Oleh: Zurnila Emhar Ch
Sumi
masih terus memegangi handuk kecil yang ditempelkan di kening Rani, anaknya
yang berusia empat tahun. Udara yang panas membuat Sumi harus rajin membasahi handuk
itu dengan air yang ada dalam botol mineral yang dipegangnya. Udara telah
membuat handuk itu kering dangan cepat.
Sudah
hampir satu jam Sumi duduk dalam bus ini sambil menggendong Rani. Bahkan
kakinya sudah mulai kram. Namun dia mencoba bertahan. Dia harus kuat
menggendong Rani hingga mereka sampai di kampungnya. Itu artinya dia harus
menggendong Rani selama sebelas jam. Sebelas jam! Mau apalagi?! Uangnya hanya
cukup untuk membeli satu tiket. Salim tidak memberinya uang. Walau sekedar
untuk beli minum di jalan.
Sebenarnya
Sumi malu untuk pulang kampung. Kepergiannya ke rantau adalah pelarian. Emak
dan Bapak yang tidak merestui hubungannya dengan Salim memberinya pilihan;
menolak lamaran Salim dan tetap menjadi anak mereka atau menerima lamaran Salim
dan keluar dari rumah. Sumi memilih yang kedua. Dia yakin dia bisa menaklukan
rantau bersama Salim. Seperti Laila, tetangganya. Sejak menikah dan tinggal di
rantau, kehidupan Laila semakin baik. Setiap pulang kampung, penampilan Laila
selalu membuat orang kampung iri, termasuk Sumi. Alangkah beruntungnya Laila
dapat suami seorang pedagang sukses.
Ketika
Salim datang padanya, Sumi seperti mendapat durian runtuh. Salim yang perlente.
Penampilannya necis. Rokoknya pun berkelas. Dan setiap pulang kampung dia
sering mentraktir orang-orang minum di kedai, kata Ujang, adik Sumi. Di mata
Sumi, pastilah Salim berhasil di rantau. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa
pulang pergi dengan mobil rental.
“Jangan
Salim, Sumi. Bapak tidak yakin dia bisa menjadi pemimpin yang baik untukmu”
kata Bapak kala itu.
“Itu
hanya penampilan luarnya. Jika Bapak perhatikan dia berceloteh di kedai, dia
lebih banyak berbual. Nanti kamu menyesal.”
Tapi
hati Sumi sudah mantap. Salim adalah pilihan yang tepat untuknya. Dia akan
merantau. Melihat gedung-gedung bertingkat, jalan raya yang tidak pernah sunyi,
berbelanja di mall, makan ayam di KFC seperti yang sering dia lihat di TV. Jika
pulang kampung nanti tentu tubuhnya sudah mengilap oleh perhiasan. Seperti
Laila! Ah, Sumi ingin melebihi Laila.
Bapak
Sumi lebih keberatan lagi karena Salim sama sekali tidak menunjukkan sikap
hormat padanya ketika bertamu ke rumah Sumi. Bicaranya selalu meninggi. Dan
cara dia memandang Sumi yang sintal dan berisi seakan dia ingin menelannya
bulat-bulat.
“Yang
Bapak lihat di mata laki-laki itu cuma nafsu. Kelak kamu yang akan teraniaya.
Bapak tidak mau itu terjadi”
Bagi Sumi penolakan Bapak
lebih dikarenakan Bapak menginginkan Sabri menjadi menantunya. Sabri memang
petani. Dia ulet dan rajin. Tapi jika menikah dengan Sabri tentu Sumi tidak
akan pernah melihat gedung-gedung pencakar langit. Sumi tidak akan pernah naik
jenjang berlari di pusat perbelanjaan. Dan tentu Sumi tidak akan pernah bisa
menceritakan pengalamannya makan ayam KFC atau pizza. Di kampung semua itu kan
tidak ada. Setiap hari dia akan berkutat dengan sabit, lumpur, padi, bawang,
dan segala hasil ladang. Dan di bawah tudung saji dia hanya akan menemukan ikan
asin, keripik talas, daun singkong atau sayur bayam yang dipetik di belakang
rumah.
Huh!
Sumi sudah bosan dengan kehidupan yang seperti itu. Dia ingin berubah. Dia
ingin melihat dan menikmati sesuatu yang baru! Dan Salim adalah jawabannya.
Rani
berguncang-guncang dalam pelukannya. Panasnya makin tinggi. Gigilnya makin
kuat. Bus mulai berjalan dengan pelan.
Seharusnya
Salim ada di sini, pikir Sumi. Mereka bisa bergantian menggendong Rani sambil
mengompres kepalanya. Perempuan yang duduk di sampingnya memandangnya dengan
sinis, menjentikkan rokoknya. Jika kaki Rani menyentuh pahanya, perempuan itu
langsung mengibaskannya dengan kasar. Sumi mempererat pelukannya. Dirapatkannya
kaki Rani agar tidak menyentuh perempuan itu.
Di
antara hentakan musik disco yang ditonton penumpang dari TV kecil di
langit-langit bus, Sumi mendengar perempuan itu bertanya pada stokar bus,
“Masih ada bangku kosong gak? Saya mau pindah! Di sini bau!”
Sumi
hanya memandang ke jendela. Menyaksikan pohon-pohon yang berjajar rapi di
sepanjang jalan. Tebing-tebing yang terlihat putih dengan batu kapurnya. Juga
sungai yang berair kotor. Sumi tercenung. Ia ingat rumahnya. Rumah papan kecil
di pinggir sungai Siak. Jika hujan deras, air sungai naik. Semua benda-benda di
rumahnya mulai merapung. “Masih untung kita tidak tidur di emperan toko!” jawab
Salim ketika Sumi mempersoalkan rumah mereka.
Sumi
pun mulai membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Sungguh jauh dari yang
dia bayangkan. Dulu Salim bercerita bahwa dia mengontrak rumah di sebuah
perumahan yang asri dan bagus. Sepuluh juta pertahun. Dengan gaji Salim yang
besar mereka masih mampu menikmati hidup mewah. Namun kenyataannya, Salim hanya
seorang stokar oplet. Penghasilannya tidak menentu. Apalagi dia memiliki
kegemaran mengikuti judi sieji.
Untuk
menyangga keuangan rumah tangganya, Sumi pun menjadi buruh cuci. Dan sejak Rani
lahir dia mulai memulung. Penghasilan yang tidak seberapa itu membuat Sumi
dirundung hutang. Beli rokok Salim pun berasal darinya. Pun uang untuk siejie.
Salim selalu menjanjikan kemenangan. Walau itu tidak pernah terjadi. Kalaupun
dia menang taruhan, uangnya tidak pernah singgah ke tangan Sumi. Jika Sumi
menolak memberikan uang padanya, Salim tidak segan-segan menghancurkan
barang-barang yang ada di rumah. Semua benda berhamburan. Pecah. Berantakan.
Ketika
Ujang datang menjenguk Sumi ke kota, dia menangis. Tidak pernah Sumi melihat
adiknya menangis. Tapi kali itu Ujang menangis bersamanya saat dia mengisahkan
hidupnya. Hati Sumi pun sakit waktu Salim memberi titah bahwa Ujang hanya boleh
tinggal dengan mereka selama tiga hari. Menurutnya keberadaan Ujang hanya akan
memberatkan mereka. Namun tanpa malu, Salim berani minta uang untuk beli rokok
dan siejienya pada Ujang.
Salim
juga yang mengusulkan Ujang membawa Amat – anak sulung mereka yang berusia enam
tahun – ke kampung. Di rantau ini, kemungkinan Amat untuk sekolah sangat kecil.
Sementara di kampung, orang tua Sumi terbilang mampu. Tidak mungkin mereka
menolak menyekolahkan putra dari anak perempuan satu-satunya. Salim berdalih
akan menjemput Amat jika kehidupan mereka sudah membaik lagi. Sumi menangis
dalam hati. Kehidupan membaik yang mana yang dimaksud Salim?
Selain
hutang di kedai untuk keperluan rumah tangga, Sumi juga harus melunasi
hutang-hutang Salim pada teman-temannya ataupun kedai tempat dia minum. Tidak
jarang pula dia harus menyaksikan Salim pulang ke rumah dengan wajah bonyok.
Dia dipukuli karena tidak bisa membayar hutang. Jika sudah demikian Sumi akan
terenyuh dan iba pada suaminya. Dia berjanji melunasi hutang-hutang itu. Dan
Salim memujinya sebagai istri yang baik.
Sudah
dua tahun dia tidak bertemu Amat. Sumi sudah kepalang rindu. Sudah sebesar
apakah dia sekarang? Apakah dia masih mengenali Sumi? Dan apakah Bapak akan
menerima Sumi? Sumi tidak tahu. Sejak Hp pemberian Ujang dirampas Salim, Sumi
tidak pernah lagi mendengar kabar keluarganya.
Ah,
Sumi malu.
“Hei!
Anakmu kejang-kejang tu!”
Sumi
kaget. Perempuan di sampingnya berteriak dekat telinganya. Sumi kembali
mengompres kepala Rani dengan handuk yang dibasahi dengan air mineral. Baru
tiga jam perjalanan, bisik hatinya ketika melihat jam di atas kepala si supir
bus. Bus ini berjalan begitu lambat. Untuk sampai ke kampungnya butuh waktu
delapan jam lagi.
Rani
menggelinjang-gelinjang. Wajah Sumi pias.
Ketakutan menyergapnya.
“Anak
sakit kok gak diobati! Mana bisa cuma dikompres!” teriak perempuan itu lagi
pada perempuan lain yang duduk di sisi bus sebelah kiri. Beberapa orang mulai
memandang Sumi. Sumi panik. Dipeluknya Rani yang kejang-kejang dengan erat. Air
mata Sumi berhamburan.
Dia memang tidak pernah membawa Rani berobat.
Ketika panasnya mulai naik, Sumi cuma membeli obat penurun panas di kedai.
Cukup murah, hanya ribuan. Saat itulah Sumi merasa kampung memanggilnya pulang.
Dia harus pergi meninggalkan Salim. Salim yang tidak pernah peduli padanya,
Amat, juga Rani.
“Hati-hati! Kalau terjadi sesuatu pada anakmu
kita semua bisa sial!” perempuan itu kembali bersuara. Hati Sumi sakit.
“Kalau bicara baik-baik, Kak! Anak saya
memang sakit, tapi dia akan bertahan.” teriak Sumi.
Makin
banyak kepala memandangnya.
“Syukur
kalau dia sanggup bertahan…”
Sumi
geram. Namun dia tidak bisa apa-apa. Rani makin kejang-kejang. Sumi memeluknya makin erat.
*
* *
Bus
terus melaju. Air mata dan ingus menyatu di wajah Sumi. Dalam isaknya dia
meratapi nasibnya dan anaknya. Sempat dia berpikir inilah balasan Tuhan untuk
kedurhakaannya.
Sumi
kembali berpaling pada Rani ketika dirasakannya ada yang berubah. Urat leher
Rani mulai mengendur. Begitu juga dengan gerakan tangan dan kakinya. Semua tak bergerak. Kepalanya pun terkulai.
“Rani….
Rani….” Sumi menggoyangkan tubuh anaknya. Penumpang di bangku depan dan
belakang melongok kepadanya. Rani tetap diam.
Seorang
bapak-bapak yang duduk di depan memeriksa dahi Rani. Lalu nadinya. Kemudian
bapak itu menggeleng-geleng. Menatap Sumi prihatin.
“Rani!
Rani! Bangun, Nak!” Sumi histeris.
“Meninggal,
Pak?” perempuan sinis menatap bapak itu dengan ngeri.
Bapak
tersebut kembali ke kursinya tanpa bicara. Namun tetap menggeleng.
“Mayat
dong?!” perempuan itu lagi-lagi teriak.
“Apa?!
Ada mayat?”
“Bus
ini membawa mayat!”
“Kita
tidak bakal sampai di kampung!”
“Usir!”
“Suruh turun!”
Suara-suara
itu makin berdengung. Sumi makin kalut. Dada Rani tidak lagi naik turun.
Desahnya pun tak lagi terdengar.
Sumi
mengedar pandang memelas. Dia merasa semua orang menghakiminya. Sopir pun mulai
memandangnya lewat kaca spion. Sopir itu memandangnya tajam dengan kening yang
mengernyit. Lama pandangan mereka beradu. Saat itulah, dari balik tikungan arah
berlawanan datang sebuah bus dan nyaris bertabrakan dengan bus yang mereka
tumpangi. Bus sedikit miring karena sopir banting stir. Semua orang berteriak.
Bus berhenti.
“Pasti
karena mayat ini ni!”
“Ya,
suruh dia turun.”
“Usir!”
“Usir!”
“Kita
bisa celaka.”
"Tapi mau dibawa kemana anaknya. Kasihan.”
Satu
persatu penumpang bus mendekati Sumi. Memeriksa nadi Rani. Rani seperti kayu.
Kaku.
Kalimat-kalimat
pengusiran berhamburan. Bus mendengung seperti sarang lebah. Tangis Sumi makin
keras. Kampungnya terasa makin jauh. Dan bayang Amat makin suram.*** (Zech)
Pekanbaru, 3 Juni 2010
*dimuat Koran Haluan, 18 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar