Minggu, 16 Maret 2014

Di Bawah Sinar Lilin

Oleh : Zurnila Emhar Ch


Ketika Yuli mengendap-endap di belakang rumahnya, gelap benar-benar telah membungkus malam. Bulan sabit telah hilang ditelan awan hitam. Sepertinya bakal turun hujan seperti malam-malam sebelumnya.
Dengan hati-hati Yuli mendorong pintu dapur. Seperti biasa pintu ini tidak pernah dikunci pemilik rumah sebelum Yuli datang. Setelah masuk dia langsung  menguncinya.
Berbekal penerangan lilin, Yuli bisa bergerak dengan leluasa. Dia tidak perlu khawatir bakal tersandung atau menyenggol sesuatu. Dapur itu kecil, hanya berukuran satu setengah kali dua meter.
Seperti biasa, untuk memberitahu kedatangannya dan memastikan tidak ada tamu di dalam rumah, Yuli akan memukul wajan yang sengaja digantung di tiang dekat tungku. Setelah itu menunggu. Jika si tuan rumah sedang tidak ada tamu dia akan langsung datang.
Pun sekarang. Setelah bunyi wajan memantul, terdengar langkah-langkah berat mendekat. Kemudian muncul sosok tinggi besar yang hanya menggunakan singlet dan celana pendek dari balik selasar yang menghubungkan ruang utama dengan dapur. Di bawah sinar lilin Yuli melihat deretan rapi gigi sosok itu ketika tersenyum padanya.  
“Ayo!”
Sosok itu, Pak Toro menggamitnya. Yuli mendekat. Tanpa bicara sosok itu merangkulnya dan menuntunnya ke kamar.
Di luar, hujan mulai turun…
* * *
Lagi-lagi Emak hanya diam ketika Bapak memukul dan memakinya. Yuli tidak mengerti. Apakah memang harus seperti itu untuk menjadi seorang istri? Tidak boleh membantah, harus selalu menurut, dan tetap mematuhinya walau diperlakukan seperti binatang.
Sambil menahan isak, Emak melap air matanya.
“Mana?!” Bapak membentak sambil menjulurkan tangannya.
Masih tanpa suara, Emak mengeluarkan gulungan uang ribuan dari balik pakaiannya. Bapak merebutnya. Menghitung. Lalu menggeleng.
“Cuma segini?”
“Cuma segitu, Bang. Kemarin hujan seharian, tidak banyak yang bisa kukumpulkan.”
Emak bekerja serabutan untuk menopang kebutuhan keluarga. Beberapa hari belakangan ini Emak mengambil batu di kali. Agar dapat uang langsung, batu-batu itu dijual pada penampung per gerobak. Karena butuh waktu yang lama jika harus menunggu hingga batunya cukup satu truk. Tapi karena sekarang musim hujan, tidak banyak batu yang bisa dikumpulkan.
Bapak melangkah ke meja tua di sudut ruangan. Dia menyeruput kopi yang telah terhidang dari tadi. Emak bangkit. Mengencangkan sarungnya. Berjalan menuju pintu sambil menyanggul rambut kusutnya yang tergerai.
“Mau kemana, Kau?”
“Aku mau merebus ubi, Bang. Beras kita habis. Tidak ada yang bisa kita makan hari ini,”
“Ngutang saja sama si Upik.”
Emak hanya diam. Yuli mengerti. Emak sudah malu berhutang di sana. Mak Upik pun sudah enggan memberi pinjaman. Bahkan tidak jarang Mak Upik menitip pesan pada Yuli agar Emak segera membayar hutangnya yang menumpuk.
“Kau tidak perlu pergi ke kedai atau merebus ubi. Suruh saja Yuli!” Bapak memutar badannya. Dengan kasar ditariknya siku Emak. “Aku butuh kau. Kepalaku sakit.”
Emak terseok-seok mengikuti Bapak. Emak seperti kerbau dicucuk hidungnya. Padahal jika Emak mau menentang Bapak, dia bisa melakukannya. Selama ini Emak-lah yang mencari makan. Bukan Bapak! Laki-laki itu hanya tidur-tiduran atau duduk menghabiskan waktu di kedai. Tentunya main kartu sambil bertaruh. Sekali seminggu Bapak berburu bersama teman-temannya tapi hasilnya tidak pernah dibawa pulang. Dari tetangganya Yuli tahu kalau bapaknya berburu babi. Hasilnya dijual pada penadah.
Uang hasil berburu itu habis di meja judi. Kalau ada yang mencicipi uang Bapak maka itu pasti si Jagat, burung murai kesayangannya. Untuk mendapatkan murai itu, Bapak merampas tabungan Emak, memecahkan celengan Yuli dan ditambah hutang sana-sini. Beban hutang itu lagi-lagi dipikul Emak.
Saban hari si Jagat berkicau. Ribut minta ampun. Tidak peduli walau adik Yuli yang berusia lima bulan sedang tidur. Tapi Bapak sangat menyukainya. Murai itu dirawatnya dengan telaten. Makan dan minumnya selalu dipantau. Emak diwajibkan menyediakan makanan khusus burung. Dan adik laki-laki Yuli mendapat tugas mencari jangkrik pabila sore.
Sering dia berhayal agar Emak menjadi wanita super atau istri yang galak. Bisa mengusir bapak dari rumah. Kan ini rumah peninggalan orang tua Emak. Atau setidaknya Bapak memiliki sedikit rasa segan dan membantu mencari nafkah. Namun sayang, Emak adalah Emak. Perempuan yang selalu memenuhi permintaan suaminya. Atau mungkin juga seorang yang penakut. Seperti saat ini, Emak urung ke dapur. Mak bahkan tidak bereaksi ketika Bapak melemparkannya ke dipan tua di kamar mereka. Sebelum membanting pintu, Bapak masih sempat berteriak, “Yuli, pergilah ke kedai si Upik. Hutang beras di sana. Katakan Emakmu pasti bayar kalau sudah punya uang!”
Yuli pun hanya diam. Rasa muak memenuhi rongga dadanya. Sembari menyuapi si bungsu dengan air putih, ia memeriksa lipatan pinggang roknya. Sepuluh ribu! Uang pemberian Pak Toro semalam masih tersimpan dengan rapi. Ia bisa membeli beras dan sedikit ikan asin.
* * *
Musim hujan nampaknya masih akan berlangsung. Jalanan becek di mana-mana. Emak tidak bisa bekerja sebagaimana biasa. Pendapatan Emak berkurang, amukan Bapak akan lebih hebat.
Yuli telah selesai berdandan. Ia memakai baju terbaik yang dimilikinya. Baju lebaran dua tahun lalu. Memang tidak terlalu bagus. Namun masih terlihat baru karena jarang dipakai.
Sore ini Yuli akan bertemu seseorang. Teman Pak Toro. Baru datang dari kota. Tetangganya itu meminta Yuli menemani sang tamu seperti ia menemaninya selama ini. Laki-laki itu akan memberinya uang yang banyak jika dia bersikap manis.
Yuli tersenyum. Banyak uang! Lembar lima ribuan yang didapat hampir tiap malam saja rasanya sudah banyak. Terkadang Pak Toro memberinya uang lebih. Yuli pun selalu datang setiap kali dipanggil walau harus sembunyi-sembunyi. Ia tahu resikonya jika ia ketahuan. Bukan karena takut pada Bapak. Yuli tidak peduli padanya seperti ketidakpedulian Bapak terhadapnya. Tapi ia tidak mau menyusahkan dan membuat malu Emak. Ia cuma ingin membantu.
Jarak rumah mereka yang hanya satu setengah meter memudahkan Yuli. Ia bisa merayap di samping rumah setiap malam dengan leluasa. Di sana cuma ada rumah mereka berdua. Di sekelilingnya terdapat kebun pisang yang rimbun dan luas. Penerangannya pun berasal dari lilin atau lampu minyak, Jadi tidak ada lampu di halaman. Tidak ada yang akan melihatnya.
Yuli mengatur waktu dengan cermat. Ia akan kembali ke rumah sebelum Emak pulang. Setiap sore hingga malam Emak mencuci piring di kedai nasi di pasar. Bapak selalu pulang larut malam. Di rumah, adik laki-laki Yuli bertugas menjaga si bungsu. Menyuapinya dengan air tajin atau air putih jika dia menangis.
Terdengar suara wajan dipukul di halaman belakang. Yuli melihat ke jendela. Pak Toro memandangnya sambil tersenyum.
“Bagaimana dengan adikmu?” Tanya Pak Toro begitu mereka sampai di dapur.
“Mereka sedang tidur,”
Yuli mengikuti Pak Toro ke dalam rumah. Di sana seorang laki-laki yang hampir sebaya dengan bapaknya telah menunggu. Laki-laki itu tersenyum dan melambaikan tangan. Yuli melangkah pelan-pelan sambil menunduk. Ia duduk tidak jauh dari laki-laki itu.
“Yuli, bawa ini nanti untuk adikmu,” Pak Toro menunjukkan buah duku yang sedang disalinnya ke kantong kresek. Kemudian dia pergi. Teman Pak Toro, yang tidak diketahuinya namanya tersebut, meraih tangannya. Meremasnya. Membelai rambutnya.
* * *
Yuli kembali memeriksa si Jagat. Murai itu benar-benar telah kaku. Sudah seharian burung itu dikurungnya dalam kaleng biskuit yang tertutup rapat. Ia mencurinya dari sangkar yang digantung Bapak di bawah atap dekat jendela. Yuli membiarkan pintu sangkar itu terbuka seakan-akan burung itu terlepas tanpa sengaja. Si Jagat dicurinya setelah Bapak memberinya makan. Mulut si Jagat diberinya plester. Kakinya diikat. Kaleng biskuit itu disimpan dalam kandang, di bawah lantai rumah mereka.
Walaupun si Jagat sudah jadi bangkai, Yuli tetap pada keinginannya semula.  Besok ia akan mencabut bulu murai itu sambil membayangkan tengah menguliti Bapak. Menggoreng burung itu dan menyuwir-nyuwir dagingnya untuk dirinya, Emak dan adik-adiknya.
Dari tempatnya berada Yuli mendengar pintu dibanting.
Argh! Kemana perginya murai itu?”
Itu suara Bapak. Disusul lengking tangis si bungsu. Yuli kembali tersenyum sembari memasukkan bangkai si Jagat ke dalam kaleng. Lalu ia bergegas ke dalam rumah. (Zech)
* * *
3 Februari 2012

Dimuat Haluan, 19 Mei 2013
bisa dilihat di sini



Tidak ada komentar:

Posting Komentar