Judul buku : (Bukan)
Salah Waktu
Penulis : Nastiti Denny
Tahun terbit : Desember
2013
Penerbit : Bentang
Jumlah halaman : 248
halaman
ISBN : 978-602-7888-94-4
LUKA DARI MASA LALU
Tema kehidupan rumah tangga memang tidak ada
habisnya untuk diceritakan. Beragam kisah terhampar untuk diambil hikmahnya. Selain dari menikmati romansa
dan bersabar menjalani peliknya hidup berkeluarga, kesalahan yang tidak disengaja sekalipun layak untuk
diungkapkan pada pasangan. Jujur. Kiranya itulah yang ingin
disampaikan Nastiti Denny dalam novel (Bukan) Salah Waktu ini.
Dikisahkan, Sekar
memutuskan meninggalkan pekerjaannya untuk fokus
pada keluarga. Perceraian orang tuanya
yang sama-sama sibuk membuat Sekar ingin menjadi perempuan yang pantas sebagai
istri dan ibu (hal. 65). Dalam menjalani peran
barunya, Sekar belajar memasak kepada Marni, pembantunya yang berbakat. Sejak itu Sekar tidak pernah
absen menyiapkan sarapan dan bekal untuk Prabu, suaminya.
Dua tahun menikah
tanpa hadirnya buah hati bukan masalah bagi mereka. Memiliki rumah dengan uang pribadi sudah cukup
membahagiakan walaupun hubungan mereka tidak begitu romantis.
Ketenangan rumah tangga itu mulai terusik dengan kemunculan Bram. Dari Bram, Sekar mendapati
kenyataan tentang masa lalu suaminya yang telah memiliki anak dari Laras, kakak
Bram (hal. 76).
Berita itu
tidak membuat Sekar serta merta meledak. Dia
sadar dirinya juga merahasiakan kondisi keluarganya. Dia
tidak ingin kekahawatiran mertuanya menjadi kenyataan. Sekar mengerti, dia bisa
menikah dengan Prabu karena keluarga suaminya
tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Seandainya mertuanya tahu
orang tuanya sudah bercerai, pasti dulu mereka
menolaknya sebagai menantu.
Di sisi lain, Prabu baru mengetahui kalau dia
telah memiliki anak yang berusia delapan tahun dari Laras, saat meeting di
Bogor (hal. 101). Masalahnya terasa makin
rumit dengan dendam yang mengarah pada ayahnya. Laras
dan Bram kembali untuk menghancurkan keluarganya. Laras menganggap ayah Prabu
adalah penyebab kehancuran keluarganya. Jabatan ayah Prabu di dinas pertanahan
sebelas tahun lalu telah membuat usaha ayah Laras bangkrut dan membuat ayahnya
depresi hingga gantung diri.
“Karena ayahmu, ayahku
memutuskan meninggalkan aku, ibuku dan adikku. Membuat hidup kami terpuruk
(hal. 106).
Novel ini mengalir dengan tenang. Kilas balik masa lalu tokoh utama menjadi
kekuatan alur. Namun kemunculan Laras dan
Bram yang sebenarnya merupakan konflik utama justru tidak terasa imbasnya pada
rumah tangga Sekar dan Prabu. Kenyataan bahwa Sekar anak pungut juga tidak
menyentuh hubungan mereka (hal. 158).
Konflik yang seharusnya menguatkan tema terasa kurang berhasil dibangun
penulis.
Ada
beberapa hal yang agak ganjil dalam
hubungan Sekar dan Prabu. Pertama, keduanya
berpisah selama tiga minggu dan sama sekali tidak berkomunikasi. Prabu mengurusi urusannya dengan Laras, membuktikan kebenaran cerita tentang ayahnya. Tak ada permintaan maaf pada
Sekar. Dan Sekar sibuk merawat mamanya yang terserang stroke. Tidak ada pembicaraan tentang masalah
yang menghampiri mereka. Pun ketika Prabu menunjukkan tes DNA
Wira kepadanya, emosi Sekar sebagai istri tidak keluar.
“Aku
membebaskanmu untuk memilih. Aku tak berhak memaksamu untuk tetap tinggal
bersamaku.” Suara Prabu terdengar parau.
“Kau
akan menikahi Laras?” ujar Sekar lirih.
“Belum
tahu,” jawab Prabu singkat. (hal.193 )
Kedua, bagaimana mungkin Prabu tidak mengetahui
kalau mertuanya telah lama bercerai?
Lagian Sekar memiliki trauma dari masa lalunya yang sering menjadi mimpi buruk. Kenapa Prabu tidak bertanya ketika mendapati Sekar
tertidur sambil meringkuk di celah antara dinding dan
lemari?
Ketiga, Bram dan Laras kehilangan
tujuan. Bram jatuh
cinta pada pandangan pertama terhadap Sekar? Dan Laras menghilang setelah tes DNA. Bram
dan Laras tersadar begitu cepat sebelum pembaca benar-benar merasakan peran
mereka.
Penggambaran yang detil tentang
tempat dan waktu menjadi poin plus
lainnya. Namun, karakter Sekar yang begitu kuat tidak seimbang dengan karakter
Prabu. Kecanggungnya Sekar di awal berhenti kerja, Prabu
memahaminya. Namun, tidak ada kata menyesal
ketika dia tidak memenuhi janji makan pepes buatan Sekar selama tiga hari.
Prabu hanya mengedikkan bahu (hal. 19). Juga tidak ada kegembiraan ketika tahu
Sekar hamil. Notes-notes
yang ditulis Prabu seakan tempelan saja.
Karakter
Bu Yani malah lebih kuat.
Ketidakpeduliannya sebagai ibu berimbas
pada trauma yang terus menghantui Sekar.
Tokoh
yang membuat penasaran adalah Alex. Papa Sekar yang telah lama tak berkabar
bernama Alex. Orang yang tahu dalang kebangkrutan
ayah Laras juga bernama Alex.
Saya merasa keduanya orang
yang sama tapi tak ada keterangan. Dan
Yasmina adalah tokoh yang membingungkan. Semula Yasmina merupakan nama Sekar
sebelum diadopsi (hal. 143), tapi dalam mimpi Sekar di ending cerita dinyatakan
tiga orang anak berada di pelukan mamanya; Langit,
Yasmina dan dirinyakah? (hal.236)
Secara keseluruhan novel ini
memiliki setting dan alur yang bagus. Hanya
saja konfliknya kurang terasa dan klimaksnya
pun tidak jelas. Tawaran kerja ke Singapura untuk Prabu dan ke Afrika untuk
Sekar, tak berkeputusan.
Sampul warna putih dengan jam beker
di tengahnya terkesan terlalu ceria untuk tema yang diangkat. Sedangkan pada blurb-nya terkesan serius. Namun, ketika waktu bergulir tanpa bisa
dibendung, ketika kenyataan memaksa untuk dipahami, ketika kesalahan memohon
untuk dimaafkan, kurasa aku tak sanggup, Sayang... Sampul, blurb dan konflik seperti tidak sinkron.
Beberapa kesalahan
editan terdapat pada keterangan orang yang menjaga Langit, nama yayasan Bu Yani
dan pekerjaan ayah Prabu. Saya anggap ini human
error.
Di luar semua itu, novel ini
menyampaikan pesan yang jelas; berdamailah
dengan masa lalu dan jujurlah pada pasangan hidupmu.*
Dimuat di Koran Singgalang, 6 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar