Minggu, 12 Oktober 2014

Selamat Datang di Era Imagologi: Di Balik Gurihnya Sajian Internet dan Televisi


Judul buku            :  Selamat Datang di Era Imagologi
Penulis                   :  Anggrahini KD
Tahun terbit           : Maret 2014
Penerbit                 :  Pustaka Nusantara
Jumlah halaman     :  160 halaman
ISBN                     :  978-602-7645-25-7





Oleh: Zurnila Emhar Ch

Saat ini internet bukan lagi sesuatu yang asing di telinga. Internet telah akrab dengan semua golongan. Pengusaha, mahasiswa, pelajar SD mengenal internet. Begitu juga dengan tukang jual sayur, petani, pengamen, hingga pembantu rumah tangga.
Dengan internet semua serba mudah. Orang tua yang tidak bisa membantu anaknya menyelesaikan tugas sekolah bisa dibantu oleh internet. Sediakan saja seperangkat komputer di rumah. Atau beri saja mereka uang untuk ke warnet.
Berkat perkembangan internet, dunia memang bisa dilipat dan diringkas. Sosialisasi, jual-beli, hingga perencanaan teror dan pembunuhan, bisa dengan mudah dilakukan hanya dengan jentikan jemari tangan. Koneksi internet, bukan lagi sekadar perantara, melainkan juga representasi sebuah dunia. (hal.38)
Internet juga bisa melahirkan sebuah aksi-aksi kemanusiaan seperti Koin Cinta Bilqis yang merupakan usaha menggalang dana untuk pengobatan Bilqis yang mengidap penyakit atresia bilier beberapa waktu lalu. Juga aksi mendukung Prita Mulyasari yang berperkara dengan sebuah rumah sakit terkenal. Dengan aksi-aksi peduli tersebut, internet menunjukkan kemampuannya untuk bicara secara nyata.
Internet telah menjadi muara bagi banyak kepentingan. Internet bahkan bisa mengubah karakter seseorang. Sifatnya jadi bertolak belakang dengan kenyataan. Yang nampak santun di dunia nyata, bisa menggila di dunia maya. Yang biasanya pemurung pun jadi ceria.
Namun, apakah semua sajian internet itu layak disantap? Tentu tidak! Para pelajar dan remaja masih terlalu dini untuk mengenal gaya hidup bebas. Juga tak ada keuntungan membuka situs-situs yang menyimpan konten pornografi bagi siapapun.
Untuk menghadapi dunia maya yang begitu gemerlap tidak hanya dibutuhkan perlindungan dengan UU ITE atau dengan memblokade perangkat komunikasi terhadap situs-situs berbahaya. Hal paling pokok adalah tetap memakai akal sehat dan nurani terhadap mesin pencari yang serba tahu itu.
Begitu juga dengan televisi. Beragam program dikemas agar menarik untuk ditonton. Sasaran dari tiap program pun jelas. Ada label BO (Bimbingan orang Tua), R (Remaja) dan D (Dewasa). Namun label-label itu kerap diabaikan. Kebanyakan orang tua selalu merasa aman jika anaknya menonton kartun. Padahal lewat kartun anak-anak sebenarnya dijejali dengan tayangan yang mengajarkan kekerasan. Ada pukulan, tendangan, tamparan dan kekejian. Setelah kartun, sinetron pun ambil kendali. Jam tidur dan jam belajar anak diatur oleh tayangan televisi.
Abdurrahman Faiz menulis tentang hal ini dalam puisinya; “Dari pagi sampai malam/ kami menghapal televisi/ kami cerna kelicikan, darah, goyangan, dan semua jenis hantu/ sambil mendebukan buku-buku/”
Semoga apa yang dialami Grace Cristina, pemenang Lomba Curhat Anak tentang Televisi yang diadakan UNICEF, 2006, tidak terjadi kepada anak-anak kita. Sewaktu muda Grace seorang maniak televisi. Suatu ketika, orang tuanya datang mengganggu saat dia asyik bermain. Dengan penuh amarah, Grace mencengkram bahu ayahnya dan berteriak, “Kubunuh kau, Papa!” (hal.66)
Dan untuk pemirsa setianya yang remaja dan dewasa, televisi menghadirkan program infotainment dan sinetron yang kebanyakan menampilkan wajah segar berumur belasan tahun.
Dalam infotainment batas realita sengaja diabu-abukan. Pemirsa dipermainkan dengan narasi yang berdasarkan praduga semata. Kronologis pemberitaan membuat penggemar acara gosip seperti tengah membaca novel. Industri pertelevisian telah berhasil menggiring watak pemirsa acara gosip untuk terus berprasangka. Dan mencari muara curiga tersebut lewat tayangan infotainment. Televisi telah menjadi komoditi yang menggiurkan. Penonton digunai-gunai agar setia menjelma menjadi buruh bagi industri televisi.
Para remaja pun berlomba-lomba untuk menjadi bintang. Mereka mengikuti casting dan ajang-ajang pencarian bakat. Ada pula yang mengunggah vidio di intenet. Dunia musik pun menghentak. Berbagai aliran dan penyanyi pendatang baru bermunculan. Televisi sebagai sarana audio-visual menjadi wadah untuk mendapatkan tempat di hati pemirsa. Sihir televisi dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk mendulang rupiah dan popularitas. Walau kadang musikalitas syairnya ala kadarnya.
Pemirsa musik terbuai dengan gerak penyanyi yang terkadang lipsync juga tergoda oleh wajah rupawan bintang sinetron ataupun para pelawak yang unjuk menyanyi. Belum lagi lirik dan aransemen apa adanya yang menggejala, goyang erotis ala penari striptease. Karena berkiblat pada televisi maka selera pun nyaris seragam.
Sayangnya ajang-ajang pencarian bakat ini menemukan bintang dengan akumulasi SMS. Beberapa peserta lebih sering menarik simpati publik dengan menjual kisah sedih. Simpati merupakan kekuatan dan kelemahan. Kekuatan yang dihasilkan bisa berupa peluang untuk disukai, dihargai. Namun keadaan ini bisa membuat seseorang tidak lagi menilai secara objektif sehingga kualitas tidak lagi jadi nomor satu.
Sebenarnya diakui atau tidak nilai kontraklah yang membuat para pemain sinetron stripping yang kebanyakan remaja rela menjalani hari-hari yang kaku. Syuting hingga larut malam, tidur, bangun, sekolah, syuting lagi. Begitulah setiap hari.
Bayaran yang besar tentu menuntut pengorbanan yang besar pula. Masa kanak-kanak dan remaja mereka hilang atas nama profesionalisme. Mereka kehilangan waktu bermain, tak punya kesempatan untuk bersosialisasi secara normal. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian bermasalah dengan obat-obat terlarang, gaya hidup bebas, kabur dari keluarga, hingga percobaan bunuh diri.
Ternyata, uang melimpah dan popularitas tak bisa mencukupi kebutuhan psikologis mereka pada masa perkembangan karena memang belum saaatnya mereka jadi pekerja.
David Buckingham, seorang filsuf Jerman mengatakan; media mengenalkan anak kepada dunia orang dewasa dan membuat mereka tercerabut dari fase yang sebenarnya. Keluasan media tanpa kontrol membuat anak berpeluang mendapat asupan negatif yang kerap luput disadari.
Jadi, pendampingan orang tua muthlak perlu karena televisi dan internet menyimpan banyak pelajaran, mulai dari mengenal satwa hingga perebutan harta benda. Keduanya memang sebuah benda mati namun selalu hidup di hati penonton dan penggunanya yang selalu menjadi teman setia.
Buku terbitan Pustaka Nusantara ini merupakan dokumentasi dari tulisan-tulisan penulis yang pernah diterbitkan harian Suara Merdeka. Isinya sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Buku ini cocok dibaca semua kalangan. Terlebih bagi mereka yang ingin belajar menulis artikel, buku ini bisa jadi acuan.
* * *
Dimuat harian Singgalang, 28 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar