Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Ulasan ini saya tujukan untuk mengikuti Lomba
Review Novel (Bukan) Salah Waktu yang diadakan Mbak Nastiti Denny, Kampung
Fiksi dan Penerbit Bentang. Semula ulasan ini berjumlah lebih dari 1.100 kata.
Berhubung peraturan lombanya maksimal
500 kata, jadi dengan susah payah saya pangkas separohnya. Saya tahu, untuk
mengikuti sebuah lomba, pesertanya harus mematuhi peraturan. Inilah hasilnya, 499 kata di luar data buku.
============================================================
============================================================
Penulis : Nastiti Denny
Tahun terbit :
Desember 2013
Penerbit : Bentang
Jumlah halaman : 248 halaman
ISBN : 978-602-7888-94-4
LUKA DARI MASA LALU
Sekar memutuskan meninggalkan pekerjaannya agar fokus pada keluarga. Namun rumah tangga yang semula tenang mulai terusik dengan
kemunculan Bram. Darinya, Sekar tahu kalau Prabu, suaminya, telah memiliki anak dari Laras (hal. 76).
Tidak ingin rumah
tangganya berantakan, Sekar mencoba tenang. Dia sadar dirinya juga merahasiakan
kondisi keluarganya. Sekar tidak
ingin kekahawatiran mertuanya menjadi kenyataan. Seandainya mertuanya tahu
orang tuanya sudah bercerai, pasti dulu mereka
menolaknya sebagai menantu.
Prabu sendiri baru
mengetahui kalau dia telah menjadi
ayah, saat meeting di
Bogor (hal. 101). Masalah makin pelik karena Laras
dan Bram kembali untuk menghancurkan keluarganya. Menurut Laras ayah Prabu adalah penyebab kehancuran
keluarganya. Jabatan ayah Prabu di dinas pertanahan sebelas tahun lalu telah
membuat usaha ayah Laras bangkrut hingga ayahnya
depresi dan gantung
diri.
“Karena ayahmu, ayahku
memutuskan meninggalkan aku, ibuku dan adikku. Membuat hidup kami terpuruk
(hal. 106).
Kilas
balik masa lalu tokoh utama menjadi
kekuatan alur novel ini. Namun
kemunculan Laras dan Bram yang sebenarnya merupakan konflik utama justru tidak
terasa imbasnya pada rumah tangga Sekar dan Prabu. Kenyataan bahwa Sekar anak
pungut juga tidak memberi efek apapun (hal.
158).
Konflik yang seharusnya menguatkan tema terasa kurang berhasil dibangun
penulis.
Ada beberapa hal yang ganjil dalam novel
ini.
Pertama, Prabu dan Sekar berpisah
selama tiga minggu tanpa komunikasi. Prabu bergelut
dengan masa lalunya, Sekar sibuk merawat mamanya. Tidak ada pembicaraan tentang masalah yang menghampiri
mereka. Pun ketika Prabu menunjukkan tes DNA Wira kepadanya, emosi Sekar sebagai istri tidak keluar.
“Aku
membebaskanmu untuk memilih. Aku tak berhak memaksamu untuk tetap tinggal
bersamaku.” Suara Prabu terdengar parau.
“Kau
akan menikahi Laras?” ujar Sekar lirih.
“Belum
tahu,” jawab Prabu singkat. (hal. 193)
Kedua, bagaimana
mungkin Prabu tidak mengetahui perceraian
mertuanya? Sedangkan Sekar
memiliki trauma dari masa lalunya yang sering menjadi mimpi buruk. Kenapa Prabu tidak bertanya ketika mendapati Sekar meringkuk di celah antara dinding dan lemari?
Ketiga, Bram jatuh
cinta pada Sekar sejak pandangan
pertama? Dan Laras menghilang
setelah tes DNA. Bram dan Laras tersadar begitu cepat sebelum
pembaca benar-benar merasakan peran mereka. Keduanya kehilangan tujuan.
Karakter
Sekar yang kuat tidak seimbang dengan karakter Prabu. Kecanggungnya Sekar di awal berhenti kerja, bisa
dipahaminya. Namun, Prabu hanya mengedikkan bahu ketika dia tidak
memenuhi janji makan pepes buatan Sekar selama tiga hari (hal. 19). Juga tidak ada kegembiraan ketika
tahu Sekar hamil. Notes-notes
yang ditulisnya seakan
tempelan belaka.
Karakter
Bu Yani malah lebih
kuat. Ketidakpeduliannya sebagai
ibu berimbas
pada trauma yang terus menghantui Sekar.
Keseluruhan
setting dan alur novel ini bagus. Hanya konfliknya kurang terasa. Klimaknya tidak jelas. Tawaran kerja ke Singapura
dan ke Afrika juga tak
berkeputusan. Sampulnya pun terkesan ceria untuk tema yang diangkat.
Sedangkan blurb-nya serius. Namun, ketika waktu bergulir tanpa bisa
dibendung... kurasa
aku tak sanggup, Sayang... Sampul, blurb
dan konflik seperti tidak sinkron.
Di luar semua itu, pesan novel ini jelas; berdamailah dengan masa lalu dan jujurlah
pada pasangan hidupmu.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar