Sabtu, 15 November 2014

Embun di Atas Daun Maple: Indahnya Kebersamaan dalam Perbedaan Keyakinan

Judul buku           :    Embun di Atas Daun Maple
Penulis                 :    Hadis Mevlana
Tahun terbit          :     September 2014   
Penerbit               :    Tinta Medina (Tiga Serangkai)
Jumlah halaman    :    286  halaman
ISBN                   :    978-602-9211-72-6


Oleh : Zurnila Emhar Ch

Perbedaaan agama sejatinya bukanlah penghalang untuk membangun persaudaraan dengan orang lain. Di mana pun tempatnya, dan seperti apapun kondisinya. Nilai-nilai kebaikan yang diajarkan setiap agama akan menjadi jembatan.

Sikap kebersamaan dalam perbedaaan keyakinan itu bisa kita temukan dalam novel Embun di Atas Daun Maple ini. Keseharian Muhammad Sofyan Alfarisi, Callista Kiara Filothei dan teman-temannya membuktikannya. Persahabatan yang sudah seperti saudara mereka lakoni walau berasal dari negara dan keyakinan yang berbeda-beda.

Sofyan merupakan mahasiswa S-2 di Universitas Saskatchewan, Kanada. Dia berasal dari Teluk Kuantan, Riau. Tinggal di negeri ‘keranjang roti’ membuatnya kerap dilanda kerinduan pada emak dan Aini. Hari-harinya dihabiskan untuk kuliah, menulis, mengajar privat. Dan tentu saja dalam pergaulannya Sofyan kerap menceritakan tentang kampungnya dengan tradisi paju jalur mereka.

Sofyan tinggal di apartemen di kota Saskatoon. Sekamar dengan Felix, seorang kristiani. Tidak ada cerita yang istimewa di apartemen mereka. Hanya setiap hari selalu saja ada mawar putih dan sebuah puisi cinta ditemukan di depan pintu kamarnya. Namun Sofyan sama sekali tidak tertarik untuk mencari tahu tentang pengirimnya. Justru Felix yang berusaha menemukan sosok itu.

Hari-hari Sofyan semakin seru sejak berkenalan dengan Kiara, gadis Rusia yang dari ibu berdarah Aceh. Gadis berambut cokelat tersebut sangat bernuansa Indonesia. Di kesehariannya, Kiara kerap memakai pernak-pernik Indonesia seperti kalung khas Dayak, gelang ukiran khas Bali, anting-anting mutiara khas Lombok. Tapi bukan itu yang membuat Sofyan senang berteman dengannya. Kiara merupakan gadis yang cerdas, penuh rasa ingin tahu, sekaligus santun. Rasa ingin tahunya justru tercurah pada hal-hal yang berkaitan dengan agama.

Diskusi pertama tentang Mary the Virgin membawa mereka pada diskusi-diskusi berikutnya. Bukan hanya mereka berdua. Hampir di tiap diskusi ada Felix, Fritz, Eva, Zahra dan Olivia. Dalam perjalanannya novel ini justru dikuasai oleh diskusi-diskusi antar agama tersebut sehingga lebih berasa buku agama ketimbang novel.

Hal yang menarik dari novel setebal 286 halaman ini adalah sosok Kiara itu sendiri. Kiara tumbuh dalam keluarga yang demokratis. Orangtuanya dan Paman Gamaliel merupakan Orthodox sejati. Sedangkan Paman Moses Loachim adalah seorang protestan. Juga ada paman yang muslim. Namun kedemokratisan itu juga mendatangkan kekhawatiran. Orangtua Kiara kerap menegur Paman Moses untuk tidak membawa Kiara ke luar dari keyakinan Orthodoxnya. Bahkan kedekatan Kiara dengan Sofyan dalam berdiskusi juga ditegur oleh paman Gamaliel yang merasa Kiara sangat jauh dari ajaran Orthodox yang cendrung lebih ke batin, memperbaiki diri, dan hidup dalam budaya rasuliahnya. (hal.231)

Menurutnya, orang-orang Orthodox itu harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara memperbaiki spiritual mereka. Bukannya tidak boleh berdiskusi, hanya tidak ada gunanya. Dua keyakianan yang berbeda itu tidak untuk didiskusikan karena memang tidak bisa disatukan.” (hal.222-223).

Walau memahami inti dari keyakinannya namun tema-tema yang diperbincangkan para mahasiswa ini kerap datang dari pertanyaan Kiara.

Dan yang luar biasa dari Kiara adalah pemahamannya terhadap pembagian harta warisan dalam Islam. Ketika sekumpulan mahasiswa non muslim membicarakan warisan dalam Islam yang katanya tidak memihak wanita, Kiara justru mendatangi mereka seraya membeberkan panjang lebar tentang pembagian warisan tersebut.

“Apakah kalian tahu bahwa dalam Islam seorang laki-laki ketika menikah mempunyai kewajiban membayar mahar, menyediakan tempat tinggal, serta memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya setelah berumah tangga? Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah tanggung jawab suami, bukan?” (hal.138)

Kiara tidak peduli dengan pandangan aneh teman-temannya terhadap ‘pembelaaannya’ tersebut.

Selain keharmonisan Sofyan dan teman-teman sependidikannya, ketulusan yang menyentuh juga ditunjukkan Mario, cleaning service apartemen mereka. Ketika melihat Sofyan terburu-buru untuk menunaikan shalat subuh, Mario yang beragama kristen pun menawarkan mengantarkan Sofyan dengan sepedanya ke masjid. Dan setiap kali membagikan makanan, Mario selalu memperhatikan kehalalannya.

Romansa dalam novel karangan Hadis Mevlana ini bagi saya tidak terasa. Di akhir cerita penulis memang memberi jawaban tentang mawar putih dan puisi cinta yang selalu ditemukan di depan kamar Sofyan namun bukan berarti ada pembicaraan perasaan di antara mereka.

Hal yang menurut saya terasa agak berlebihan di sini justru terdapat pada tokoh Sofyannya. Sosok mahasiswa itu terlalu sempurna. Sofyan begitu paham dengan Alquran, pun Injil. Bahkan Sofyan mampu memecahkan tafsiran surat Maryam dan menghubungkannya dengan kata-kata Al-Masih Ilahi dalam Aramaic Code yang baru dilihatnya.

Sosok Sofyan menjadi satu-satu muara pengetahuan bagi semua pertanyaan. Dari urusan agama sampai urusan kesehatan. Sekiranya  pengetahuan ini dibagi-bagi maka tokoh yang lain juga akan terasa kehadirannya.

Untuk novel yang berbicara tentang perbedaaan keyakinan dengan toleransi yang tinggi, pilihan kaver berwarna putih dengan beberapa lembar daun maple ini terasa cocok sekali. Menenangkan. Untuk menulis buku seperti ini, penulis patut diacungi jempol karena mampu mengetengahkan diskusi tanpa diskriminasi sedikit pun. Seperti kata Kiara, “Aku selayaknya penanya dan kau penjawabnya. Selebihnya tak ada niat lain, kecuali menambah wawasan semata dan pada akhirnya aku bisa menghargai pendapat dan keyakinan orang yang berseberangan denganku.” (hal.223)

***

Oktober 2014

Dimuat di Koran Jakarta, 6 November 2014
http://www.koran-jakarta.com/?23473-keindahan%20kebersamaan%20dalam%20perbedaan%20agama

1 komentar: