Oleh : Zurnila Emhar Ch
dimuat koran Singgalang, April 2010
Cuaca memang tidak menentu. Terkadang hujan mengguyur dengan deras
di pagi hari dan siangnya malah panas nian. Terkadang sedang panas-panasnya
hujan turun seketika.
Seperti juga pagi ini, hujan turun deras dan digantikan panas yang
datang tiba-tiba. Langsung terik. Rosna segera mengangkat kain cuciannya ke
luar. Dalam hitungan detik kain-kain itu telah bertebaran di pagar bambu depan
rumahnya. Dilihatnya langit. Sangat
bersih. Biru cemerlang. Tidak ada awan hitam yang perlu dikhawatirkan.
Setelah mengunci pintu, Rosna bergegas pergi.
Seperti biasa. Rosna memulai rutinitasnya dari gang Pertama. Setiap
melihat onggokan sampah matanya selalu berbinar. Berharap ada rezkinya di sana. Tidak jarang Rosna juga
membuka simpul kantong plastik kresek yang berisi sampah. Dia selalu berharap ada
bahan-bahan plastik di dalamnya yang bisa dia ambil.
Panas yang terik membuat Rosna mandi keringat. Bajunya yang lusuh
mulai basah. Dia tidak pedulikan. Inilah hidupnya. Beginilah rutinitasnya
setiap hari. Rutinitas seorang pemulung. Sambil jalan Rosna memperbaiki penutup
kepalanya. Langkahnya tetap ligat. Karung goni yang biasanya tersampir di
bahunya masih berada dalam genggaman. Masih kosong! Pengait di tangan kanannya
bergerak lincah seakan memiliki mata.
* * *
“Mak Ijal!” seseorang berseru. Rosna mengangkat kepalanya; dia merasa
dipanggil.
Seseorang perempuan paruh baya ke luar dari rumah bercat pink di
depannya. Dengan langkah tergesa dia berjalan ke arah Rosna.
“Mak Ijal, kalau mau mulung, mulung aja. Jangan sambil nyuri!”
“Nyuri?” Rosna terperanjat. Matahari baru sepenggalahan naik, namun
sudah ada yang menuduh dia mencuri. “Saya tidak pernah mencuri, Bu.”
“Alaah, jangan mengelak. Kalau bukan Mak Ijal siapa lagi. Satu-satunya
pemulung di sekitar sini kan
cuma Mak Ijal.”
“Tapi saya tidak pernah mencuri. Saya cuma mengambil barang yang
sudah diletakkan di tong sampah.”
“Saya tidak mau tahu. Mana ada maling yang mau ngaku. Pokoknya Mak
Ijal harus ganti pot bunga saya yang hilang. Itu baru saya beli kemarin.”
“Aduh, Ibu. Saya tidak pernah mengambil apapun di pekarangan Ibu,”
“Yang jelas kalau Mak Ijal tidak ganti, Mak Ijal akan saya laporkan
ke Pak RT. Biar Mak Ijal diusir dari sini. Pemulung hanya meresahkan!”
Setelah mengumpat perempuan itu segera berbalik. Rosna masih terpaku
di tempatnya. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia memang seorang
pemulung. Tapi bukan pencuri. Dia tidak pernah mengambil barang-barang yang
belum diletakkan ke tong sampah.
Rosna tahu, tuduhan semacam itu adalah resiko pekerjaannya. Ada banyak orang yang
menghubungkan pemulung dengan pencurian.
Mungkin memang ada di antara orang yang seprofesi dengannya yang seperti
itu. Seperti Ijah, kemarin di mengambil sepasang baju di jemuran yang dilewatinya
untuk anaknya. Dan masih ada beberapa
kawannya yang berkelakuan seperti itu. Namun dia tidak pernah mencuri
sekali pun.
Bukan keinginan hatinya menjadi pemulung. Tuntutan hidup dan
keterbatasan kemampuan yang membuatnya
memilih jalan ini. Suaminya meninggal dua tahun yang lalu setelah
mengidap malaria. Rosna yang biasanya menjadi buruh cuci harus terjun
sepenuhnya untuk menghidupi keluarga
setelah kepergian suaminya.
Bukan hal yang mudah baginya menghidupi empat orang anak yang
beranjak dewasa. Beruntung Suri, anak gadis
tertuanya kemarin masuk SMK jurusan menjahit. Sekarang dia sudah
bekerja. Rosna menguatkan Suri untuk menyelesaikan sekolahnya sekalipun
suaminya meninggal sewaktu Suri di penghujung kelas dua.
Roni, anak keduanya hanya sampai Tsanawiyah. Dia memutuskan untuk
tidak melanjutkan sekolahnya. Sekarang dia belajar membengkel di tempat abang
temannya. Sementara dua orang adiknya masih kelas dua dan kelas lima SD.
Syukurnya, sedikit banyak Suri bisa membantu. Bulan lalu dia membongkar celengannya untuk
membayar SPP adik-adiknya. Dan Roni juga
tidak pernah lagi meminta uang jajan pada Rosna. Setidaknya untuk sabun mandinya sendiri dia bisa beli.
Dengan segala kemampuannya Rosna bertekad agar anak-anaknya bisa tetap sekolah seperti
pesan suaminya. Mereka sudah biasa makan
nasi aking atau cuma bersambal kerupuk. Itu tidak masalah bagi mereka.
Yang penting hari depan lebih baik.
* * *
“Kenapa kau tidak kawin saja dengan Pak Burhan? Bukankah jika kau
kawin dengannya hidupmu akan lebih baik. Roni bisa melanjutkan sekolah. Kau
tidak perlu memulung lagi.” Itu ucapan
Sinah, tetangganya yang sama-sama buruh cuci.
Rosna diam saja. Sekalipun hidupnya susah, tidak ada sedikit pun
niat untuk mengganti lakinya. Baginya kemiskinan mereka juga bukan kehendak
Bang Syahrul, suaminya. Walau hanya seorang sopir oplet, Bang Syahrul
adalah laki-laki yang bertanggung jawab,
penyayang dan setia. Bang Syahrul-lah yang mengajari Rosna bahwa dia tidak perlu mengeluh dalam hidup.
Karena keluhan tidak akan merubah apapun. Yang harus dia lakukan adalah
bergerak.
“Hei Mak Ijal, kenapa kau diam saja?” Sinah mengagetkannya.
“Sudah takdirku menjadi janda. Dan bukan keinginan bang Syahrul
meninggalkan kami dengan segala kepahitan ini.”
Sinah tertawa.
“Jangan konyol, Mak Ijal. Lakimu sudah dua tahun mati. Kau juga
masih muda. Pikirkan masa depan anak-anakmu.”
“Aku menjadi pemulung juga karena memikirkan anak-anakku. Aku tidak
punya keterampilan. Aku tidak tamat SD. Aku tidak punya modal untuk berjualan.
Jika aku bisa menjahit, aku akan terima tampahan. Tapi aku tidak bisa melakukan
semua ini. Namun aku menginginkan nasib anak-anakku lebih baik dari aku.”
“Karena itu tidak ada salahnya kau terima lamaran Pak Burhan.”
Rosna tahu siapa Burhan. Laki-laki tua berusia tujuh puluh tahun.
Genit. Punya banyak istri. Istri mudanya baru berumur tiga puluh tahunan. Untuk
menghidupi istri dan anak-anaknya tersebut dia hanya memiliki sebuah kios di
Pasar Bawah. Grosir dan eceran. Tapi Rosna tidak tertarik. Dia tahu bagaimana
Pak Burhan memperlakukan istri dan anak-anaknya. Mereka tetap cari makan
sendiri-sendiri. Rosna juga tahu kedekatan Pak Burhan dengan Sinah-lah yang
membuat Sinah mendesak Rosna menerima lamaran Pak Burhan. Pak Burhan pasti
menjanjikan sesuatu untuknya.
Tapi hati Rosna sudah tertutup. Dia telah menganggukkan kepala
ketika suaminya berkata sebelum meninggal, “Abang tak rela kalau kau kawin
lagi.”
Dan Rosna akan memegang janjinya.
* * *
Hari sudah sore. Langit kembali gelap. Namun karung goni yang disandang Rosna belum penuh,
sekalipun dia sudah berjalan jauh dari daerah tempat tinggalnya. Berarti uang
sepuluh ribu pun tidak bisa dia bawa pulang.
Sesekali Rosna meraba tenggorokannya yang dahaga. Namun dia
benar-benar tidak punya uang walau sekedar beli aqua gelas. Rosna menelan
ludahnya.
Dia harus mengganti pot bunga tetangganya. Sepatu Ijal yang sudah
tidak layak pakai juga harus diganti. Kontrakan rumah sudah dua bulan nunggak
dan harus dibayar. Karung goni yang disandangnya terasa makin berat.
Gerimis mulai turun. Rosna mempercepat langkahnya.
Sepanjang jalan dia masih
mencoba memungut barang-barang berbahan
plastik dengan pengait di tangannya. Tapi itu tidak bisa memenuhkan karung
goninya. Rosna terus berjalan sambil dahaga.
Seperti biasa, hujan langsung turun dengan derasnya. Rosna berlari
ke emperan sebuah ruko. Petir sambar-menyambar. Langit sangat gelap. Untung
pintu ruko itu tertutup. Jika tidak, besar kemungkinan tidak akan diusir.
Sangat sulit mencari tempat berteduh bagi seorang pemulung yang membawa karung
goni seperti dia.
Hujan makin deras. Satu persatu sepeda motor mulai parkir di depan
Rosna. Sepasang muda-mudi yang berpelukan parkir di depan Rosna. Tubuh mereka
sama-sama basah. Pasti mereka juga tidak menyangka hujan akan langsung deras
seperti ini. Pikiran Rosna sedikit terganggu dengan pemandangan yang ada di
depannya. Dia teringat Suri. Anak gadisnya yang sudah berusia dua puluh tahun.
Mungkin tidak lama lagi dia akan kawin. Tapi laki-laki mana yang hendak kawin
dengannya? Di mana pula helat akan digelar?
Seandainya bapak Ijal masih hidup mungkin keadaan tidak seperti ini.
Setidaknya ada lelaki dewasa yang akan dipandang orang. Tapi sekarang hidupnya seperti
ijuk tak bersaga, tidak ada yang menjadi pelindung. Sekalipun itu tetangga.
Jika Roni dan Ijal seperti balon, pasti akan dia tiup agar cepat besar. Tapi
Roni dan Ijal bukan balon. Mereka tumbuh dan butuh waktu untuk berproses.
“Aww…!”
Gadis yang duduk di atas motor yang parkir di depan Rosna makin erat
memeluk cowoknya, begitu petir dan kilat sambar-menyambar. Dia tidak peduli
apakah sepasang muda-mudi itu suami-istri atau bersaudara. Rosna merasa dirinya
sudah di pagar rumah. Suri belum pulang. Kain-kain belum diangkat dari jemuran.
Ijal dan kakak perempuannya mengerang kelaparan. Sebelum pergi memulung, Rosna
memang tidak meninggalkan apapun di bawah tudung saji.
Hari sudah hampir sempurna gelap. Orang-orang sudah selesai shalat
maghrib. Namun hujan masih deras. Tempiasnya pun mulai membasahi Rosna yang
makin merapat ke dinding ruko. Langit benar-benar hitam. Kilat masih
sambar-menyambar. Bagaimana dia biasa pulang? Tidak ada sepeser uang pun di
dalam sakunya. Apakah Suri sudah pulang dan memasak? Apakah Ijal ingat untuk
meletakkan baskom kecil di tengah rumah, tempat air biasa tergenang akibat atap
yang bocor? Rosna makin dahaga sekaligus kedinginan. Karung goni yang melepok di kakinya terasa makin berat.
(ZECh)
Pekanbaru, 24 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar