Selasa, 01 April 2014

Meretas Jalan Menuju Peradaban



Judul buku            :  Sepenggal Bulan untukmu
Penulis                   :  Zhaenal Fanani
Tahun terbit           : Maret 2013
Penerbit                 :  Diva Press, Yogyakarta
Jumlah halaman     :  488 halaman





MERETAS JALAN MENUJU PERADABAN

Pesanggrahan merupakan sebuah desa di pinggir hutan. Penduduknya hidup dari menjual kayu, madu, telur semut, burung-burung, buah-buahan, sarang burung walet dan hasil hutan lainnya. Penduduknya berkisar sekitar lima ratus enam puluh tujuh kepala keluarga. Di desa itu hanya ada satu sekolah, satu mushalla dan satu orang guru.
Kebanyakan masyarakatnya membawa anak-anak mereka turut serta ke hutan agar penghasilan mereka berlimpah. Kebiasaan penduduk ini membuat siswa sekolah di Pesanggrahan hanya berjumlah empat belas orang. Dan siswa mengajinya enam orang. Satu-satunya guru yang mereka miliki adalah Pak Solikhan.
Sekolahnya menempati salah satu rumah milik Khotimah yang merupakan keturunan pendiri Pesanggrahan. Selama ini tidak ada guru dari dinas yang bertahan di sana, karena persoalan ekonomi, hingga kedatangan Tumirah.
Tumirah datang dari Surabaya dengan maksud membaktikan dirinya untuk pendidikan di Pesanggrahan. Dia bersedia menyumbangkan ilmunya tanpa digaji. Semuanya dilakukannya semata untuk mewujudkan harapan bapak angkatnya.
Khotimah, yang biasa dipanggil Emak Imah sangat senang dengan kedatangan Tumirah ke Desa Pesanggrahan. Pendekatan yang dilakukan Tumirah dengan menjadi sahabat anak-anaknya membuahkan hasil yang signifikan. Setiap hari jumlah siswa selalu meningkat. Baik di sekolah maupun siswa mengaji di mushalla.
Namun tidak semua masyarakat menyukai tindakan Tumirah. Sebagian mereka merasa kegitan Tumirah justru membuat penghasilan mereka berkurang. Anak-anak mulai enggan diajak ke hutan untuk membantu orang tua mencari nafkah.
Keresahan sebagian masyarakat ini semakin meluas dengan dukungan dari Sukmotejo, seorang sesepuh Pesanggrahan. Mereka sepakat meminta Tumirah menghentikan kegiatannya. Dan segera meninggalkan Pesanggrahan.
Keadaan menjadi semakin panas ketika Danuparang, sahabat Sukmotejo, malah mendukung kegiatan Tumirah. Ketika Sukmotejo menggalang kekuatan untuk mengusir Tumirah, Danuparang juga menggalang kekuatan untuk mempertahankan Tumirah.
Pada saat yang sama keponakan Pak Solikhan, Samin, datang ke Pesanggrahan untuk ikut menjadi guru. Dalam suasana yang tak karuan itu Tumirah mulai merasakan ketertarikan pada Samin. Gelagat itu terbaca oleh Emak Imah dan Pak Solikhan yang malah berniat menjodohkan mereka. Di saat yang sama, Tumpak Siring, anak lelaki satu-satunya Sukmotejo datang ke rumah Emak Imah untuk melamar Tumirah. Tumpak Siring berjanji akan mengamankan kembali keadaan.
Novel  ini mewakili polemik yang dihadapi beberapa daerah di Indonesia. Ketika kota-kota begitu gemerlapan, maka beberapa desa harus tertatih-tatih untuk mendapatkan pendidikan bagi masyarakatnya.
Ketika kebanyakan orang berlomba-lomba menunjukkan kemapanan dan kemampuan dengan meniru gaya hidup masyarakat kota atau yang mereka lihat di tivi maka menemukan orang-orang yang masih peduli pada nilai-nilai hidup terasa semakin langka. Tata krama dan moral tidak lagi menjadi acuan dalam memandang seseorang. Keberhasilan hanya dipandang dari kemampuannya mengomsumsi barang-barang yang ditawarkan televisi sekalipun itu bukan kebutuhannya.
Novel ini mempunyai konflik sangat berpotensi untuk diolah hanya terasa kurang tajam. Perseteruan Sukmotejo dan Danuparang hanya berkisar seputar rencana pengusiran Tumirah. Perseteruan itu lebih digambarkan pada perdebatan-perdebatan sengit di antara dua kubu. Kisah cinta Samin – Tumirah – Tumpak Siring juga nampak seperti sebuah wacana. Cara penyajian novel ini yang sering mengulang-ulang penjelasan dari bab-bab sebelumnya justru membuat pembaca menjadi lelah dan ketegangan dalam membaca jadi menurun.
Walaupun begitu, kisah hidup Tumirah sebelum sampai di Pesanggrahan sangat menarik untuk dinikmati. Cinta kasih yang bisa terjalin tanpa ada ikatan darah anatara Tumirah dan bapak angkatnya mengajarkan tentang ketulusan.
* * *
2013
Telah dimuat Harian Mimbar Umum, Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar