Judul buku : Rindu
Penulis : Tere Liye
Tahun terbit : Oktober 2014
Penerbit : Republika Penerbit
Jumlah halaman : 544 halaman
ISBN : 978-602-8997-90-4
Oleh: Zurnila Emhar Ch
Menunaikan ibadah
haji adalah impian setiap muslim. Ibadah yang merupakan rukun Islam yang
terakhir ini selalu mengundang kerinduan bagi orang-orang yang sudah pernah
menjalaninya ataupun bagi mereka yang belum pernah menjalankannya.
Jika di zaman
sekarang untuk sampai di Mekah hanya dibutuhkan beberapa jam perjalanan di
udara. Tetapi, di tahun 1938 para calon jamaah haji harus menempuh perjalanan
laut selama satu bulan untuk sampai di tujuan. Dan berbilang bulan untuk bisa
kembali ke tanah air. Berbagai masalah bisa saja menghadang mereka di tengah
laut.
Salah satu kapal
yang mengantar jamaah haji kala itu adalah kapal Blitar Holland. Kapal uap ini
memulai perjalanan dari Makassar, dilanjutkan ke Surabaya, Semarang, Batavia,
Lampung, Bengkulu, Padang dan terakhir di Aceh, untuk kemudian melanjutkan
perjalanan hingga ke Jeddah. Kapal ini membawa lebih dari seribu orang calon
jamaah haji yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ditambah
dengan sekian banyak kelasi dan tentara pengaman Belanda.
Kapal ini dipimpin
oleh Kapten Phillips, seorang kapten kapal Belanda yang baik dan rendah
hatinya.
Novel ini bukan
semata kisah tentang perjalanan menuju Baitullah, tapi intinya mengetengahkan
lima pertanyaan besar yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan pertama berasal dari
Daeng Andipati. Dia adalah seorang saudagar kaya dari Makassar, naik haji
bersama keluarganya. Mereka adalah potret keluarga bahagia. Namun ternyata
Daeng Andipati tidak sebahagia itu. Ada kebencian yang besar dalam dirinya
terhadap orang yang harusnya disayangi dan dihormati.
Pertanyaan kedua
berasal dari Bonda Upe, calon haji
berdarah Tionghoa yang menjadi guru mengaji di kapal. Masa mudanya yang dijalani
sebagai cabo di Macao Po, tempat
pelacuran terkenal di Batavia menjadi rahasia besarnya. Sepanjang perjalanan
sebuah pertanyaan selalu mengiringi pelayarannya; layakkah seorang mantan pelacur mengunjungi tanah suci?
Kemudian, ada Ambo
Uleng. Dia bukan calon jamaah haji. Pemuda dua puluh empat tahun itu berada di
Blitar Holland dalam rangka melarikan diri dari sakitnya patah hati. Dia ingin meninggalkan semua kenangan
indahnya dengan sang kekasih dalam pelayaran ini. Termasuk meninggalkan tanah
kelahiran. Di kapal Ambo menjadi kelasi dapur.
Tokoh lainnya
adalah Eyang Kakung Slamet. Dia berangkat haji bersama istri dan anak sulungnya.
Calon jamaah haji yang berasal dari Semarang ini adalah contoh pasangan paling
romantis dan harmonis di kapal. Naik haji merupakan janji Mbah Kakung pada Mbah
Putri yang telah setia mengarungi rumah tangga bersamanya selama enam puluh
tahun.
Namun, keceriaan
Mbah Kakung seketika lenyap ketika istrinya menghembuskan napas terakhir
sebelum sampai di Mekah. Jasad Mbah Putri ditenggelamkan di laut. Tinggallah
Mbah Kakung dengan hati yang terpuruk dalam luka.
Yang terakhir, yang
menjadi pusaran cerita ini, Gurutta
Ahmad Karaeng, seorang ulama besar yang menjadi imam di Masjid Katangka. Di
kapal Blitar Holland, Gurutta juga
menjadi imam masjid.
Peranan Gurutta sangat terasa dalam perjalanan
ini. Tidak ada orang yang tidak mengenalnya. Dia adalah tempat bertanya dari
soal agama sampai hal-hal umum. Bahkan Kapten Phillips pun menyeganinya. Dan
kerap melibatkan dalam setiap musyawarah.
Setiap hari Gurutta menghabiskan waktunya di kabin
untuk menulis. Tulisan yang kemudian hari menjebloskannya ke dalam penjara kapal.
Buku hasil perenungan dan pemikiran Gurutta
itu berjudul Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa.
Sebenarnya Gurutta juga membawa beban dalam
perjalanannya. Setelah beberapa kali melihat pertumpahan darah para
pejuang melawan Belanda pada masa itu Gurutta memilih melawan penjajah dengan
buah pemikiran. Lewat pengajiannya, dia kerap mengobarkan semangat kemerdekaan
pada jamaah Masjid Katangka. Namun Gurutta
tidak punya nyali untuk ikut angkat senjata seperti pejuang lainnya.
Ketidakberaniannya itu membuatnya merasa sebagai orang munafik. Perasaan itu
terus merongronginya, seorang munafik
mengunjungi tanah suci!
***
Dari awal hingga
pertengahan novel ini terasa datar. Tidak ada masalah yang begitu besar yang
mempengaruhi emosi pembaca. Ditambah lagi lokasi cerita hanya berkisar di dalam
kapal dan beberapa kejadian di pelabuhan.
Hal mengasyikkan
dalam alur novel adalah sosok Anna, putri bungsu Daeng Andipati. Kehadirannya
mampu mempermanis cerita walau belum ada konflik yang tajam. Anna, anak kecil
berusia sembilan tahun yang cerdas, lincah, selalu ceria, penuh rasa ingin
tahu, ceplas-ceplos dan polos.
Emosi pembaca mulai
diaduk sejak kejadian di Batavia. Seorang cabo
menyapa Bonda Upe. Pertemuan itu
membuat guru mengaji tersebut merasa rahasianya terbongkar. Karena malu Bonda Upe mengunci dirinya di kabin
kapal. Beruntung dia memiliki suami yang sabar dan senantiasa mengajaknya
berani menerima masa lalu.
Bonda Upe baru
kembali mengajar setelah Gurutta menasehatinya,
“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah
dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu.
Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah
itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik
mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia kan memudar sendiri.
Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.” (hal.312)
“Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut
versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita
sendiri.” (hal.313)
Ketegangan
berikutnya muncul saat seseorang berusaha membunuh Daeng Andipati untuk
membalas dendam. Dan puncak dari konflik itu adalah munculnya perompak Somalia
yang hendak merebut kapal. Asad, sang perompak berhasil melumpuhkan Kapten
Phillips dan mengambil alih kemudi. Namun, berkat pengalaman Ambo Uleng melawan
perompak di perairan Malaka maka Asad dan kawanannya bisa dilumpuhkan.
Perjalanan ini
bukan semata-mata proses Daeng Andipati, Bonda
Upe belajar memaafkan dan menerima masa lalu atau perjalanan yang membuat
Mbah Kakung dan Ambo Uleng menerima takdir kehilangan orang yang disayangi.
Tapi perjalanan ini juga pembuktian bagi Ambo Uleng sebagai pelaut Bugis yang
terampil dan cekatan.
Ketika mesin kapal
mati dan kapal beserta seluruh isinya terancam terkatung-katung di lautan, Ambo
muncul sebagai penyelamat. Ambo mengibarkan layar, mengatur arah dan gerakan
layar agar bisa membawa kapal menuju pelabuhan Kolombo. Kemampuan yang membuat
Kapten Phillips bangga telah merekrutnya. (hal.444)
Begitu juga saat
menghadapi perompak Somalia. Ketika tidak lagi tampak celah untuk melawan,
semua orang pasrah menerima keadaan, Ambo Uleng membuat rencana dadakan dan
berhasil. Keberhasilannya melumpuhkan para perompak sekaligus membantu membuka
jalan bagi Gurutta untuk ke luar dari
rasa ‘kemunafikannya’.
“Gurutta,
kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa.
Kita harus melawan. Dengan air mata dan darah.” Ambo Uleng menggenggam lengan Gurutta.
“Aku tahu, sejak kejadian di Aceh, meninggalnya Syeikh Raniri dan Cut Kemala, sejak itu Gurutta berjanji tidak akan menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki kita dengan itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.” (hal.531)
***
Novel Tere Liye ini
hadir dengan pesona. Penulis piawai memainkan peranan tokohnya untuk
menghidupkan suasana di tengah pelayaran yang cendrung membosankan. Hanya ada
beberapa kesalahan ketik yang tidak begitu mengganggu, seperti sejatuh
(harusnya ‘sejauh’), anak tunggu (harusnya ‘anak tangga’) dan beberapa kata
lainnya.
Selebihnya novel
ini penuh daya pikat yang siap membawa pembacanya merenung, menyelami hati
untuk ikhlas menerima takdir dan memperbaiki diri.
***
20 November 2014
Telah dimuat Majalah Sagang, edisi Desember 2014
Kaver Majalah Sagang edisi Desember 2014 |
Tere Liye... suka
BalasHapus