Judul buku : Max Havelaar
Penulis : Multatuli
Tahun terbit : Cet-3, September 2014
Penerbit : Qanita
Jumlah halaman : 480 halaman
ISBN : 978-602-1637-45-6
Oleh: Zurnila Emhar Ch
Siapa yang tidak mengenal
nama Eduard Douwes Dekker? Dalam buku sejarah di sekolah dasar, beliau dikenal
sebagai salah seorang anggota Tiga Serangkai pendiri Indische Partij, sebuah
partai politik yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Beliau dikenal sebagai
salah seorang keturunan asing yang memiliki kepedulian luar biasa terhadap
negeri jajahan negaranya. Salah satu bentuk kepedulian tersebut bisa dibaca
dalam buku karangannya yang berjudul Max Havelaar.
Novel ini
menceritakan tentang kesewenang-wenangan pemerintah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Max Havelaar mengisahkan kesengsaraan dan ketidakadilan yang
diterima penduduk Sumatra (Padang dan Natal), Maluku dan terlebih masyarakat
Lebak, Banten pada abad ke-19.
Max Havelaar yang
baru saja dilantik sebagai Asisten Residen di Distrik Lebak segera mencurahkan
perhatiannya pada penduduk Lebak, termasuk dengan mempelajari laporan-laporan
pejabat sebelumnya, Tuan Slotering (yang kabarnya meninggal karena diracuni).
Di sana, Havelaar menemukan banyak kecurangan yang terjadi. Dan yang lebih
parahnya penindasan tersebut justru dilakukan oleh pejabat pribumi sendiri.
Raden Adipati Karta
Natanegara yang menjabat Bupati Banten kerap meminta para petani menggarap
sawahnya tanpa memberikan upah. Petani juga sering diminta menggarap perkebunan
dengan paksa sehingga penanaman padi terbengkalai dan menyebabkan bencana
kelaparan. Dengan mendorong rakyat bekerja tanpa upah di perkebunan, Bupati
akan mendapat persenan di tiap pikulnya.
Pemerintah juga
memaksa petani untuk menanam tanaman tertentu di tanah mereka sendiri, dan
petani harus menjualnya ke pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh
pemerintah. Jika mereka menjualnya pada orang lain mereka akan menerima risiko
hukuman.
Selain itu, Bupati
juga memiliki kerabat yang sama rakusnya dengan dirinya. Seorang menantunya
yang menjadi Demang di Distrik Parang Kujang memiliki kegemaran merampas
kerbau-kerbau penduduk. Ternak itu diambil dengan paksa tanpa ada ganti rugi
sedikit pun.
Mengenai hal ini
Havelaar menceritakan kisah Saidjah dan Adinda yang kerbau milik orang tuanya
dirampas berkali-kali. Sehingga mereka kehabisan harta dan tidak lagi sanggup
membayar pajak tanah yang tinggi. Untuk menghindari hukuman, mereka terpaksa
melarikan diri ke Lampung. Dan bergabung dengan pemberontak. Sebuah kisah yang
mengharu biru. (hal.366 – 397)
Untuk membantu
penduduk, Havelaar mencoba memperingatkan Bupati secara halus. Namun usahanya
sia-sia. Kemudian dia juga mengadukan hal tersebut kepada Reseiden Banten.
Tetapi, lagi-lagi laporannya dianggap mengada-ada. Bahkan Gubernur Jenderal di
Batavia pun menolak menemuinya. (hal. 456)
Novel bermuatan
sejarah ini diceritakan dengan tiga sudut pandang; Tuan Batavus Droogstoppel
yang mendanai buku untuk diterbitkan, lalu Stern; pegawai Droogstoppel, dan
Havelaar sendiri. Mungkin karena dikisahkan oleh tiga orang yang berbeda
kepentingan, alur novel ini tak beraturan. Dibutuhkan kejelian untuk
memahaminya.
Droogstoppel
seorang makelar kopi di Lauriergracht no. 37 dan merupakan pimpinan firma Last
& Co. Dia adalah pribadi yang taat namun cendrung mementingkan diri
sendiri. Tujuannya mendanai buku ini adalah untuk kepentingan bisnisnya dan dia
mengharuskan buku ini diberi judul ‘Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.’
Ernest Stern adalah
seorang anak muda yang menyukai sastra. Demi membaca kumpulan tulisan Havelaar
selama bekerja di Hindia Belanda yang begitu menyentuh dia tergerak untuk
menuliskan apa yang hendak disampaikan itu. Sekalipun itu melenceng dari ‘kopi’
dan ditentang oleh Droogstoppel.
Dan Max Havelaar
menulis buku ini dengan tujuan menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya
terjadi di Hindia Belanda yang tidak diketahui oleh Raja. Selama ini Raja
William hanya mendapati laporan yang baik-baik saja tentang negeri jajahannya
dan menganugrahi para pejabat Belanda sebagai seorang pengabdi negara yang
bersemangat karena mampu menambah pundi-pundi kekayaan negara. Raja tidak
pernah tahu kondisi rakyat yang kelaparan dan tertindas untuk menghasilkan uang
kas negara tersebut.
Bagian yang
menyentuh dari buku ini adalah pidato atau sumpah jabatan Havelaar yang
diungkapkan dalam bahasa yang indah. Havelaar mengatakan bahwa jabatan yang
diterimanya dan juga yang disandang para bangsawan Jawa adalah sebuah berkah
dari Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang dipilih untuk membantu rakyat. Di
antara pernyataan Max Havelaar dalam pidato sumpah jabatannya bisa ditemukan
dalam kalimat-kalimat ini.
Bukankah Dia mencurahkan hujan ketika batang-batang padi
melayu, dan menurunkan embun dalam kelopak bunga yang kehausan?
Bukankah mulia untuk diutus mencari mereka yang
kelelahan, yang tertinggal setelah bekerja dan jatuh tersungkur di jalanan
karena lutut mereka tidak cukup kuat untuk membawa mereka ke tempat mereka bisa
memperoleh upah? ... Tidakkah hati saya melonjak gembira ketika melihat bahwa
saya telah dipilih di antara banyak orang untuk mengubah keluhan menjadi doa
dan ratapan menjadi rasa syukur?
Jiwa manusia tidak bergembira karena upah, tapi karena
bekerja untuk mendapatkan upah tersebut. (hal.155)
Tentang kemiskinan
di Lebak, Havelaar mengatakan; Saya
bertanya kepada kalian, para pemimpin Lebak. Mengapa banyak orang pergi untuk
tidak dimakamkan di tempat mereka dilahirkan? Mengapa pohon bertanya: ‘Di
manakah orang yang kulihat bermain di kakiku semasa dia masih kecil?’
Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat menguburkan
orang tua mereka? Mengapa mereka kabur dari desa tempat mereka disunat? Mengapa
mereka lebih menyukai kesejukan pohon yang tumbuh di sana daripada naungan
hutan kita? (hal.158).
Buku ini ditulis Douwes Dekker setelah 18 tahun mengabdi
di Indonesia. Beliau menggunakan nama samaran Multatuli yang berarti ‘Aku yang
sudah banyak menderita’.
Di
luar dari cara penceritaan yang melompat-lompat, novel ini sangat memikat.
Ditulis dengan penuh cinta justru oleh seorang yang bukan pribumi. Ada
ketulusan yang mengagumkan dalam pemikiran dan pandangannya. Kiranya buku ini
patut dibaca lagi oleh para pemimpin Indonesia saat ini dan orang-orang yang
telah diberi Tuhan kesempatan untuk menjadi wakil rakyat, juga orang-orang yang
telah mendapatkan kepercayaan di instansi-instansi pemerintahan. Semoga buku
ini menyadarkan mereka yang tengah terlena dalam jabatan ataupun korupsi.***
Prw, November 2014
Dimuat Koran
Singgalang, Ahad, 25 Januari 2015
Keren Mbak. Sudah saya baca.... Alhamdulillh nambah pengetahuan. Makasih
BalasHapusTerima kasih telah mampir, Kak Nina.
Hapus*Perasaan dulu saya sudah mengomentari komentar di sini, tapi kok gak ada ya. Hm...
mantab bacaan uni nila. jee dari dulu penasaran dengan max havelaar (dengan siapa dia) tapi sampai kini alun juo basingajoan mambaconyo. :(
BalasHapuskak nila, terus aktif ngeblog ya kak. hahaha senang jee, kak nila akhirnya aktif ngeblog. jangan berhenti ya kak :D oya, sesekali bertandanglah ke blog jee. biar bisa jee suguhi kue-kue sunyi, minuman sunyi di ruang yang sunyi. sambil mendengar nyanyian sunyi yang jee putar sepanjang hari. datang ya kak, selalu jee tunggu ;)
Ahaa... Kakak belum bisa aktif, Jee.
HapusDi sini jaringan gak bagus, jadi kakak malas juga mau mengunggah tulisan. Seperti ini, sudah tiga bulan kakak tak mengunggah tulisan. Udah online dini hari pun tetap tak berhasil.
Jadi bad mood. :(
Usahakan membaca buku ini, Jee. Bagus! Ntar kakak kunjungi tumblr Jee. :)
HapusWah, ini buku yang dulu cuma tahu judul dan penulisnya saja. Terima kasih Mbak, sekarang jadi tahu kalau Max Havelaar sudah diterbitkan lagi.
BalasHapusIya, Mas Diyan. Saya juga baru sekarang membaca buku ini. Padahal sudah sejak SD kita mendengar judulnya. Bukunya bagus. Silakan dibaca langsung, Mas. Akan ada yang ngilu di sudut hati ketika kita membacanya.
BalasHapusHow do I open a gambling account on my phone and see if I
BalasHapusOn 강릉 출장샵 my way 태백 출장샵 to Las Vegas, I'm greeted by a tall 김해 출장샵 glassed 양산 출장샵 casino wall with a 충청남도 출장샵 poker machine and the word “gambling” on it. “Casino