Rabu, 11 Juni 2014

Jilbab, Sebuah Identitas Khas



                                 Judul buku            :  Biarkan Hijabku Berkibar
Penulis                   :  Tazkia Fatimah, Annisa Fitriani, dkk
Tahun terbit           : November 2013
Penerbit                 :  Oase Qalbu
Jumlah halaman     :  190  halaman




SEBUAH IDENTITAS
Memang tidak mudah memutuskan berjilbab bagi sebagian perempuan muslim, apalagi istiqamah memakainya. Banyak alasan menyembul ke permukaan yang membuat ragu seorang muslimah dalam mengambil keputusan. Mulai dari cemoohan orang-orang di sekitar, merasa kurang cantik, takut tidak mendapat pekerjaan yang diidamkan, takut tidak bisa menjaga sikap dan perkataan.
Dalam masyarakat, muslimah yang berjilbab kerap dianggap ‘lebih’ daripada yang tidak berjilbab. Padahal memakai jilbab bukan berarti bersih dari dosa dan lebih baik daripada orang lain.
Mengenai hal ini, Saptandia Wulan Cahyaning Lestari mengatakan, jilbab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda. Berjilbab murni karena perintah Allah. Wajib bagi semua wanita muslim yang telah baligh tanpa memandang akhlak baik atau buruk. Sedangkan akhlak adalah budi pekerti yang bergantung pada pribadi masing-masing. Jika seorang wanita berjilbab melakukan dosa atau pelanggaran itu bukan karena jilbabnya, namun karena akhlaknya. (hal. 25)
Dalam surat Al Ahzab ayat 59 Allah berfirman; “Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu...”
Ayat tersebut menyebutkan tujuan yang jelas dari jilbab itu sendiri; agar dikenali dan tidak diganggu. Jilbab adalah sebuah identitas. Yang dimaksud jilbab di sini adalah pakaian yang lapang, dapat menutup kepala, muka dan dada. Annisa Fitriani, 18 tahun, membuktikan kebenaran ayat tersebut dalam perjalanannya ke Rusia.
Annisa datang ke Rusia untuk mengikuti perlombaan penelitian tingkat internasional. Kedatangannya di bandara bukanlah awal yang menyenangkan. Dia harus berurusan dengan pegawai polisi dalam pemeriksaaan khusus. Sebelumnya pembimbingnya sudah menyarankannya untuk buka jilbab untuk cari aman, namun Annisa kukuh memakainya.
Di Moscow State University, pilihannya untuk tetap memakai jilbab terbukti tidak salah. Ketika acara makan siang dan semua orang menuju ruangan tempat makan, Annisa diajak ke ruangan yang terpisah oleh seorang pelayan. Di ruangan itu dia dibawa ke sebuah meja yang di atasnya terdapat tulisan “for moslem only”. Sang pelayan menjelaskan; mereka menyediakan makanan khusus muslim dan mereka menandai peserta muslim dari jilbabnya.
Pada hari berikutnya, khusus hari santai, panitia mengadakan acara dansa dan disco. Yang mereka maksud dansa adalah tarian-tarian daerah. Menjelang usai acara, peserta diminta membentuk dua lingkaran. Lingkaran bagian dalam terdiri dari sesama perempuan. Lingkaran luar diisi peserta laki-laki. Mereka saling bergandeng tangan dan berlari berputar dengan arah yang berlawanan, mengikuti lagu yang dinyanyikan. Di sini permainan dimulai tanpa pemberitahuan sebelumnya. Seorang peserta laki-laki diminta mengalungkan selendang pada peserta perempuan yang diinginkannya. Lalu mereka bersimpuh dalam lingkaran dan berciuman. Begitulah seterusnya. Sedang yang belum terpilih tetap meneruskan dansa.   
Sampailah pada giliran Annisa, seorang laki-laki mendekat padanya. Membuatnya berkeringat dingin, dia mencoba untuk mengusir laki-laki tersebut dan berniat kabur dari barisan. Namun sebelum laki-laki itu mencapainya, lagu berhenti. Permainan usai.
Waktu istirahat seorang peserta dari Belanda menghampirinya dan berkata; “Hey, kamu, saya tadi sudah hampir memilih kamu lho. Tapi saya lihat kamu benar-benar tidak enjoy dengan permainannya, dan kamu juga memakai penutup kepala seperti yang di Arab-Arab sana. Jadi kupikir kamu pasti tak mau melakukan permainan itu. Makanya saya memilih perempuan lain.” (hal. 148)
Annisa selamat.
Dalam perjalanan pulangnya menuju tanah air, Annisa singgah di Jerman dan menemukan McD di sana. Ketika hendak memesan burger dan minuman, sang pelayan memperhatikannya dan berujar; “Maaf, burger kami terbuat dari babi. Anda muslim kan? Saya bisa memberi Anda ayam jika Anda mau. Atau tunggu sebentar, saya akan memasakkan daging untuk Anda.” (hal. 150)
Lagi-lagi Annisa selamat.
Sebuah anggapan yang dilontarkan kaum feminis radikal menyebutkan hijab dan pakaian longgar hanya akan menyebabkan perempuan muslim kesulitan berkontribusi dalam masyarakat. Bila ke luar rumah mereka harus sembunyi-sembunyi. Dan suara mereka hanya bergaung dalam kepalanya sendiri tanpa didengar siapapun.
Untuk membantah hal ini, Tazkia Fatimah, 21 tahun, mengikuti Global March to Jerussalem beberapa waktu lalu. Bersama ratusan peserta dari negara Asia, dia mengadakan perjalanan darat melintasi Pakistan – Iran – Turki – Lebanon dan berakhir di Jordan. Di bandara Soekarno-Hatta, dia dilepas oleh ayah, ibu dan anggota keluarga lainnya.
Di sana, Tazkia sering diminta mewakili delegasi Indonesia untuk wawancara. Di setiap kesempatan dia selalu menunjukkan identitasnya sebagai muslimah dari Indonesia. Tazkia  mengatakan; jilbab menjulur dari dari kepala hingga dada hanya untuk menutup leher dan dada mereka, bukan otaknya. Para muslimah tidak perlu menonjolkan dada dan lekuk tubuhnya agar suaranya didengar dan kontribusinya diakui.
Buku ini berisi sekumpulan kisah muslimah (kebanyakan berusia muda) yang berusaha mendekatkan diri pada-Nya. Istiqamah berhijab sebagai bukti taat pada rabnya sambil terus berkiprah dan menunjukkan prestasi. Mereka telah membuktikan bahwa hijab bukan penghalang. Mereka menunjukkan bahwa dengan jilbabnya mereka mampu bersaing di dunia kerja, berprestasi di kancah nasional maupun internasional.
Masing-masing penulis bertutur dengan gayanya masing-masing. Tiap kisah memiliki kekuatannya sendiri. Ada yang dengan jujur mengurai alasannya memakai hijab; mulai dari menghormati norma daerah, peraturan sekolah, alasan keamanan hingga kesadaran diri sebagai makhluk. Kisah-kisah ini akan membuat kita tersenyum dan kadang terharu membacanya. Sangat inspiratif.
Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai pelajar, mahasiswa, wartawan, dokter, pemandu wisata, guru, dalang, penari dan pengabdi masyarakat. Ragam bahasa dengan berbagai latar belakang tersebut membuat buku ini menarik untuk dibaca, dinikmati dan direnungkan tentunya.***

*Dimuat Koran Riau Pos, 6 April 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar