Jumat, 22 November 2013

Melati untuk Bunda



MELATI UNTUK BUNDA

Garis-garis keemasan yang menyepuh pohon-pohon itu berasal dari balik punggung bukit. Menerobos pepohonan, menguak ranting dan daun, dan berakhir di sebuah taman bunga.
Di antara beragam macam kembang di taman itu seorang gadis belia di atas kursi roda mengangsur setangkai melati ke arah seorang perempuan setengah baya yang tengah tersenyum padanya. Senyum gadis itu merekah, memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya sangat cantik. Pemandangan yang sungguh bagus!
“Sempurna,” desisnya. Ia belum pernah menghasilkan lukisan seindah itu. Kombinasi warna yang hebat. Tangannya bergetar. Lukisan itu seperti mempunyai roh yang mengalirkan kehangatan pada setiap orang yang menyentuhnya. Juga memberi kenyamanan dan ketenangan bagi orang yang memandangnya. Itulah sebabnya Andhina tidak pernah merasa puas menatap dan mengelus lukisan itu.
“Bagaimana kau membuat lukisan sehebat ini?”
He-hebat? App-pakah lukisan itu hebat?”
Tanpa berpaling sedikit pun Andhina mengangguk. “Aku tidak melihat lukisanmu yang lebih bagus, dari ini dan aku juga belum pernah melukis sebagus ini.”
Kk-kau berr-lebihan. Aku melihat lukiss-sanmu bagus-bagus kok,” Andhini meletakkan kuasnya. Ia turut memandang lukisan yang ada di pangkuan Andhina.
“Bagaimana kau melakukannya?”
“Seperti bias-sa, cuma … “ kalimat Andhini menggantung. Dia tampak sedang memikirkan apa yang akan  diucapkannya.
“Cuma apa?”
Andhina berbalik. Dipandanginya saudara kembarnya ini dengan seksama.
App-pa kau tidak melihat ss-sesuatu dalam lukisan itu?” gadis itu bertanya seolah pada dirinya sendiri.
Andhina kembali menggantungkan lukisan itu ke dinding. “Aku cuma melihat bukit, matahari, pepohonan, sebuah taman dengan seorang ibu dan…seorang gadis berkursi roda,” nada suaranya seakan dipelankan di akhir kalimat.
K-kau hanya mme-me-lihat itu?” Andhini mendongakkan kepalanya. Ditatapnya wajah saudara kembarnya lekat-lekat.
Andhina mengalihkan pandang, membalas lekat tatap Andhini. Ah, mata itu! Di sana ia melihat ada gunung ketegaran. Ia juga melihat ada ketulusan dan keikhlasan memancar di sana. Jujur, ia mengagumi  sosok yang sekarang ada di hadapannya. Betapa Andhini begitu kuat menghadapi kenyataan.
Mereka memang dilahirkan kembar. Sama dari semua sisi fisiknya. Kulit yang putih, wajah yang bulat telur, hidung mancung dan dagu yang berbelah. Bahkan mereka juga punya hobi yang sama; melukis. Yang membuat mereka berbeda; Andhini terlahir gagap dan jalannya pincang.
Banyak orang yang tidak tahu kalau Andhina memiliki saudara kembar. Maklum mereka tidak pernah jalan bersama. Apalagi semenjak Andhini kecelakaan dan harus berada di kursi roda semenjak kelas empat SD. Kelumpuhan membuat dia harus berhenti sekolah. Karena Mama tidak mau repot mengantar-jemput. Sama halnya dengan Mama, Papa juga sibuk dengan bisnisnya. Ketidakpedulian Mama dan Papa telah menciptakan jurang di antara mereka. Bahkan mungkin Aryo, adik mereka, sudah lupa kalau dia punya seorang kakak lain bernama Andhini. Wajar bila Aryo lupa karena mereka tidak pernah makan bersama, nonton bersama apalagi liburan bersama. Berpapasan pun jarang.
Jadilah Andhini anak Bik Nah, pembantu mereka. Sehari-hari dia menghabiskan waktunya dalam kamar. Belajar, melukis dan makan pun sering diantar ke kamar. Bik Nah-lah yang terus menyemangati, memperhatikannya. Jika Bik Nah tidak ada jadilah ia gadis yang sunyi, selalu mengurung diri di kamar yang merangkap tempat melukisnya.
Entah karena mereka kembar atau apa, sesekali Andhina masih menengok Andhini. Paling tidak untuk membandingkan lukisan mereka, seperti sekarang ini.
“Apa kau ingin mengatakan ada sesuatu selain yang aku sebutkan dalam lukisan ini?” ujar Andhina.
“Entahlah. Aku mme-memang merasa it-tu adalah lukk-kisanku yang terbaik,” gadis itu menerawang sambil menyibak poninya.
“Aku juga berpikir lukisan ini sangat bagus bahkan melebihi lukisanku sendiri. Aku cuma ingin tahu bagaimana kau membuatnya?”
A-kkku Membb-buatnya dengan hati yang jernih. Aku mewarr-nainya dengan perasaan yang riang. Dd-dengan ss-senang.”
“Maksudmu?” Andhina mengernyitkan keningnya.
Entahlah. Aku hanya ingin ss-setiap orang yang mme-melihh-hatnya tersenyum.”
Andhina menarik napas dan menghembuskannya pelan. Hebat! Pujinya. Dia merasa bangga menjadi satu bagian dari diri Andhini. “Teruslah melukis,” ujarnya, ”Besok akan aku bawakan buku baru untukmu.”
Andhina melangkah. Saat sampai di depan pintu, dia kembali menoleh. Menangkap sebuah senyuman. Ah, ia begitu tegar.
* * *
“Bagaimana? Anak mama pasti gugup.Senyum mama merekah tanpa berpaling sedikit pun pada Andhina.
Ah, mama menganggap aku gugup? Apa kata-kata itu tidak terlalu manis untuk menggambarkan sebuah ketakutan dan rasa bersalah?
Papa yang sibuk menengok kiri kanan menyuruh Andhina supaya santai. Bersama Mama, Papa mengenalkannya kepada beberapa kenalan mereka. Membangga-banggakan Andhina sambil membusungkan dada.
Andhina makin merasa bersalah. Seandainya Mama dan Papa tahu kalau kemenangan ini bukan miliknya? Andhina tidak bisa menerka reaksi mereka. Mungkin mereka akan membencinya dan mau membagi cinta pada putri mereka yang lain. Itu lebih baik, jika Mama dan Papa mau menerima Andhini. Tapi, bagaimana kalau Mama malah memaksanya mengakui lukisan itu sebagai karyanya.
Jantung Andhina kebat-kebit begitu acara dimulai. Dia merasa tidak sedang berada di gedung kesenian, tempat acara penyerahan pemenang lomba melukis dilaksanakan. Dia tidak mendengar apa yang disampaikan pembawa acara. Pikirannya sedang mengembara pada satu titik; Andhini.
Setiap kali ke rumah nenek, Andhini selalu memanjatkan pohon jambu di belakang rumah untuknya. Andhini yang pintar memanjat dan tidak takut ketinggian tidak pernah menolak setiap kali saudaranya minta untuk memetik buah. Padahal dia sendiri tidak menyukai buah tersebut!
Dia akan makin gagap jika kegembiraannya sedang meluap. Air matanya akan berderai bila Mama atau Papa mau memakan buah yang dia petik. Hanya air mata karena suaranya terperangkap dalam tenggorokan. Dan dia tidak pernah marah walau dia hanya dipanggil untuk disuruh-suruh.
Bukk-bukankah kita kembar? Jik-ka Mama mme-menyayangimu berarti Mama juga sayang aku,” ujarnya suatu hari.
“Tetapi sayang Mama pada kita berbeda,”
Andhina tidak mendengar sepatah kata pun yang diucapkan Andhini. Dia tertunduk. Memainkan ujung jarinya ke tanah. Rambutnya berkepang dua bergerak-gerak di atas kedua telinganya. Sisiran yang tidak rapi, karena dia mengepangnya sendiri. “Tapi aku sayang Mama.” Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum. Namun mata itu berkilau-kilau karena ada sesuatu dikandung kelopaknya.
Lukisan Andhini yang pertama bercerita tentang mereka. Sepasang anak kembar bermain ayunan. Di sisi lain seorang anak laki-laki main luncuran. Itu Aryo, katanya. Papa sedang membaca koran dan Mama ada di sampingnya. Mereka duduk di bangku panjang.
Papa dan Mama tidak peduli ketika Andhini memperlihatkan karyanya. Suaranya hilang sia-sia! Namun ia tetap tersenyum. Ia tidak pernah berhenti melukis setelah itu. Saudara sepupu yang menjadi gurunya selalu menyemangatinya.
Itu dulu. Sebelum Andhina mendapati Andhini terbaring di rumah sakit karena tabrakan. Setelah itu hari-harinya dilalui dengan kursi roda. Jika Andhina belajar melukis di sanggar maka dia hanya diajari saudara sepupu yang bergantian dengan temannya. Sepanjang hari dia hanya berkutat dengan kuas dan cat. Dia tidak akan pernah lagi memanjat pohon jambu untuk Andhina.
Andhini! Ah, sedang apa dia sekarang? Apakah ia sedang menangis atau sibuk dengan lukisan yang lain. Andhina merasa berdosa. Sangat! Ia masih ingat mata merah Andhini menatapnya tajam. Kecewakah isyarat mata itu? Atau kebencian?
Semenjak pemberitaan itu; lukisan yang berjudul Melati Untuk Bunda, pelukis Andhina Putri Cantika, muncul di koran, Andhini tidak mau lagi menemuinya. Pintu kamar Andhini sering terkunci. Tampaknya dia marah besar. Apakah Andhini mau memaafkannya? Bukankah tangis dan senggaunya seminggu yang lalu menunjukkan bahwa ia benar-benar terluka?
Mm-mungkin bagimu lukisan itu tidak punya arti punya apa-apa. Tt-tapi bagiku lukiss-san itu telah mengikat separuh rohku. Sssse-ndainya aku tahu kau mau bohong akk-ku tak akan membbb-biarkan kau membawanya.”
“Tapi lukisanmu menang.”
Y-ya.! Dan sss-semua orang tahunya itu lukisanmu!” Andhini menatap tajam, membuatnya jengah.
“Aku akan menggantinya dengan hadiah yang pantas kau terima.”
“Tt-tetap saja, kk-kau telah merusak keee-ppercayaanku,”
Andhina kehabisan kata-kata. Seandainya dia tidak curang, kalau saja ia punya kepercayaan diri terhadap lukisannya sendiri, tentu semuanya tidak serunyam ini. Tapi sayang, dia memang tidak berniat kemenangan ini untuk Andhini. Yang dia pikirkan waktu itu adalah kebanggaan Papa dan Mama jika dia menang. Hanya itu!
“Dhina, cepatan!” Mama menyikutnya. Andhina tergagap. Buru-buru dihapusnya air mata yang meleleh tanpa disadari. “Kamu menangis?” Mama memandangnya bingung.
 “Tidak, Ma. Sudah sampai di mana acaranya, Ma?”
“Kamu tidak menyimak ya? Itu nama kamu dipanggil,”
Andhina terhenyak sejenak. Setelah menarik napas dalam-dalam, dia berdiri. Puluhan pasang mata memandangnya. Sudah berapa kalikah namanya dipanggil? Dengan langkah berat diseretnya kakinya ke panggung. Takut, bangga, kecewa. Semua bercampur menjadi satu.
Dia berdiri paling ujung di antara deretan pemenang. Tangannya terasa dingin ketika juara harapan dua menerima hadiahnya. Semakin dekat panitia lomba dengannya keringat dingin pun makin membajirinya. Ketika panitia berjalan ke arahnya dengan seabrek hadiah, tampak Papa dan Mama tersenyum bangga. Aryo bertepuk tangan.
Dan wajah Andhini pun menjelma. Air mata itu… Lukisan seorang ibu dengan gadis berkursi roda… Semua datang silih berganti. Andhina merasa tubuhnya bergetar hebat. Semakin dekat piala itu padanya semakin kakinya tidak kuat menyangga tubuhnya. Dan sebelum piala kemenangan berada di tangannya, Andhina ambruk. Semua menjadi hitam.
* * *
Pekanbaru, 2009

*Dimuat di majalah STORY, Desember 2010

Kamis, 01 Agustus 2013

ORANG-ORANG YANG TERPENJARA DALAM KESEPIAN



Rahasia Selma: Kumpulan CeritaJudul buku          :           Rahasia Selma
Penulis                :           Linda Christanty
Tahun terbit         :           April 2010
Penerbit              :           Gramedia, Jakarta
Jumlah halaman   :           118 halaman
     
      



      TENTANG ORANG-ORANG YANG TERPENJARA DALAM KESEPIAN
     
Satu lagi buku yang lahir dari tangan Linda Cristanty. Setelah buku pertamanya, Kuda Terbang Maria Pinto, mendapat anugrah Khatulistiwa Literaty Award 2004, Linda meluncurkan kumcernya yang berjudul Rahasia Selma. Buku ini berisi sebelas buah cerpen. Hampir semua cerpen yang disatukan dalam buku ini pernah diterbitkan di media-media nasional.
Tulisan-tulisan dalam buku ini terasa lebih berbau perempuan ketimbang Kuda Terbang Maria Pinto. Rata-rata  tokoh yang digunakan adalah perempuan. Lihat saja cerpen Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Kupu-Kupu Merah Jambu, Mercusuar, Rahasia Selma, Kesedihan, Jazirah di Utara dan Babe. Pada Para Pencerita pun sosok laki-laki hanya tampil sebagai pengisah. Dalam Drama dan Ingatan barulah bercerita tentang laki-laki.
 Cerpen Menunggu Ibu menceritakan tentang Pia yang harus mengurus ibunya yang mengalami gangguan jiwa. Pia adalah sosok yang kesepian. Ia senantiasa merindukan teman. Ia pernah ingin membawa teman-temannya nginap di rumah tapi takut teman-temannya dicekik ibu. Seperti Fatma, pembantu mereka yang pernah dicekik ibu. Juga bebek tetangga sekarat karena dicekik ibu.
 Dulu Pia tinggal bersama ibu dan Ena, adiknya. Namun setelah ibu menghilang dan pulang dalam keadaan awut-awutan, Ena tinggal bersama Om Mus, kakak ibu. Mereka hanya bertemu sekali seminggu. Pia pernah meminta Ena dibawa kembali ke rumah karena dia tahu Ena sering dipukuli anak-anak Om Mus, namun ibu menolak permintaannya.
 Pia jadi dilema. Dia tahu adiknya tidak pernah merasa aman di rumah om mereka tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Terkadang dia juga kewalahan menghadapi tingkah ibu, namun dia tidak tega meninggalkan ibu sendirian walau nenek telah menawarkan tempat tinggal untuknya.
 Menurut Fatma, keadaan ibu dipicu oleh paksaan keluarga agar ibu menikah dengan ayah. Sedangkan ibu mencintai laki-laki yang lain. Sudah sering ibu diterapi namun ibu tidak kunjung sembuh. Malah menjadi-jadi.
 Kepergian ibu yang terakhir setelah dia menggorok leher Olio, si pudel pemberian Pak Nana, tetangga mereka. Setelah itu Ibu tidak pernah kembali. Ena menengok Pia hanya sekali sebelum Ena ditemukan tenggelam di kolam rumah Om Mus. Itu terjadi tujuh tahun yang lalu.
 Cerpen Rahasia Selma sendiri mengisahkan Selma yang (juga) kesepian seperti Pia. Selma tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya hanya pulang satu kali sebulan. Ibu tidak mengizinkannya berkumpul dengan teman-temannya karena menurut ibu orang tua teman-temannya suka bergunjing. Untuk mengatasi kesepian Selma, ibu mengizinkannya memelihara kura-kura. Bukan hanya seekor tapi ribuan.
 Suatu kali mereka liburan berdua. Mereka tinggal di sebuah penginapan. Liburan ini dimanfaatkan ibu untuk membuat lukisan Selma yang duduk di atas sofa, dikelilingi ribuan kura-kura. Selma jadi merasa memiliki teman.
  Di belakang penginapan ada sebuah lembah. Selma sangat ingin ke sana. Di lembah berkabut itu terdapat rumah-rumah kayu yang sunyi. Setiap rumah memiliki nama seperti nama manusia seperti Wilhelmus, Helena dll. Menurut Bu Lasya, pemilik penginapan, perumahan itu dihuni oleh orang-orang Belanda. Entah apa profesi mereka. Setelah sekian lama mengintai, Selma tidak pernah melihat ada orang yang melewati jalan dekat lembah. Mau ke lembah ataupun kembali dari lembah.
 Satu-satunya orang yang pernah melewati jalan itu adalah Pak Suhana, pegawai penginapan. Ia menjenguk saudaranya yang menjadi koki di rumah lembah. Di jalan Pak Suhana menemukan kura-kura di dekat lembah. Kura-kura itu dimasukkan lagi ke kolam di lobi penginapan. Tapi  seminggu kemudian kura-kura itu hilang lagi dan tidak ditemukan. Pak Suhana sedih, takut dimarahi Bu Lasya.
 Membantu Pak Suhana mencari kura-kura adalah alasan Selma untuk mengetahui tentang kehidupan di lembah. Namun ibu dan Bu Lasya melarangnya ke sana. Selma pun pergi dengan mengendap-endap.
 Di tengah pemukiman di lembah, Selma menemukan sebuah jurang yang di dalamnya terdapat miniature sebuah kota; rumah-rumah, gedung-gedung, lapangan sepak bola, menara radio, pohon-pohon dan jalan-jalan. Dari atas jurang nampak seperti sebuah kota yang tenang.
 Pada cerpen Rahasia Selma ini, Linda menceritakan banyak hal tanpa lepas pada pokok bahasan; Selma. Linda menuturkan isi dinding facebook ibu Selma, tentang Kang Somat yang sering mengasih Selma mawar (yang selalu mengingatkan Selma pada wangi parfum nenek), tentang kebiasaan ibu merias bibirnya dengan garis serupa busur yang pernah ditulis Selma dalam pelajaran mengarang dan mendapat applaus dari guru bahasanya.
 Selma adalah sosok yang lincah dan suka memperhatikan hal-hal di sekelilingnya. Selma sempat berdebat dengan dirinya saat membaca nama rumah kedua. Helena atau Helene. Kabut menghalangi pandangannya. Ketika berlari-lari menuruni jalan di lembah, dia ingat pelajaran olah raga yang tidak disukainya.  Terlebih Pak Minto, guru olah raga yang gemar mencubit perut dan pantatnya tanpa sebab. Bahkan Pak Minto juga pernah mencubit-cubit muridnya yang mengakibatkan orang tua murid tersebut mengamuk di kantor guru. Pak Minto menjadi pendiam setelah itu. Namun Selma tetap tidak menyukai pelajaran olah raga.
 Drama; menceritakan seorang laki-laki yang bertugas sebagai ‘penasehat’. Penasehat hukum bagi seseorang yang ingin tahu tentang hak asasi. Seseorang yang tinggal di hutan bersama-sama kawan-kawannya – atau mungkin bawahannya- yang mengantongi senjata dengan jenis AK 47.
 Aku juga seorang perancang drama. Ia suka mempelajari trik-trik baru dengan menonton pertunjukan-pertunjukan di seluruh dunia. Ia pernah menjadi juru bisik yang duduk di samping perdana mentri. Profesi ini sering membuatnya merasa tidak aman. Dia sering khawatir kalau-kalau rumahnya dipasangi alat penyadap.
 Tugas yang paling membuatnya  puas adalah saat merancang drama perundingan.  Dia berhasil menyulap seorang penjual obat menjadi juru runding. Juru runding menyeberang ke pihak musuh. Dua minggu kemudian penjual obat itu muncul di televisi, “ Saya menyerahkan diri secara suka rela dan mengakui apa yang saya lakukan salah.”
 Cerpen ini seperti sindiran. Drama! Mengingatkan kita pada tayangan televisi yang kita tonton sehari-hari.
 Cerpen Para Pencerita mengisahkan Fahmi, anak bungsu  dari empat bersaudara yang selalu merindukan keluarganya yang gemar bercerita. Mereka adalah ibu, bibi, Wak Nur, dua orang kakaknya; Cut Nas dan Cut Rum. Hingga dewasa Fahmi sering mengulang-ulang kenangan tersebut. Dari hal-hal serius yang dibicarakan wanita dewasa sampai hal yang konyol seperti kutu-kutu yang berkembang biak di kepala Fahmi yang berasal dari kepala para pencerita itu.
Yang paling menonjol dalam cerita tersebut adalah kekontrasan rumah tangga ibu dengan Cut Nas. Ayah Fahmi seorang laki-laki yang gemar kawin. Jumlah istrinya sama dengan jumlah anak ayam dalam kandang mereka; selusin.  Ayah suka pergi dan pulang sesuka hati. Ibu menghidupi mereka dengan menjual penganan. Termasuk untuk biaya kuliyah Bang Hasril di Amerika. Bang Hasril adalah kakak sulung Fahmi yang kuliah dan kerja di Amerika namun tidak pernah pulang lagi setelah menikah dengan gadis kampung. Namun ketidakbertanggungjawaban ayah tidak memberi efek apapun pada ibu. Ibu hanya diam. 
Cut Nas berbeda dengan ibu. Ayah memaksanya menikah dengan Teuku Abas, duda kaya beranak satu. Teuku Abas memiliki kegemaran berselingkuh. Kata-kata cerai sering muncul dalam rumah tangga mereka karena kebiasaaannya itu. Namun mereka tetap bersama hingga memiliki  tujuh orang anak. Sangat aneh menurut Fahmi.
Setelah berkali-kali memburu simpanan suaminya, Cut Nas  memutuskan menuntaskan  sakit hatinya dengan caranya sendiri. Suatu malam dengan pakaian hitam dia mengendap-endap ke losmennya. Dia  menghabisi suaminya di depan simpanan suaminya yang meringkuk di sudut.
Seiring perjalannan waktu, satu persatu para pencerita meninggalkan Fahmi. Ibu dan Wak Nur  telah meninggal, bibi tidak pernah kembali, Cut Nas pindah ke kota lain, Cut Rum  ikut suaminya ke Jakarta. Namun setiap kali Fahmi berkunjung ke rumah tua peninggalan orang tuanya, dia masih sering membayangkan para pencerita tersebut duduk berkumpul di atas ranjang besar  yang dulu sering mereka gunakan.
Cerpen-cerpen yang terkumpul dalam  buku terbitan Gramedia, April 2010 ini akan membawa pembaca menyusuri berbagai kemungkinan dari hal-hal yang “sering kita abaikan”. Hal-hal yang jarang kita temui tentang hubungan  individu akan kita temukan di sini. Imajinasi Linda memang liar namun  terkendali. Kemampuan Linda membebaskan tokoh-tokohnya  dari doktrin, mitos ataupun kesunyian sukses membuat kita terpukau.
     
      Juni 2010.
      
      * * *

Senin, 01 Juli 2013

Merombak Pola Pikir Anak




Judul buku            :  6 Pola Sukses Mendidik Anak Jadi Kreatif (Merevolusi Cara   Berpikir Anak Indonesia)
Penulis                   :  Ling Majaya
Tahun terbit           : Januari 2013     
Penerbit                 :  Gramedia Widiasarana Indonesia
Jumlah halaman     :  130 halaman




MEROMBAK CARA DIDIK ANAK 
Secara umum masyarakat berpendapat bahwa anak yang cerdas adalah anak yang kreatif. Pun sebaliknya; kreatif dalam berkesenian dianggap sebagai patokan cerdas. Padahal kreatif dalam kesenian berbeda dengan kreatif dalam berpikir.
Kreatif berpikir adalah kemampuan memproses pengalaman-pengalaman menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai tambah dan dapat diwujudkan. (hal. 5). Kreatif berpikir bukanlah bakat, namun sebuah kemampuan yang bisa dipelajari.
Six thinking hats adalah metode yang dikembangkan oleh Dr. Edward de Bono, seorang sarjana Oxford yang mencetuskan kata Lateral Thinking  dalam kamus bahasa Oxford. Metode ini bertujuan untuk mendisiplinkan cara berpikir anak-anak agar berpikir secara paralel, yaitu suatu cara berpikir dengan fokus hanya pada satu jenis pemikiran di suatu waktu tertentu. Seorang anak diajarkan untuk menilik suatu masalah dari berbagai aspek dan sudut pandang serta melibat semua pihak.
Ketika dua orang anak berpikir secara paralel, mereka akan sama-sama mencari fakta, mengkaji manfaat dan mudharatnya, juga mencari penyelesaian. Mereka tidak berusaha mengungguli satu atas yang lain.
Ini jelas berbeda dengan berpikir kritis dan berargumentasi. Dalam berpikir kritis; anak akan senang mencari kesalahan dan memberikan kritik. Sehingga otak hanya terpacu untuk mencari kesalahan. Kritis terkadang menutup peluang munculnya ide baru. Dan dalam berargumentasi; seorang anak dituntut untuk mampu meyakinkan bahwa pendapatnya layak diterima dan diakui kebenarannya.
Dalam Six thinking hats anak diajarkan bahwa berpikir itu menyenangkan. Mereka dibiasakan agar berpikir dulu sebelum memberi jawaban, melontarkan pertanyaan yang lebh terarah, mengajarkan konsep kemungkinan selain dari ya dan  tidak. Mereka juga diajari bagaimana menjelasakan jawaban ketika jawaban mereka dianggap tidak logis.
Metode ini dilambangkan dengan topi.
Pertama, topi putih. Pemakai topi ini mengungkapkan informasi, fakta, detil, pengamatan dan data. Anak yang memakai topi ini berada di titik netral. Berpikir objektif. Biasanya jika mereka menyatakan apa yang dirasakan, mereka memakai perasaan orang lain. Bukan mengedepankan perasaan sendiri.
Kedua, topi merah; ditandai dengan pengekspresian emosi, perasaan dan intuisi. Pemakaian topi ini juga dibutuhkan dalam mengambil keputusan karena emosi bukan hanya berarti marah. Namun juga takut, benci, curiga ataupun cinta. Untuk penempatannya butuh kepekaan di saat tidak ada data yang kuat. ? Namun hanya sesaat.
Tiga, topi hitam. Topi ini berfungsi sebagai penimbang karena dia mengungkapkan bahaya, risiko dan kelemahan. Tugasnya adalah menimbang positif dan negatifnya suatu kegiatan. Memprediksikan kemungkinan terjelek yang bakal timbul. Dia bicara dengan logis dan alasan yang mendukung.
Empat,  topi biru. Mereka adalah para pengamat. Senantiasa mengamati persoalan dan proses yang berlangsung untuk memberi jalan tengah. Mereka mengendalikan keadaan yang rumit, mengembalikan perdebatan ke titik fokus. Tidak hanya sebagai pemantau, pemilik topi biru juga bisa menarik kesimpulan dan membuat laporan yang bisa disampaikan secara lisan.
Lima, topi hijau. Dia adalah seorang yang optimis. Pembawa ide baru dengan beragam kemungkinan. Anak dengan pola pikir ini dibutuhkan saat mengalami kebuntuan berpikir.
Enam, topi kuning. Berpikir dengan mengkaji manfaat dari kejadian paling buruk sekalipun. Bagi mereka semua peristiwa memiliki nilai positif tergantung dari cara orang memandang. Dalam menuangkan ide mereka selalu optimis sekalipun idenya tidak menarik
Di buku ini juga dikemukakan, bahwa penulis menawarkan metode Edward de Bono ini di Indonesia. Ling Majaya melihat adanya konsep kontroversi dalam dunia pendidikan kita. Di sistem ini ada dua pilihan; ya atau tidak. Tidak ada ruang untuk pilihan yang lain. Seolah pembenaran, jika yang satu benar maka yang lain salah. Pola didik seperti ini menanamkan keseragaman dalam pola pikir.
Kemudian di sekolah anak-anak senantiasa diajarkan berpikir sesuai logika, selain berpikir kritis dan berargumen. Agar ide bisa diterima, setiap orang dituntut memaparkan idenya secara logis. Jika tidak logis maka idenya ditolak. Sedang dalam kehidupan sehari-hari, logika dan argumen sering disebabkan ketidakmampuan orang mencari alternatif pilihan atau kemungkinan yang lain. Karenanya lebih baik jika anak diajarkan meluaskan cara pandangnya untuk melihat suatu persoalan. Mereka bisa memandangnya dari banyak sisi. Dengan begitu anak-anak akan menemukan beragam cara untuk melihat dan menyelesaikan sebuah persoalan. Tentu saja tanpa merasa benar sendiri.
Salah satu ungkapan Dr. Edward de Bono: “Di masa depan, ketimbang mementingkan pencarian kebenaran dengan pengorbanan yang besar, akan lebih bermanfaat bersikap fleksibel dan sederhana dengan pengorbanan yang kecil. Jika anda tidak dapat secara akurat memprediksi masa depan maka anda harus fleksibel dalam menghadapi berbagai kemungkinan di masa depan.” (hal.23)
Buku ini tidak hanya bagus untuk diapresiasi oleh para tenaga pengajar dan orang tua namun juga oleh semua orang yang ingin merevolusi cara berpikirnya. Isinya sangat cocok untuk semua usia. * * *

Dimuat koran Riau Pos pada hari Ahad, 30 juni 2013.
Judul sebelum diedit editor koran: MEROMBAK POLA PIKIR