Oleh : Zurnila Emhar Ch
Dua jam lebih Kania duduk di belakang kaca pembatas tempat penitipan
anak-anak itu. Dengan seksama diperhatikannya tingkah polah mereka. Sesekali
dia turut tersenyum.
Kania tidak pernah bosan mendatangi tempat bermain anak-anak
tersebut. Selain tempatnya yang dekat dengan sanggar tempat dia sehari-hari
beraktivitas, pemandangan yang selalu ceria itu juga senantiasa menghidupkan
kembali kenangan masa kecilnya. Dia juga pernah melewati saat-saat indah
seperti itu; tertawa bersama, bertengkar, juga saling lempar. Persis seperti
anak-anak itu.
Di antara anak-anak itu ada yang sibuk saling lempar bola, membaca
atau sekedar melihat-melihat gambar. Dan Kania menemukan
dirinya di sana,
di antara anak laki-laki dan perempuan yang sibuk menggambar. Dia turut
mencoret kuas ke buku gambar itu. Menata warna-warna agar serasi. Kania tidak cuma
bersama anak-anak itu. Ada
seorang laki-laki dewasa di samping Kania. Mereka sama berebut memainkan
kuasnya. Sesekali mereka tertawa, saling coret dan saling dorong. Ah, Kania
senang sekali.
Setelah puas main coret-coret dan membersihkan diri, mereka keluar
dari tempat itu. Mereka menuju sanggar tempat Kania biasa melukis. Di sana mereka
berbincang-bincang tentang karyanya yang berjejer rapi di dinding. Mencoba
melihat lukisan-lukisan itu dari sisi yang berbeda. Berdiskusi,
berbantah-bantahan, saling melotot dan kemudian manggut-manggut.
Kania rindu sosok itu. Rindu saat-saat mereka masih anak-anak dan
berebutan menggambar. Menggambar apa saja. Paling sering menggambar alam. Ada gunung yang berdiri
menantang, sungai yang mengalir, pohon pisang yang lagi berbuah dan kayu-kayu
yang berdaun rimbun, juga padi-padi yang menguning. Sebagai anak petani, kadang
mereka menggambar sawah yang membentang dengan pondok kecil di tengah pesawahan
dan kerbau-kerbau yang sibuk membajak.
“Kak, ini gambar apa?” seorang anak kecil perempuan menggoyangkan
tangannya. Membuyarkan bayang masa lalu. Di samping anak kecil perempuan itu
ada anak laki-laki kecil yang berujar, “Sapi kan, Kak?” Kania tersenyum,”Ini gambar
kerbau. Ini tanduknya. Besar, melingkar. Kalau sapi yang ini,”
Kedua anak kecil itu berlalu. Masih dengan celoteh mereka. Antoni di mana kamu sekarang? Kania
membathin.
* * *
“Nia, bagaimana dengan persiapannya?
Semua oke kan?”
Sisi mendatangi Kania sambil memeluk map yang bertumpuk-tumpuk.
“Insya Allah semua beres. Kita tinggal menunggu waktunya aja,”
“Tapi kamu kok masih melukis?”
“Hmm… daripada melongo, Si,”
“Oke. Aku pergi dulu ya.” Sisi berlalu tanpa menunggu jawaban dari
Kania.
Kania kembali menekuni pekerjaannya. Ia sibuk memadu warna-warna cat
untuk mendapatkan hasil yang diinginkannya. Andai Antoni ada di sini. Tentu dia
senang melihat Kania yang sudah bisa melukis. Bahkan besok Kania akan ikut pameran.
Lima lukisannya
akan dipamerkan. Sayang Antoni tidak ada. Padahal dialah dulu yang mengajari
Kania melukis.
Sambil mencoret-coret kanvasnya, Kania berusaha mengingat-ingat lagi
seperti apa rupa Antoni saat terakhir mereka bertemu. Perawakan yang tinggi dan
besar dengan wajah yang bulat, dan rambut yang acak-acakan. Dan tangannya yang
kekar, selalu melindungi Kania dari gangguan teman laki-laki yang lain. Antoni
yang gemar bermain kasti dan takraw tetaplah jago dalam urusan gambar-menggambar.
Kania tersenyum ketika dia ingat saat pertama Antoni jatuh cinta.
Antoni datang padanya dengan gusar. Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak
gatal, Antoni bercerita padanya kalau dia menyukai Dewi, teman sekelas mereka.
Kania kaget dan tidak percaya. Antoni memang susah ditebak. Naksir Dewi? Aneh!
Mereka kan
sering berantem.
“Aku menyayangimu, karenanya aku tidak bisa pacaran denganmu. Aku
tidak mau kehilangan seorang sahabat. Tapi tiba-tiba saja aku menyukainya. Dan
aku ingin pacaran dengannya. Tolong karang sebuah surat cinta untukku, ya.”
Kania dan Antoni bukan saudara. Mereka satu sekolah semenjak SD
sampai Tsanawiyah. Mungkin itu yang
membuat mereka dekat. Namun, semenjak tamat Tsanawiyah,
sepuluh tahun yang lalu, mereka tidak pernah lagi bertemu. Antoni hilang bagai
ditelan bumi. Kania sudah mencari tahu keberadaannya, bertanya pada teman-teman
sekolahnya dulu yang mengenal Antoni. Namun hasilnya nihil. Antoni lenyap.
Rumahnya kosong. Keluarganya pindah setelah Antoni menggambil ijazah
Tsanawiyah. Kania kehilangan. Hari-harinya mulai sunyi. Antoni benar-benar
susah ditebak. Pergi pun tanpa pamit.
Pernah Kania bersahabat lagi dengan laki-laki setelah itu. Tapi ia
tidak seperti Antoni. Orangnya cuek, mau menang sendiri, angin-anginan. Dan
banyak lagi tingkahnya yang tidak Kania sukai. Tapi karena mereka sama-sama
hobi membaca dan diskusi, Kania belajar untuk memahami. Ia menyadari manusia
memiliki karakter yang berbeda-beda.
Namun kenyataan pahit itu kembali terjadi. Setelah tamat Aliyah,
temannya menghilang tanpa sepatah kata pun. Terakhir kali bertemu, Kania melihatnya
tengah memeluk seorang cewek yang besandar manja padanya. Dan dia hanya
mengepulkan asap rokoknya ketika Kania menyapa.
Rindu pada Antoni kembali menggigit. Seperti apakah dia sekarang?
Tinggi? Pendek? Hitam? Atau masih putih seperti dulu? Kania sangat ingin
bertemu. Masihkah Antoni senang melukis? Masihkah Antoni ingat janjinya untuk
Kania?
Kania tidak lagi peduli dengan janji itu. Jika dia boleh meminta dia
hanya ingin bertemu Antoni sekali lagi. Kania ingin memberikan lukisan terbaik
hasil karyanya. Kania ingin Antoni tahu kalau dia tidak pernah lupa pada
persahabatan mereka. Kania menekuni lukisan sebagai bagian untuk menghidupkan
kenangan persahabatan mereka. Bukankah Antoni yang pertama mengenalkannya pada
dunia lukis-melukis?!
Lukisan Kania yang pertama kali selesai sewaktu mereka masih SD. Tak
begitu bagus. Warnanya pun acak-acakan. Tapi Antoni memujinya. “Suatu saat kita
akan menjadi pelukis,” katanya.
Namun lukisan pertama itu malah hancur sebelum Antoni sempat memberi
bingkai untuk Kania. Lukisan itu dihancurkan oleh teman sekelas yang jahil.
Mereka kompak mengolok-oloknya, merobek dan meninggalkan Kania menangis
sendirian.
Melihat lukisan Kania yang rusak, Antoni segera mencari teman-temannya
yang menjahili Kania. Antoni tidak terima perlakuan mereka pada Kania. Kania
tidak bisa mencegah. Antoni berkelahi. Ia kembali ke kelas dengan kepala
berdarah. Kania menjerit tidak karuan. Ia takut darah. Setelah memberikan
sebuah sapu tangan handuk, Kania lari ke ruang majlis guru.
* * *
“Kania! Ada
yang mau ketemu!”
“Siapa, Si?” Kania tidak meninggalkan lukisan yang tengah
dipandanginya. “Kayaknya peminat lukisan kamu,”
Kania melangkah ke arah yang ditunjuk Sisi. Tidak sulit menemukan
orang yang dimaksud Sisi karena pengunjung pameran sudah banyak yang pulang.
Orang yang dimaksud tengah membelakanginya. Memandang lukisan wajah Antoni.
“Maaf, saya Kania. Yang melukis lukisan ini.” Kania memperkenalkan
diri. Perempuan yang sedari tadi menunggunya tersenyum dan mengulurkan tangan.
“Saya Ratna. Saya tertarik pada lukisan ini. Saya ingin membelinya,”
“Maaf, Kak. Khusus yang satu ini tidak saya jual.”
“Kenapa?”
Kania mulai menceritakan tentang lukisan tersebut. Pada awalnya
perempuan itu menyimak dengan baik. Namun semakin panjang uraian Kania,
perempuan itu mulai senyum-senyum. Kania mulai merasa tidak nyaman.
“Jadi ini lukisan seorang sahabat?”
“Bisa dibilang begitu?”
“Untuk apa anda menghidupkan kenangan akan seorang sahabat jika anda
sendiri tidak yakin dia masih mengingat anda?”
“Saya tidak pernah meminta syarat dari setiap kenangan yang saya
hidupkan,”
Perempuan itu manggut-manggut. Setelah minta nomor Hp Kania dia
pamit pulang. “Suatu saat saya pasti akan menghubungi anda,” ujarnya.
* * *
Sebelum pulang dari sanggarnya, Kania kembali menyempatkan diri
mengunjungi tempat penitipan anak yang bertetanggaan dengan sanggarnya. Ruangan
yang biasanya dijadikan ruang bermain kosong. Tidak ada aktivitas menggambar di
sana. Namun dia
tetap bisa menemukan dirinya dan Antoni di ruangan itu. Antoni tengah mengamati
lukisan wajahnya yang dibuat Kania.
“Aku ingin memilikinya.”
“Ini untuk koleksiku. Aku tidak mau menyerahkannya padamu,”
“Untuk apa? Bukankah lebih baik diserahkan pada orang yang punya
wajah?” Antoni mengerutkan keningnya.
“Untuk menghidupkan kenangan persahabatan kita jika kamu pergi
lagi,”
“Takut kehilangan aku ya?”
“Tidak sama sekali. Kamu berhak untuk pergi kemanapun kamu mau. Tapi
aku tidak mau melupakan janjiku untuk terus melukis. Dan lukisanmu akan
menyaksikan bahwa aku memenuhi janjiku.”
“Berarti keinginanmu untuk melukis belum lahir dari hatimu. Kamu
melukis hanya untuk memenuhi janji padaku,”
Mereka kembali berdebat. Akhirnya, “Aku rasa aku lapar,” ujar
Antoni.
Kania tersenyum. Dia yakin jika Antoni benar-benar ada di sini dan
berdebat dengannya pasti kemudian dia akan mengeluhkan lapar. Dan mereka akan mencari
sesuatu untuk mengisi perutnya. Sewaktu sekolah dulu, mereka akan langsung
mendatangi kedai Tek Jas.
”Persahabatan bagai
kepompong / mengubah ulat menjadi kupu-kupu…”
Hp Kania berdering. Di layarnya terpampang nomor yang tak
dikenalnya. Namun dia tetap mengangkatnya.Ternyata Ratna! Perempuan itu ingin
bertemu dengannya. Setelah membuat janji, Kania langsung pulang.
* * *
Pertemuan antara Kania dan Ratna berlangsung di sanggar. Ratna
datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Dia datang bersama sepupunya. Sebelum
Kania datang mereka telah melihat lukisan Antoni yang tergantung di dinding
sanggar.
Sewaktu melihat Kania, Ratna mendatanginya sendirian. Dia kembali
menawar lukisan Antoni. Tapi Kania masih menggeleng. “Saya ingin menghadiahkan
lukisan itu untuk seseorang,” kata Ratna.
“Tapi bagi saya lukisan itu juga untuk seseorang,”
“Maukah anda saya kenalkan dengan seseorang yang sangat menyukai
lukisan itu?”
“Siapa?” Kania sedikit jengah dengan sikap tamunya yang cendrung
memaksa.
Seseorang mendekati mereka. “Dia
sangat tertarik pada lukisan anda,” ujar Ratna.
Perawakannya tinggi besar. Dia
memakai celana jeans dan kaos berkrah. Kulitnya putih. Tetapi Kania tidak bisa
melihat wajah laki-laki itu dengan jelas. Dia memakai topi pet yang menutupi
sebagian wajahnya. Namun jantung Kania mulai
berdetak kencang.
“Ini saudara sepupu saya. Namanya…”
Belum selesai Ratna berucap, laki-laki itu mengulurkan tangannya
seraya membuka topi petnya. “Lama
tidak bertemu, Kania,”
Mata Kania membulat. Dia yakin penglihatannya tidak salah. Wajah dan
lukisan itu sangat mirip…
“Antoni…?!”
* * *
Pekanbaru, April 2009
Dimuat Haluan, 25 Mei 2014