Judul
buku : Sepenggal Bulan untukmu
Penulis : Zhaenal Fanani
Tahun
terbit : Maret 2013
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Jumlah
halaman : 488 halaman
MERETAS JALAN MENUJU PERADABAN
Pesanggrahan
merupakan sebuah desa di pinggir hutan. Penduduknya hidup dari menjual kayu,
madu, telur semut, burung-burung, buah-buahan, sarang burung walet dan hasil
hutan lainnya. Penduduknya berkisar sekitar lima ratus enam puluh tujuh kepala
keluarga. Di desa itu hanya ada satu sekolah, satu mushalla dan satu orang guru.
Kebanyakan
masyarakatnya membawa anak-anak mereka turut serta ke hutan agar penghasilan
mereka berlimpah. Kebiasaan penduduk ini membuat siswa sekolah di Pesanggrahan
hanya berjumlah empat belas orang. Dan siswa mengajinya enam orang. Satu-satunya
guru yang mereka miliki adalah Pak Solikhan.
Sekolahnya
menempati salah satu rumah milik Khotimah yang merupakan keturunan pendiri
Pesanggrahan. Selama ini tidak ada guru dari dinas yang bertahan di sana, karena
persoalan ekonomi, hingga kedatangan Tumirah.
Tumirah
datang dari Surabaya dengan maksud membaktikan dirinya untuk pendidikan di
Pesanggrahan. Dia bersedia menyumbangkan ilmunya tanpa digaji. Semuanya
dilakukannya semata untuk mewujudkan harapan bapak angkatnya.
Khotimah,
yang biasa dipanggil Emak Imah sangat senang dengan kedatangan Tumirah ke Desa
Pesanggrahan. Pendekatan yang dilakukan Tumirah dengan menjadi sahabat
anak-anaknya membuahkan hasil yang signifikan. Setiap hari jumlah siswa selalu
meningkat. Baik di sekolah maupun siswa mengaji di mushalla.
Namun
tidak semua masyarakat menyukai tindakan Tumirah. Sebagian mereka merasa
kegitan Tumirah justru membuat penghasilan mereka berkurang. Anak-anak mulai
enggan diajak ke hutan untuk membantu orang tua mencari nafkah.
Keresahan
sebagian masyarakat ini semakin meluas dengan dukungan dari Sukmotejo, seorang
sesepuh Pesanggrahan. Mereka sepakat meminta Tumirah menghentikan kegiatannya.
Dan segera meninggalkan Pesanggrahan.
Keadaan
menjadi semakin panas ketika Danuparang, sahabat Sukmotejo, malah mendukung
kegiatan Tumirah. Ketika Sukmotejo menggalang kekuatan untuk mengusir Tumirah,
Danuparang juga menggalang kekuatan untuk mempertahankan Tumirah.
Pada
saat yang sama keponakan Pak Solikhan, Samin, datang ke Pesanggrahan untuk ikut
menjadi guru. Dalam suasana yang tak karuan itu Tumirah mulai merasakan
ketertarikan pada Samin. Gelagat itu terbaca oleh Emak Imah dan Pak Solikhan
yang malah berniat menjodohkan mereka. Di saat yang sama, Tumpak Siring, anak
lelaki satu-satunya Sukmotejo datang ke rumah Emak Imah untuk melamar Tumirah.
Tumpak Siring berjanji akan mengamankan kembali keadaan.
Novel
ini mewakili polemik yang dihadapi beberapa daerah di Indonesia. Ketika
kota-kota begitu gemerlapan, maka beberapa desa harus tertatih-tatih untuk
mendapatkan pendidikan bagi masyarakatnya.
Ketika
kebanyakan orang berlomba-lomba menunjukkan kemapanan dan kemampuan dengan
meniru gaya hidup masyarakat kota atau yang mereka lihat di tivi maka menemukan
orang-orang yang masih peduli pada nilai-nilai hidup terasa semakin langka.
Tata krama dan moral tidak lagi menjadi acuan dalam memandang seseorang.
Keberhasilan hanya dipandang dari kemampuannya mengomsumsi barang-barang yang
ditawarkan televisi sekalipun itu bukan kebutuhannya.
Novel
ini mempunyai konflik sangat berpotensi untuk diolah hanya terasa kurang tajam.
Perseteruan Sukmotejo dan Danuparang hanya berkisar seputar rencana pengusiran
Tumirah. Perseteruan itu lebih digambarkan pada perdebatan-perdebatan sengit di
antara dua kubu. Kisah cinta Samin – Tumirah – Tumpak Siring juga nampak
seperti sebuah wacana. Cara penyajian novel ini yang sering mengulang-ulang
penjelasan dari bab-bab sebelumnya justru membuat pembaca menjadi lelah dan
ketegangan dalam membaca jadi menurun.
Walaupun
begitu, kisah hidup Tumirah sebelum sampai di Pesanggrahan sangat menarik untuk
dinikmati. Cinta kasih yang bisa terjalin tanpa ada ikatan darah anatara
Tumirah dan bapak angkatnya mengajarkan tentang ketulusan.
*
* *
2013
Telah dimuat Harian Mimbar Umum, Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar