Judul buku : Biarkan
Hijabku Berkibar
Penulis : Tazkia Fatimah, Annisa Fitriani, dkk
Tahun terbit : November
2013
Penerbit : Oase Qalbu
Jumlah halaman : 190 halaman
SEBUAH IDENTITAS
Memang tidak mudah memutuskan berjilbab
bagi sebagian perempuan muslim, apalagi istiqamah memakainya. Banyak alasan
menyembul ke permukaan yang membuat ragu seorang muslimah dalam mengambil
keputusan. Mulai dari cemoohan orang-orang di sekitar, merasa kurang cantik,
takut tidak mendapat pekerjaan yang diidamkan, takut tidak bisa menjaga sikap
dan perkataan.
Dalam masyarakat, muslimah yang
berjilbab kerap dianggap ‘lebih’ daripada yang tidak berjilbab. Padahal memakai
jilbab bukan berarti bersih dari dosa dan lebih baik daripada orang lain.
Mengenai hal ini, Saptandia Wulan
Cahyaning Lestari mengatakan, jilbab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda.
Berjilbab murni karena perintah Allah. Wajib bagi semua wanita muslim yang
telah baligh tanpa memandang akhlak baik atau buruk. Sedangkan akhlak adalah
budi pekerti yang bergantung pada pribadi masing-masing. Jika seorang wanita
berjilbab melakukan dosa atau pelanggaran itu bukan karena jilbabnya, namun
karena akhlaknya. (hal. 25)
Dalam surat Al Ahzab ayat 59 Allah
berfirman; “Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.” yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu...”
Ayat tersebut menyebutkan tujuan
yang jelas dari jilbab itu sendiri; agar dikenali dan tidak diganggu. Jilbab
adalah sebuah identitas. Yang dimaksud jilbab di sini adalah pakaian yang
lapang, dapat menutup kepala, muka dan dada. Annisa Fitriani, 18 tahun,
membuktikan kebenaran ayat tersebut dalam perjalanannya ke Rusia.
Annisa datang ke Rusia untuk
mengikuti perlombaan penelitian tingkat internasional. Kedatangannya di bandara
bukanlah awal yang menyenangkan. Dia harus berurusan dengan pegawai polisi
dalam pemeriksaaan khusus. Sebelumnya pembimbingnya sudah menyarankannya untuk
buka jilbab untuk cari aman, namun Annisa kukuh memakainya.
Di Moscow State University, pilihannya
untuk tetap memakai jilbab terbukti tidak salah. Ketika acara makan siang dan
semua orang menuju ruangan tempat makan, Annisa diajak ke ruangan yang terpisah
oleh seorang pelayan. Di ruangan itu dia dibawa ke sebuah meja yang di atasnya
terdapat tulisan “for moslem only”. Sang pelayan menjelaskan; mereka
menyediakan makanan khusus muslim dan mereka menandai peserta muslim dari
jilbabnya.
Pada hari berikutnya, khusus hari
santai, panitia mengadakan acara dansa dan disco. Yang mereka maksud dansa
adalah tarian-tarian daerah. Menjelang usai acara, peserta diminta membentuk
dua lingkaran. Lingkaran bagian dalam terdiri dari sesama perempuan. Lingkaran
luar diisi peserta laki-laki. Mereka saling bergandeng tangan dan berlari
berputar dengan arah yang berlawanan, mengikuti lagu yang dinyanyikan. Di sini
permainan dimulai tanpa pemberitahuan sebelumnya. Seorang peserta laki-laki
diminta mengalungkan selendang pada peserta perempuan yang diinginkannya. Lalu
mereka bersimpuh dalam lingkaran dan berciuman. Begitulah seterusnya. Sedang
yang belum terpilih tetap meneruskan dansa.
Sampailah pada giliran Annisa,
seorang laki-laki mendekat padanya. Membuatnya berkeringat dingin, dia mencoba
untuk mengusir laki-laki tersebut dan berniat kabur dari barisan. Namun sebelum
laki-laki itu mencapainya, lagu berhenti. Permainan usai.
Waktu istirahat seorang peserta
dari Belanda menghampirinya dan berkata; “Hey, kamu, saya tadi sudah hampir
memilih kamu lho. Tapi saya lihat kamu benar-benar tidak enjoy dengan
permainannya, dan kamu juga memakai penutup kepala seperti yang di Arab-Arab
sana. Jadi kupikir kamu pasti tak mau melakukan permainan itu. Makanya saya
memilih perempuan lain.” (hal. 148)
Annisa selamat.
Dalam perjalanan pulangnya menuju
tanah air, Annisa singgah di Jerman dan menemukan McD di sana. Ketika hendak
memesan burger dan minuman, sang pelayan memperhatikannya dan berujar; “Maaf,
burger kami terbuat dari babi. Anda muslim kan? Saya bisa memberi Anda ayam
jika Anda mau. Atau tunggu sebentar, saya akan memasakkan daging untuk Anda.”
(hal. 150)
Lagi-lagi Annisa selamat.
Sebuah anggapan yang dilontarkan
kaum feminis radikal menyebutkan hijab dan pakaian longgar hanya akan
menyebabkan perempuan muslim kesulitan berkontribusi dalam masyarakat. Bila ke
luar rumah mereka harus sembunyi-sembunyi. Dan suara mereka hanya bergaung
dalam kepalanya sendiri tanpa didengar siapapun.
Untuk membantah hal ini, Tazkia
Fatimah, 21 tahun, mengikuti Global March to Jerussalem beberapa waktu lalu.
Bersama ratusan peserta dari negara Asia, dia mengadakan perjalanan darat
melintasi Pakistan – Iran – Turki – Lebanon dan berakhir di Jordan. Di bandara
Soekarno-Hatta, dia dilepas oleh ayah, ibu dan anggota keluarga lainnya.
Di sana, Tazkia sering diminta
mewakili delegasi Indonesia untuk wawancara. Di setiap kesempatan dia selalu
menunjukkan identitasnya sebagai muslimah dari Indonesia. Tazkia mengatakan; jilbab menjulur dari dari kepala
hingga dada hanya untuk menutup leher dan dada mereka, bukan otaknya. Para
muslimah tidak perlu menonjolkan dada dan lekuk tubuhnya agar suaranya didengar
dan kontribusinya diakui.
Buku ini berisi sekumpulan kisah
muslimah (kebanyakan berusia muda) yang berusaha mendekatkan diri pada-Nya.
Istiqamah berhijab sebagai bukti taat pada rabnya sambil terus berkiprah dan
menunjukkan prestasi. Mereka telah membuktikan bahwa hijab bukan penghalang.
Mereka menunjukkan bahwa dengan jilbabnya mereka mampu bersaing di dunia kerja,
berprestasi di kancah nasional maupun internasional.
Masing-masing penulis bertutur
dengan gayanya masing-masing. Tiap kisah memiliki kekuatannya sendiri. Ada yang
dengan jujur mengurai alasannya memakai hijab; mulai dari menghormati norma
daerah, peraturan sekolah, alasan keamanan hingga kesadaran diri sebagai
makhluk. Kisah-kisah ini akan membuat kita tersenyum dan kadang terharu
membacanya. Sangat inspiratif.
Di antara mereka ada yang
berprofesi sebagai pelajar, mahasiswa, wartawan, dokter, pemandu wisata, guru,
dalang, penari dan pengabdi masyarakat. Ragam bahasa dengan berbagai latar
belakang tersebut membuat buku ini menarik untuk dibaca, dinikmati dan
direnungkan tentunya.***
*Dimuat Koran Riau Pos, 6 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar