas
ke dalam rumah. (Zech)
* * *
3 Februari 2012