Judul buku : Apa
yang Kamu Inginkan, Ran?
Penulis : WS Nugie
Tahun
terbit : Februari 2014
Penerbit : Oase Qalbu
Jumlah
halaman : 302 halaman
ISBN : 978-602-7645-24-0
KETIKA REMAJA MENCARI JATI DIRI
Amran
berubah. Tidak ada lagi anak yang penurut, cerdas, aktif dalam belajar dan
senantiasa dapat sanjungan. Sejak dimasukkan orang tuanya ke ma’had, dia
menjadi temperamen, suka melanggar aturan, dan indisipliner. Baginya ma’had tak
ubahnya penjara.
Berulang
kali Amran dihukum akibat ulahnya, tapi itu tidak membuatnya jera. Meninggalkan
shalat, ke luar ma'had tanpa izin, melempar piring dan mencela makanan
dilakukannya tanpa beban dan rasa takut. Berbagai kebohongan dengan mudah
dikarangnya agar terhindar dari hukuman.
Amran
merupakan anak tunggal. Kedua orang tuanya dikenal alim. Dikarenakan pergaulan
pemuda di lingkungannya tidak sehat, maka orang tuanya memasukkan Amran ke
ma’had. Sayangnya, Amran tidak setuju dengan pilihan tersebut.
Perkenalan
Amran dengan Ali Syahbana, membuatnya makin menjadi-jadi. Ali, yang mantan
siswa ma’had senantiasa mendukung setiap rencana buruknya. Pada sebuah
kesempatan, dengan ditemani Ali, Amran
pun kabur dari ma’had. Mereka jalan-jalan ke Surakarta. Sekadar melepas jenuh.
Namun, itulah pelanggaran terakhir yang dilakukannya. Sepulang dari Surakarta,
Amran dikeluarkan.
Sejak
berada di tengah-tengah keluarganya, kelakuan Amran tidak berubah. Malah makin
menjadi-jadi. Hari-harinya dihabiskan dengan nongkrong bersama teman-temannya,
merokok, dan mabuk-mabukan.
Tentu
saja orang tuanya malu dengan perangainya yang menjadi gunjingan tetangga.
Amran pun dikurung ayahnya di kamar.
Lagi-lagi
maksud orang tuanya disalahartikan. Egonya sebagai remaja menuntut kebebasan,
perasaan dihargai, dan dimengerti. Merasa diperlakukan tidak adil, Amran pun
kabur.
Dalam
pelariannya, Amran berkenalan dengan Cemong, seorang pengamen yang mengajaknya
bergabung. Setiap hari mereka bekerja dan harus menyetor pada koordinator
pengamen dengan nominal yang telah ditentukan.
Ketika
Amran mulai merasa nyaman dengan kehidupan barunya, masalah kembali
menghampiri. Bosnya dibekuk polisi karena mengedarkan narkoba. Pada saat yang
sama Amran dikeroyok sesama pengamen dan markas mereka akan dijadikan
pemerintah sebagai pusat perbelanjaaan.
Untuk
kedua kalinya, Amran kembali terlunta-lunta. Perkenalannya dengan Pak Kasman
mulai menyadarkannya. Hidup di tengah keluarga pedagang es cendol itu membuat
Amran mulai mensyukuri hidupnya, mau menerima nasehat, menghargai orang lain, rajin
beribadah dan mempelajari ilmu agama. (hal 240)
Kerukunan
dan kebersahajaan keluarga Pak Kasman mulai menghadirkan rindu pada orangtuanya
di hati Amran. Namun, kekesalan terhadap ayahnya membuatnya enggan pulang.
Novel
setebal 302 halaman ini juga mengetengahkan sejarah kota Surakarta. Pada bab
keempat, pembaca akan disuguhi pengetahuan tentang sejarah berdirinya
Surakarta, jalur transportasinya, peninggalan kebudayaannya, tempat wisatanya hingga
makanan yang khas. (hal. 28 sampai 40)
Menurut
saya, membaca novel ini seperti menonton sinetron Indonesia; endingnya terlalu
dipaksakan. Diceritakan Amran mengalami kecelakaan saat menghindari bapaknya.
Setelah melewati masa komanya, Amran dan orang tuanya langsung membicarakan
masalah sekolah. Saat itu juga, Amran menyatakan kesediaannya untuk kembali
masuk ma’had asal orang tuanya bersedia menyekolahkan Cemong dan kedua anak Pak
Kasman. Sesaat setelah orang tuanya menyetujui permintaannya, Amran pun pergi
untuk selama-lamanya.
Setelah
membaca novel ini sampai halaman terakhir, saya merasakan ada yang janggal dari
kisahnya; perubahan Amran sewaktu hidup di jalanan. Jika di ma’had hampir
setiap hari Amran melakukan pelanggaran, maka sewaktu jadi pengamen tiba-tiba
saja Amran jadi penyabar, salatnya pun tidak pernah tinggal. Tidak pernah
merokok apalagi mabuk-mabukan. Padahal jika diperhatikan justru hidup di
jalananlah yang akrab dengan hal-hal yang negatif. Apalagi di antara
teman-temannya ada yang menjual narkoba. Ditambah lagi rentang waktu kisah yang
sangat pendek membuat cerita ini terasa kurang alami.
Hal
lain yang saya rasa aneh adalah perbedaan judul pada kovernya (Apa yang Kamu
Inginkan, Ran) dengan yang tertera pada halaman judul (Apa yang Kau Inginkan, Ran).
Menurut dugaan saya, ini semata-mata karena human
error. Selain itu, banyaknya
kesalahan dalam tanda baca juga membuat kenyamanan membaca jadi berkurang.
Di
luar itu semua, tema yang dihadirkan penulis cukup menarik. Sambil menyusuri
bab perbabnya pembaca bisa sekalian mengenali kehidupan di pesantren dengan
bahasa-bahasa khasnya para santri.***
*dimuat
rimanews.com, Jumat, 16 April 2014 http://www.rimanews.com/read/20140416/148176/ketika-remaja-mencari-jati-diri