Minggu, 01 Juni 2014

RANTAU


Oleh: Zurnila Emhar Ch

Sumi masih terus memegangi handuk kecil yang ditempelkan di kening Rani, anaknya yang berusia empat tahun. Udara yang panas membuat Sumi harus rajin membasahi handuk itu dengan air yang ada dalam botol mineral yang dipegangnya. Udara telah membuat handuk itu kering dangan cepat.
Sudah hampir satu jam Sumi duduk dalam bus ini sambil menggendong Rani. Bahkan kakinya sudah mulai kram. Namun dia mencoba bertahan. Dia harus kuat menggendong Rani hingga mereka sampai di kampungnya. Itu artinya dia harus menggendong Rani selama sebelas jam. Sebelas jam! Mau apalagi?! Uangnya hanya cukup untuk membeli satu tiket. Salim tidak memberinya uang. Walau sekedar untuk beli minum di jalan.
Sebenarnya Sumi malu untuk pulang kampung. Kepergiannya ke rantau adalah pelarian. Emak dan Bapak yang tidak merestui hubungannya dengan Salim memberinya pilihan; menolak lamaran Salim dan tetap menjadi anak mereka atau menerima lamaran Salim dan keluar dari rumah. Sumi memilih yang kedua. Dia yakin dia bisa menaklukan rantau bersama Salim. Seperti Laila, tetangganya. Sejak menikah dan tinggal di rantau, kehidupan Laila semakin baik. Setiap pulang kampung, penampilan Laila selalu membuat orang kampung iri, termasuk Sumi. Alangkah beruntungnya Laila dapat suami seorang pedagang sukses.
Ketika Salim datang padanya, Sumi seperti mendapat durian runtuh. Salim yang perlente. Penampilannya necis. Rokoknya pun berkelas. Dan setiap pulang kampung dia sering mentraktir orang-orang minum di kedai, kata Ujang, adik Sumi. Di mata Sumi, pastilah Salim berhasil di rantau. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa pulang pergi dengan mobil rental.
“Jangan Salim, Sumi. Bapak tidak yakin dia bisa menjadi pemimpin yang baik untukmu” kata Bapak kala itu.
“Itu hanya penampilan luarnya. Jika Bapak perhatikan dia berceloteh di kedai, dia lebih banyak berbual. Nanti kamu menyesal.”
Tapi hati Sumi sudah mantap. Salim adalah pilihan yang tepat untuknya. Dia akan merantau. Melihat gedung-gedung bertingkat, jalan raya yang tidak pernah sunyi, berbelanja di mall, makan ayam di KFC seperti yang sering dia lihat di TV. Jika pulang kampung nanti tentu tubuhnya sudah mengilap oleh perhiasan. Seperti Laila! Ah, Sumi ingin melebihi Laila.
Bapak Sumi lebih keberatan lagi karena Salim sama sekali tidak menunjukkan sikap hormat padanya ketika bertamu ke rumah Sumi. Bicaranya selalu meninggi. Dan cara dia memandang Sumi yang sintal dan berisi seakan dia ingin menelannya bulat-bulat.
“Yang Bapak lihat di mata laki-laki itu cuma nafsu. Kelak kamu yang akan teraniaya. Bapak tidak mau itu terjadi”
Bagi Sumi penolakan Bapak lebih dikarenakan Bapak menginginkan Sabri menjadi menantunya. Sabri memang petani. Dia ulet dan rajin. Tapi jika menikah dengan Sabri tentu Sumi tidak akan pernah melihat gedung-gedung pencakar langit. Sumi tidak akan pernah naik jenjang berlari di pusat perbelanjaan. Dan tentu Sumi tidak akan pernah bisa menceritakan pengalamannya makan ayam KFC atau pizza. Di kampung semua itu kan tidak ada. Setiap hari dia akan berkutat dengan sabit, lumpur, padi, bawang, dan segala hasil ladang. Dan di bawah tudung saji dia hanya akan menemukan ikan asin, keripik talas, daun singkong atau sayur bayam yang dipetik di belakang rumah.
Huh! Sumi sudah bosan dengan kehidupan yang seperti itu. Dia ingin berubah. Dia ingin melihat dan menikmati sesuatu yang baru! Dan Salim adalah jawabannya.
Rani berguncang-guncang dalam pelukannya. Panasnya makin tinggi. Gigilnya makin kuat. Bus mulai berjalan dengan pelan.
Seharusnya Salim ada di sini, pikir Sumi. Mereka bisa bergantian menggendong Rani sambil mengompres kepalanya. Perempuan yang duduk di sampingnya memandangnya dengan sinis, menjentikkan rokoknya. Jika kaki Rani menyentuh pahanya, perempuan itu langsung mengibaskannya dengan kasar. Sumi mempererat pelukannya. Dirapatkannya kaki Rani agar tidak menyentuh perempuan itu.
Di antara hentakan musik disco yang ditonton penumpang dari TV kecil di langit-langit bus, Sumi mendengar perempuan itu bertanya pada stokar bus, “Masih ada bangku kosong gak? Saya mau pindah! Di sini bau!”
Sumi hanya memandang ke jendela. Menyaksikan pohon-pohon yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Tebing-tebing yang terlihat putih dengan batu kapurnya. Juga sungai yang berair kotor. Sumi tercenung. Ia ingat rumahnya. Rumah papan kecil di pinggir sungai Siak. Jika hujan deras, air sungai naik. Semua benda-benda di rumahnya mulai merapung. “Masih untung kita tidak tidur di emperan toko!” jawab Salim ketika Sumi mempersoalkan rumah mereka.
Sumi pun mulai membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Sungguh jauh dari yang dia bayangkan. Dulu Salim bercerita bahwa dia mengontrak rumah di sebuah perumahan yang asri dan bagus. Sepuluh juta pertahun. Dengan gaji Salim yang besar mereka masih mampu menikmati hidup mewah. Namun kenyataannya, Salim hanya seorang stokar oplet. Penghasilannya tidak menentu. Apalagi dia memiliki kegemaran mengikuti judi sieji.
Untuk menyangga keuangan rumah tangganya, Sumi pun menjadi buruh cuci. Dan sejak Rani lahir dia mulai memulung. Penghasilan yang tidak seberapa itu membuat Sumi dirundung hutang. Beli rokok Salim pun berasal darinya. Pun uang untuk siejie. Salim selalu menjanjikan kemenangan. Walau itu tidak pernah terjadi. Kalaupun dia menang taruhan, uangnya tidak pernah singgah ke tangan Sumi. Jika Sumi menolak memberikan uang padanya, Salim tidak segan-segan menghancurkan barang-barang yang ada di rumah. Semua benda berhamburan. Pecah. Berantakan.
Ketika Ujang datang menjenguk Sumi ke kota, dia menangis. Tidak pernah Sumi melihat adiknya menangis. Tapi kali itu Ujang menangis bersamanya saat dia mengisahkan hidupnya. Hati Sumi pun sakit waktu Salim memberi titah bahwa Ujang hanya boleh tinggal dengan mereka selama tiga hari. Menurutnya keberadaan Ujang hanya akan memberatkan mereka. Namun tanpa malu, Salim berani minta uang untuk beli rokok dan siejienya pada Ujang.
Salim juga yang mengusulkan Ujang membawa Amat – anak sulung mereka yang berusia enam tahun – ke kampung. Di rantau ini, kemungkinan Amat untuk sekolah sangat kecil. Sementara di kampung, orang tua Sumi terbilang mampu. Tidak mungkin mereka menolak menyekolahkan putra dari anak perempuan satu-satunya. Salim berdalih akan menjemput Amat jika kehidupan mereka sudah membaik lagi. Sumi menangis dalam hati. Kehidupan membaik yang mana yang dimaksud Salim?
Selain hutang di kedai untuk keperluan rumah tangga, Sumi juga harus melunasi hutang-hutang Salim pada teman-temannya ataupun kedai tempat dia minum. Tidak jarang pula dia harus menyaksikan Salim pulang ke rumah dengan wajah bonyok. Dia dipukuli karena tidak bisa membayar hutang. Jika sudah demikian Sumi akan terenyuh dan iba pada suaminya. Dia berjanji melunasi hutang-hutang itu. Dan Salim memujinya sebagai istri yang baik.
Sudah dua tahun dia tidak bertemu Amat. Sumi sudah kepalang rindu. Sudah sebesar apakah dia sekarang? Apakah dia masih mengenali Sumi? Dan apakah Bapak akan menerima Sumi? Sumi tidak tahu. Sejak Hp pemberian Ujang dirampas Salim, Sumi tidak pernah lagi mendengar kabar keluarganya.
Ah, Sumi malu.
“Hei! Anakmu kejang-kejang tu!”
Sumi kaget. Perempuan di sampingnya berteriak dekat telinganya. Sumi kembali mengompres kepala Rani dengan handuk yang dibasahi dengan air mineral. Baru tiga jam perjalanan, bisik hatinya ketika melihat jam di atas kepala si supir bus. Bus ini berjalan begitu lambat. Untuk sampai ke kampungnya butuh waktu delapan jam lagi.
Rani  menggelinjang-gelinjang. Wajah Sumi pias. Ketakutan menyergapnya.
“Anak sakit kok gak diobati! Mana bisa cuma dikompres!” teriak perempuan itu lagi pada perempuan lain yang duduk di sisi bus sebelah kiri. Beberapa orang mulai memandang Sumi. Sumi panik. Dipeluknya Rani yang kejang-kejang dengan erat. Air mata Sumi berhamburan.
   Dia memang tidak pernah membawa Rani berobat. Ketika panasnya mulai naik, Sumi cuma membeli obat penurun panas di kedai. Cukup murah, hanya ribuan. Saat itulah Sumi merasa kampung memanggilnya pulang. Dia harus pergi meninggalkan Salim. Salim yang tidak pernah peduli padanya, Amat, juga Rani.
   “Hati-hati! Kalau terjadi sesuatu pada anakmu kita semua bisa sial!” perempuan itu kembali bersuara. Hati Sumi sakit.
   “Kalau bicara baik-baik, Kak! Anak saya memang sakit, tapi dia akan bertahan.” teriak Sumi.
Makin banyak kepala memandangnya.
“Syukur kalau dia sanggup bertahan…”
Sumi geram. Namun dia tidak bisa apa-apa. Rani makin kejang-kejang. Sumi memeluknya makin erat.
* * *
Bus terus melaju. Air mata dan ingus menyatu di wajah Sumi. Dalam isaknya dia meratapi nasibnya dan anaknya. Sempat dia berpikir inilah balasan Tuhan untuk kedurhakaannya.
Sumi kembali berpaling pada Rani ketika dirasakannya ada yang berubah. Urat leher Rani mulai mengendur. Begitu juga dengan gerakan tangan dan kakinya. Semua tak bergerak. Kepalanya pun terkulai.
“Rani…. Rani….” Sumi menggoyangkan tubuh anaknya. Penumpang di bangku depan dan belakang melongok kepadanya. Rani tetap diam.
Seorang bapak-bapak yang duduk di depan memeriksa dahi Rani. Lalu nadinya. Kemudian bapak itu menggeleng-geleng. Menatap Sumi prihatin.
“Rani! Rani! Bangun, Nak!” Sumi histeris.
“Meninggal, Pak?” perempuan sinis menatap bapak itu dengan ngeri.
Bapak tersebut kembali ke kursinya tanpa bicara. Namun tetap menggeleng.
“Mayat dong?!” perempuan itu lagi-lagi teriak.
“Apa?! Ada mayat?”
“Bus ini membawa mayat!”
“Kita tidak bakal sampai di kampung!”
“Usir!”
Suruh turun!”
Suara-suara itu makin berdengung. Sumi makin kalut. Dada Rani tidak lagi naik turun. Desahnya pun tak lagi terdengar.
Sumi mengedar pandang memelas. Dia merasa semua orang menghakiminya. Sopir pun mulai memandangnya lewat kaca spion. Sopir itu memandangnya tajam dengan kening yang mengernyit. Lama pandangan mereka beradu. Saat itulah, dari balik tikungan arah berlawanan datang sebuah bus dan nyaris bertabrakan dengan bus yang mereka tumpangi. Bus sedikit miring karena sopir banting stir. Semua orang berteriak. Bus berhenti.
“Pasti karena mayat ini ni!”
“Ya, suruh dia turun.”
“Usir!”
“Usir!”
“Kita bisa celaka.”
"Tapi mau dibawa kemana anaknya. Kasihan.”
Satu persatu penumpang bus mendekati Sumi. Memeriksa nadi Rani. Rani seperti kayu. Kaku.
Kalimat-kalimat pengusiran berhamburan. Bus mendengung seperti sarang lebah. Tangis Sumi makin keras. Kampungnya terasa makin jauh. Dan bayang Amat makin suram.*** (Zech)

Pekanbaru, 3 Juni 2010


*dimuat Koran Haluan, 18 Mei 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar