MELATI
UNTUK BUNDA
Garis-garis keemasan yang menyepuh pohon-pohon itu
berasal dari balik punggung bukit.
Menerobos pepohonan, menguak ranting dan daun, dan berakhir di sebuah
taman bunga.
Di antara beragam macam kembang di taman itu seorang
gadis belia di atas kursi roda mengangsur setangkai melati ke arah seorang
perempuan setengah baya yang tengah tersenyum padanya. Senyum gadis itu
merekah, memperlihatkan lesung pipi yang membuatnya sangat cantik. Pemandangan
yang sungguh bagus!
“Sempurna,” desisnya. Ia belum pernah menghasilkan
lukisan seindah itu. Kombinasi warna yang hebat. Tangannya bergetar. Lukisan
itu seperti mempunyai roh yang mengalirkan kehangatan pada setiap orang yang
menyentuhnya. Juga memberi kenyamanan dan ketenangan bagi orang yang memandangnya.
Itulah sebabnya Andhina tidak pernah merasa puas menatap dan mengelus lukisan
itu.
“Bagaimana kau membuat lukisan sehebat ini?”
He-hebat? App-pakah lukisan itu
hebat?”
Tanpa berpaling sedikit pun Andhina mengangguk. “Aku
tidak melihat lukisanmu yang lebih bagus, dari ini dan aku juga belum pernah melukis
sebagus ini.”
“Kk-kau
berr-lebihan. Aku melihat lukiss-sanmu bagus-bagus kok,”
Andhini meletakkan kuasnya. Ia turut memandang lukisan yang ada di pangkuan
Andhina.
“Bagaimana kau melakukannya?”
“Seperti bias-sa, cuma … “ kalimat Andhini menggantung. Dia tampak sedang memikirkan
apa yang akan diucapkannya.
“Cuma apa?”
Andhina berbalik. Dipandanginya saudara kembarnya ini
dengan seksama.
“App-pa kau tidak melihat ss-sesuatu dalam lukisan itu?” gadis itu bertanya seolah pada dirinya
sendiri.
Andhina kembali menggantungkan lukisan itu ke dinding.
“Aku cuma melihat bukit, matahari, pepohonan, sebuah taman dengan seorang ibu
dan…seorang gadis berkursi roda,” nada suaranya seakan dipelankan di akhir
kalimat.
“K-kau hanya
mme-me-lihat itu?” Andhini mendongakkan kepalanya. Ditatapnya wajah saudara
kembarnya lekat-lekat.
Andhina mengalihkan pandang, membalas
lekat tatap Andhini. Ah, mata itu! Di sana ia melihat
ada gunung ketegaran. Ia juga melihat ada ketulusan dan keikhlasan memancar di sana. Jujur, ia
mengagumi sosok yang sekarang ada di
hadapannya. Betapa Andhini begitu kuat menghadapi kenyataan.
Mereka memang dilahirkan kembar. Sama dari semua sisi
fisiknya. Kulit yang putih, wajah yang bulat telur, hidung mancung dan dagu
yang berbelah. Bahkan mereka juga punya hobi yang sama; melukis. Yang membuat
mereka berbeda; Andhini terlahir gagap dan jalannya pincang.
Banyak orang yang tidak tahu kalau Andhina memiliki
saudara kembar. Maklum mereka tidak pernah jalan bersama. Apalagi semenjak
Andhini kecelakaan dan harus berada di kursi roda semenjak kelas empat SD.
Kelumpuhan membuat dia harus berhenti sekolah. Karena Mama tidak mau repot mengantar-jemput.
Sama halnya dengan Mama, Papa juga sibuk dengan bisnisnya. Ketidakpedulian Mama dan Papa telah menciptakan
jurang di antara mereka. Bahkan mungkin Aryo, adik mereka, sudah lupa kalau dia
punya seorang kakak lain bernama Andhini. Wajar bila Aryo lupa karena mereka tidak pernah makan bersama, nonton
bersama apalagi liburan bersama. Berpapasan pun jarang.
Jadilah Andhini anak Bik Nah, pembantu mereka.
Sehari-hari dia menghabiskan waktunya dalam kamar. Belajar, melukis dan makan
pun sering diantar ke kamar. Bik Nah-lah yang terus menyemangati,
memperhatikannya. Jika Bik Nah tidak ada jadilah ia gadis yang sunyi, selalu
mengurung diri di kamar yang merangkap tempat melukisnya.
Entah karena mereka kembar atau apa, sesekali Andhina
masih menengok Andhini. Paling tidak untuk membandingkan lukisan mereka, seperti sekarang ini.
“Apa kau ingin mengatakan ada sesuatu selain yang aku
sebutkan dalam lukisan ini?” ujar Andhina.
“Entahlah. Aku mme-memang merasa it-tu adalah lukk-kisanku yang terbaik,” gadis itu menerawang
sambil menyibak poninya.
“Aku juga berpikir lukisan ini sangat bagus bahkan
melebihi lukisanku sendiri. Aku cuma ingin tahu bagaimana kau membuatnya?”
“A-kkku
Membb-buatnya dengan hati yang jernih. Aku mewarr-nainya dengan
perasaan yang riang. Dd-dengan ss-senang.”
“Maksudmu?” Andhina mengernyitkan keningnya.
“Entahlah. Aku hanya ingin ss-setiap orang yang mme-melihh-hatnya tersenyum.”
Andhina menarik napas dan menghembuskannya pelan. Hebat! Pujinya. Dia
merasa bangga menjadi satu bagian dari diri Andhini. “Teruslah melukis,” ujarnya, ”Besok akan
aku bawakan buku baru untukmu.”
Andhina melangkah. Saat sampai di
depan pintu, dia kembali menoleh. Menangkap sebuah senyuman. Ah, ia begitu tegar.
* * *
“Bagaimana? Anak mama pasti gugup.” Senyum mama merekah tanpa
berpaling sedikit pun pada Andhina.
Ah, mama menganggap aku gugup? Apa kata-kata itu
tidak terlalu manis untuk menggambarkan sebuah ketakutan dan rasa bersalah?
Papa yang sibuk menengok kiri kanan menyuruh Andhina supaya santai. Bersama Mama, Papa mengenalkannya kepada
beberapa kenalan mereka. Membangga-banggakan Andhina sambil membusungkan dada.
Andhina makin merasa bersalah. Seandainya Mama dan Papa tahu kalau kemenangan
ini bukan miliknya? Andhina tidak bisa menerka reaksi mereka. Mungkin mereka
akan membencinya dan mau membagi cinta pada putri mereka yang lain. Itu lebih
baik, jika Mama dan Papa mau menerima Andhini. Tapi, bagaimana kalau Mama malah memaksanya
mengakui lukisan itu sebagai karyanya.
Jantung Andhina kebat-kebit begitu acara dimulai. Dia
merasa tidak sedang berada di gedung kesenian, tempat acara penyerahan pemenang
lomba melukis dilaksanakan. Dia tidak mendengar apa yang disampaikan pembawa
acara. Pikirannya sedang mengembara pada satu titik; Andhini.
Setiap kali ke rumah nenek, Andhini selalu memanjatkan
pohon jambu di belakang rumah untuknya. Andhini yang pintar memanjat dan tidak
takut ketinggian tidak pernah menolak setiap kali saudaranya minta untuk memetik buah.
Padahal dia sendiri tidak menyukai buah tersebut!
Dia akan makin gagap jika kegembiraannya sedang meluap.
Air matanya akan berderai bila Mama atau Papa mau memakan buah yang dia petik. Hanya air mata karena suaranya
terperangkap dalam tenggorokan. Dan dia tidak pernah marah walau dia hanya
dipanggil untuk disuruh-suruh.
“Bukk-bukankah kita kembar? Jik-ka Mama mme-menyayangimu berarti Mama juga sayang aku,” ujarnya suatu hari.
“Tetapi sayang Mama pada kita berbeda,”
Andhina tidak mendengar sepatah kata pun yang diucapkan Andhini. Dia
tertunduk. Memainkan ujung jarinya ke tanah. Rambutnya berkepang dua
bergerak-gerak di atas kedua telinganya. Sisiran yang tidak rapi, karena dia mengepangnya
sendiri. “Tapi aku sayang Mama.” Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum. Namun mata itu
berkilau-kilau karena ada sesuatu dikandung kelopaknya.
Lukisan Andhini yang pertama bercerita tentang mereka.
Sepasang anak kembar bermain ayunan. Di sisi lain seorang anak laki-laki main
luncuran. Itu Aryo, katanya. Papa sedang membaca koran dan Mama ada di sampingnya.
Mereka duduk di bangku panjang.
Papa dan Mama tidak peduli ketika Andhini memperlihatkan karyanya. Suaranya hilang sia-sia! Namun ia tetap
tersenyum. Ia tidak pernah berhenti melukis setelah itu. Saudara sepupu yang
menjadi gurunya selalu menyemangatinya.
Itu dulu. Sebelum Andhina mendapati Andhini terbaring di
rumah sakit karena tabrakan. Setelah itu hari-harinya dilalui dengan kursi
roda. Jika Andhina belajar melukis di sanggar maka dia hanya diajari saudara
sepupu yang bergantian dengan temannya. Sepanjang hari dia hanya berkutat
dengan kuas dan cat. Dia tidak akan pernah lagi memanjat pohon jambu untuk
Andhina.
Andhini! Ah, sedang apa dia sekarang? Apakah ia sedang menangis atau sibuk dengan
lukisan yang lain. Andhina merasa berdosa. Sangat! Ia masih ingat mata merah
Andhini menatapnya tajam. Kecewakah isyarat mata itu? Atau kebencian?
Semenjak pemberitaan itu; lukisan yang berjudul Melati Untuk Bunda, pelukis Andhina
Putri Cantika, muncul di koran, Andhini tidak mau lagi menemuinya. Pintu kamar
Andhini sering terkunci. Tampaknya dia marah besar. Apakah Andhini mau memaafkannya? Bukankah tangis dan senggaunya seminggu yang lalu menunjukkan bahwa
ia benar-benar terluka?
“Mm-mungkin bagimu lukisan itu tidak punya arti punya apa-apa. Tt-tapi bagiku lukiss-san itu telah mengikat
separuh rohku. Sssse-ndainya aku tahu kau mau bohong akk-ku tak akan membbb-biarkan kau membawanya.”
“Tapi lukisanmu menang.”
“Y-ya.! Dan
sss-semua orang tahunya itu lukisanmu!” Andhini menatap tajam,
membuatnya jengah.
“Aku akan menggantinya dengan hadiah yang pantas kau
terima.”
“Tt-tetap saja, kk-kau telah merusak keee-ppercayaanku,”
Andhina kehabisan kata-kata. Seandainya dia tidak
curang, kalau saja ia punya kepercayaan diri terhadap lukisannya sendiri, tentu semuanya tidak
serunyam ini. Tapi sayang, dia memang tidak berniat kemenangan ini untuk
Andhini. Yang dia pikirkan waktu itu adalah kebanggaan Papa dan Mama jika dia menang.
Hanya itu!
“Dhina, cepatan!” Mama menyikutnya. Andhina tergagap. Buru-buru
dihapusnya air mata yang meleleh tanpa disadari. “Kamu menangis?” Mama
memandangnya bingung.
“Tidak, Ma. Sudah
sampai di mana acaranya, Ma?”
“Kamu tidak menyimak ya? Itu nama kamu dipanggil,”
Andhina terhenyak sejenak. Setelah menarik napas
dalam-dalam, dia berdiri. Puluhan
pasang mata memandangnya. Sudah berapa kalikah namanya dipanggil? Dengan
langkah berat diseretnya kakinya ke panggung. Takut, bangga, kecewa. Semua
bercampur menjadi satu.
Dia berdiri paling ujung di antara deretan pemenang.
Tangannya terasa dingin ketika juara harapan dua menerima hadiahnya. Semakin
dekat panitia lomba dengannya keringat dingin pun makin membajirinya. Ketika
panitia berjalan ke arahnya dengan seabrek hadiah, tampak Papa dan Mama tersenyum bangga.
Aryo bertepuk tangan.
Dan wajah Andhini pun menjelma. Air mata itu… Lukisan
seorang ibu dengan gadis berkursi roda… Semua datang silih berganti. Andhina
merasa tubuhnya bergetar hebat. Semakin dekat piala itu padanya semakin kakinya
tidak kuat menyangga tubuhnya. Dan sebelum piala kemenangan berada di
tangannya, Andhina ambruk. Semua menjadi hitam.
* * *
Pekanbaru, 2009
*Dimuat di majalah STORY,
Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar